Falsafah

Ramai-Ramai Menyerang Agama

4 Mins read

Mempertanyakan keabsahan agama, tentu saja bukan perkara baru. Sejak dari kebangkitan rasionalisme di Eropa Abad Pertengahan, hingga hari ini, ketika Space X memulai usaha mengirim manusia ke Mars, agama sebagai ajaran Tuhan dan panduan iman kerap diserang.

Oleh siapa? Sebenarnya oleh akal umat manusia. Akal yang terus semakin maju dalam memahami realitas alam, tentu tidak bisa tahan untuk tidak mempertanyakan beberapa aspek dari ajaran agama.

Apakah ini pertanda baik, atau buruk? Saya rasa, kita umat beragama tidak perlu khawatir. Justru, pertanyaan kritis atas agama adalah panggilan bagi kita untuk lebih bisa mengartikulasikan kembali agama seiring zaman yang terus maju.

Mungkin, sudah tiba saatnya kita memikirkan kembali kemampuan agama dalam mengisi hidup di dunia yang semakin global dan saintifik ini. Saya rasa, jangan sampai Anda bersikap reaktif. Reaksi kita yang berlebihan, emosional, dan destruktif, hanya semakin menyuburkan serangan atas kita sendiri. Biarkan dunia belajar dari kita tentang kesabaran.

Agama Mengajarkan Kekerasan?

Salah satu alasan paling eksotik bagi para kritikus agama adalah fakta-fakta historis bahwa agama punya episode persinggungan dengan kekerasan. Tentu bukan sekadar episode yang tidak disengaja.

Umat Islam, misalnya, tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa ada ayat-ayat mengenai perang melawan orang kafir dalam Al-Quran. Adalah fakta juga bahwa sebagian ulama menjadikannya landasan untuk melegalkan perang, atau bahkan pemboman modern.

Tapi, adalah fakta juga bahwa ayat-ayat tersebut tidak dijadikan landasan untuk apa pun bagi sebagian (besar) ulama dan masyarakat Muslim.

Lalu untuk apa ayat-ayat tersebut, jika bukan untuk dijadikan inspirasi bagi perilaku kita sepanjang zaman? Sebagai dokumentasi wahyu yang diterima Nabi Muhammad Saw, setiap ayat dalam Al-Quran adalah ekspresi kalam Tuhan, yang membacanya adalah ibadah spiritual.

Baca Juga  Syamsul Anwar: Jadikan Agama sebagai Penyelesai Masalah

Jangan memaksa kami untuk menyerang Anda, meski ada ayat perang dalam kitab suci kami. Ayat itu tidak berbicara tentang Anda.

Lalu, mengapa ada orang-orang beragama yang saling membunuh dan berperang? Tunggu dulu. Pernahkah Anda bertanya juga, mengapa ada orang-orang fasis, komunis, liberalis, dan kapitalis, yang saling membunuh dan berperang?

Bukankah Perang Dunia kedua, misalnya, adalah perang besar antara fasisme dan liberalisme? Perang dan kekerasan selalu terjadi sepanjang sejarah spesies homo sapiens kita, tidak peduli apakah Tuhan, Nabi, kebebasan, atau kesetaraan yang menjadi tujuan tertingginya (Harari, 2014).

Masalahnya mengapa kita mudah sekali terjatuh dalam konflik, perpecahan, dan pertengkaran? Tulisan ini pun bisa jadi mengandung ide yang tidak Anda setujui. Apakah itu sah menjadi alasan Anda membenci saya? Apakah perbedaan pendapat ini harus diberangus? Semoga tidak.

Agama Dipenuhi Kebohongan?

Ada satu lagi alasan eksotik yang dipakai untuk menggugat agama. Katanya, narasi-narasi yang disucikan oleh agama terbukti salah dan bertentangan dengan fakta sains. Sains tidak berbicara kecuali fakta. Jika ada bentuk lain yang berbeda dari fakta sains, artinya itu kebohongan.

Benarkah selain fakta sains, semuanya adalah kebohongan? Jika kita mengacu kepada teori Yuval Noah Harari (2014), sains memang berbicara fakta, tapi bukan berarti agama, filsafat, ideologi, dan seni, tidak berbicara realitas.

Bagi Harari, sains bersandar pada fakta, sementara agama bersandar pada fiksi. Tapi, kedua-duanya berbicara tentang realitas. Jika sains hanya peduli pada realitas empiris dan material, maka agama, filsafat, dan seni, juga peduli pada realitas imajinatif dan immaterial (Harari, 2014)

Hari ini pun, bahkan Anda hidup di atas fiksi-fiksi tersebut. Negara Indonesia, nasionalisme, hierarki politik, sistem ekonomi pasar, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, semua adalah fiksi yang berbicara tentang realitas imajinatif. Uang di tangan Anda pun produk imajinasi nenek moyang Anda. Apakah ia nyata dan ada? Tentu saja. Apakah ia fiksi? Tentu saja.

Baca Juga  Hassan Hanafi dan Problematika Turats Arab Islam (2)

Memang, agama pernah bersinggungan dengan temuan-temuan saintifik. Heliosentrisme Kopernikus versus geosentrisme gereja skolastik adalah contoh kasus yang paling eksotik.

Anda mungkin akan berkata: Galileo pernah disidang dan dipaksa oleh gereja untuk meninggalkan temuan ilmiahnya. Bukankah ini bukti bahwa agama bukan hanya bertentangan, tapi juga menentang sains?

***

Nanti dulu. Kasus persekusi atas Galileo, dan fatwa gereja mengenai beberapa temuan sains, tentu bukan satu-satunya ekspresi dari hubungan agama dengan para ilmuwan.

Vatikan sendiri sudah mencabut fatwa tersebut, dan memulihkan nama baik Galileo. Itu artinya, hubungan para ilmuwan dengan agama, tidak monolitik, melainkan dinamis.

Jika sains menemukan bahwa bumi itu bulat dan bukan pusat alam semesta, maka agama juga menyetujuinya. Setidaknya saya, dan umat beragama yang menggunakan epistemologi saintifik dalam menakar realitas, pasti akan menerimanya.

Jika ada ayat suci yang secara harfiah tidak sejalan dengan fakta empiris, maka ayat tersebut mesti ditafsirkan, dan dita’wil, sebagaimana dikatakan Al-Ghazali dalam Fayshal al-Tafriqah dan Ibn Rusyd dalam Fashl al-Maqal berabad-abad silam. Ini pun bukti dinamisme hubungan agama dengan sains.

Sains adalah berkah bagi umat manusia, karena terbukti membantu kita mencapai pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan, dan mampu menciptakan teknologi untuk memudahkan pekerjaan kita.

Jika saya sakit kepala, saya akan menelan sebutir parasetamol (ini adalah temuan sains), meneguk segelas air putih, dan mengucap syukur kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Akhirnya, Bagaimana dengan Tuhan?

Akhirnya, satu alasan lagi, yang juga eksotik, untuk mempertanyakan agama, adalah Tuhan. Agama-agama mengatakan bahwa ada sosok superhuman, adimanusia, yang menjadi asal dan akhir dari realitas kehidupan.

Meski dengan nama-nama dan konsep berbeda, selalu ada titik temu antaragama mengenai adanya satu sosok maha kuasa ini. Ia kita sebut Tuhan. Dan sains bertanya, di mana itu Tuhan?

Baca Juga  Konsep Tuhan Feuerbach dan Al-Farabi, Apa Bedanya?

Sayangnya agama tidak akan bisa memuaskan hasrat Anda untuk menemukan Tuhan, dengan mata, mikroskop, atau teleskop, di suatu tempat di alam semesta ini. Dan Anda pun pasti kecewa. Google sekalipun tidak bisa mengobatinya. Semoga Anda bisa menerima kenyataan ini.

Agama adalah satu bagian dari pemikiran manusia, yang memiliki epistemologi yang agak berbeda dari epistemologi sains yang empiris itu. Di sini, agama tidak berbeda dengan filsafat, ideologi, dan seni. Sebab, agama dan filsafat juga memakai jalan rasionalisme dan intuisi untuk memahami dan merasakan kehadiran Tuhan.

Mungkin inilah alasan Stephen Jay Gould (1997) memunculkan prinsip NOMA (Non-Overlapping Magisteria) sebagai prinsip saling menghormati batas demarkasi masing-masing epistemologi.

Faktanya, epistemologi itu memang tidak satu. Secara filosofis memang begitu. Dan begitu juga secara psikologis dan biologis. Menurut neurosaintis, Paul D. McLean (1990) otak kita bukan hanya neokorteks yang serba kuantitatif, melainkan juga limbik yang intuitif dan kualitatif.

Dengan demikian, jika perspektif Anda adalah empirisisme dan materialisme saja, silakan mengucapkan salam perpisahan kepada Tuhan. Tapi, jika rasionalisme dan intuisi juga Anda terima sebagai salah satu epistemologi yang sah, maka, Anda bisa mulai merenungkan asal mula alam semesta, dan menemukan Tuhan sebagai penyebab wujudnya.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds