Perspektif

Ramadhan, Kita, dan Teater Kesalehan

3 Mins read

Setiap Ramadhan datang, kesalehan orang-orang meningkat. Masjid-masjid dipenuhi jemaah. Al-Qur’an banyak dibaca siang malam. Ibadah sunnah berlipat frekuensinya. Banyak orang termotivasi dengan keberkahan bulan Ramadhan, di mana pahala amal kebaikan dilipatgandakan.

Namun, ada pertanyaan yang menggelitik untuk dijawab oleh kita semua, mengapa kesalehan itu menghilang setelah Ramadhan berakhir?

Banyak jawaban dapat diajukan untuk pertanyaan ini. Di antara yang masuk akal adalah karena kondisi Ramadhan memang mendukung pelaksanaan ibadah yang lebih intens. Sekolah dan kantor diliburkan beberapa hari, jam kerja disesuaikan untuk mengakomodir kegiatan di bulan Ramadhan, spiritual Ramadhan juga mengatrol semangat beribadah masing-masing individu dan masih banyak lagi.

Melihat fenomena ini, saya di sini ingin menafsirkan dengan perspektif yang berbeda, yaitu dengan teori interaksi teatrikal Erving Goffman. Berdasarkan teori ini, kesalehan dalam bulan Ramadhan terjadi karena kita terpaksa bermain sandiwara spiritual? Lho, kok bisa?

Teori Interaksi Teatrikal Goffman

Bagi Goffman, interaksi manusia selalu terjadi tak ubahnya seperti pentas teater. Setiap orang memainkan perannya. Tapi peran itu bukanlah murni kreasi individu, ada peran orang lain dalam setiap saga yang berlangsung.

Maka, tindakan individu dalam panggung interaksi tersebut adalah peran yang dimainkan individu dengan penyesuaian-penyesuaian subjek atas respon yang diberikan lawan main dalam alur tertentu.

Mudahnya, ini seperti aksi seni peran. Pertama-tama aktor memang berperan sesuai dengan arahan  script. Tapi dalam pentas yang sesungguhnya, ia harus berimprovisasi menyesuaikan jawaban/respon apa yang diberikan lawan mainnya. Karena itu, interaksi teatrikal selalu cair dalam hubungan negosiasi yang terus menerus. Dari sisi yang lain, ini menunjukkan kemampuan manusia beradaptasi.

Dalam pandangan Goffman, begitu juga sejatinya interaksi di kehidupan nyata. Ketika kita bersosial, kita akan dituntut untuk menyesuaikan diri dengan pola komunikasi yang tersedia dan respon dari lawan main kita.

Baca Juga  Tidak Ada Standar Kepahlawanan

Ini menjelaskan mengapa seseorang bisa tampil berbeda dalam lingkar pertemanan yang lain. Misalnya, meski di kampung adalah ketua RT yang disegani, di tempat kerja seseorang dapat bertindak submisif kepada atasannya, dan menjadi humoris dan konyol di tongkrongannya.

Nahasnya, sepertinya itu juga yang terjadi di bulan Ramadhan. Banyak yang menjadi saleh karena tuntutan peran dari lingkungan selama bulan suci ini. Banyak yang berpuasa karena lingkungan mengharuskannya, membaca al-Quran karena teman-teman kerja membuat lomba banyak-banyakan khatam, taraweh karena orang-orang kampung ramai taraweh, sedekah karena dijadwalkan memberikan takjil kepada jemaah.

Akibatnya, setelah Ramadhan usai, kesalehan tidak lagi diperankan ketika tidak ada tuntutan sosial. Pentas teatrikal telah berakhir. Orang tak banyak lagi peduli kepada ibadah apa yang orang lain kerjakan.

Pentingnya Ikhlas dalam Beribadah

Dalam Islam, ibadah yang dilakukan hanya karena tuntutan sosial seperti fenomena di atas termasuk ibadah yang tidak membawa manfaat bagi pelakukanya. Karena semua ibadah yang mengharapkan pamrih selain dari Allah Swt adalah ibadah yang sia-sia.

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah yang Rasulullah Saw bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ورُبَّ قائمٍ ليس له من قيامِه إلا السَّهرُ

Artinya: Rasulullah Saw bersabda berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar, dan berapa banyak orang yang mendirikan (malam untuk beribadah) tidak mendapatkan apapun darinya kecuali (rasa kantuk dan lelah) keterjagaan (HR. Ibnu Majah).

Hadis di atas menjelaskan betapa banyak ibadah yang hanya mengakibatkan hal yang sia-sia, bahkan merugikan pelaku ibadah tersebut. Banyak orang berpuasa tetapi hanya mendapatkan rasa lapar dan haus.

Baca Juga  Gigi Gorgeous And Nats Getty Have A, Well, Gorgeous Beachside Wedding

Banyak juga orang yang bangun malam dan beribadah tetapi hanya memperoleh rasa kantuk dan lelah dari bangun malamnya. Mereka tidak mendapatkan pahala dari ibadah yang dilakukan karena tidak diniatkan ikhlas lillahi ta’ala.

Keikhlasan niat memang menjadi titik tolak penting bagi ibadah seorang muslim. Dalam hadis dari Umar Ibn Khattab Ra disebutkan bahwa segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya. Posisi niat ini menjadi semakin urgen dalam ibadah puasa. Di samping merupakan ibadah dengan tantangan yang berat, puasa juga merupakan ibadah yang dipenuhi rahasia. Hanya Allah Swt dan orang yang berpuasalah yang benar-benar mengetahui kualitas puasanya.

Dalam sebuah hadis qudsi dari Abu Hurairah bahwa Allah Swt berfirman melalui lisan Rasulullah Saw:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ له إلّا الصَّوْمَ، فإنّه لي وأنا أجْزِي به

Artinya: Setiap amalan manusia itu miliknya, kecuali puasa, karena puasa itu milik-Ku dan Aku akan membalasnya (HR. Bukhari dan Muslim).

Puasa adalah ibadah yang istimewa. Dalam riwayat sahih lain dijelaskan bahwa jika pahala ibadah lain dibalas antara sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, maka ibadah puasa diganjar dengan pahala sesuai kehendak Allah Swt. Oleh karena itu, mari memperbaiki niat puasa dan amalan Ramadhan agar kita mendapatkan keridhaan Allah Swt, bukan sekadar lelah, lapar dan haus.

Editor: Soleh

Avatar
2 posts

About author
Penulis dan dosen paruh waktu, pembelajar purna waktu
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds