Saat virus Corona belum Sampai ke Indonesia, nalar agama dan ilmu gotak-gotuk menguasai ruang publik Indonesia yang menganggap Indonesia kebal dari virus tersebut. Mulai dari karena salat menggunakan qunut, hingga kekebalan orang Indonesia itu sendiri.
Karena makan-makanan yang tidak sehat yang membuat mereka mengalami proses dan beririsan dengan ragam virus. Namun, adanya dua orang dari Depok yang terkena virus Corona akibat mengalami kontak langsung dengan warga negara asing dari Jepang, meruntuhkan asumsi-asumsi tersebut.
Ironisnya, respon dari pemerintah juga terlihat lamban dan tidak adanya upaya pencegahan dan langkah serius, meskipun belum ada orang Indonesia yang terjangkit virus tersebut.
Kondisi ini justru membuat sejumlah negara-negara tetangga meragukan keseriusan pemerintah dalam menyikapi virus Corona ini. Bahkan, di tengah keraguan negara-negara tetangga, Terawan sebagai Menteri Kesehatan justru menggunakan narasi agama yakni doa sebagai penangkal Indonesia dari virus Corona.
Memang, doa adalah bagian dari usaha. Namun, keseriusan untuk melakukan mitigasi seperti negara lain juga bagian penting yang harus dilakukan. Tidak semata-mata menyerahkan kepada Tuhan tanpa adanya upaya tindakan yang serius untuk mencegahnya.
Di sisi lain, karena virus Corona ini yang berdampak terhadap perekonomian Indonesia, bukan berarti memberikan diskon tiket pesawat kepada orang Indonesia untuk mau bepergian ke wilayah wisata-wisata dalam negeri sebagaimana diusulkan oleh Sri Mulyani sebagai bagian dari penyelamatan perekonomian Indonesia.
Selain itu, minimnya mitigasi ini, sebagaimana saya lihat di lini masa Twitter, terlihat dengan ketidakseriusan upaya pemeriksaan di Bandara Soekarno saat orang Indonesia pulang dari Arab Saudi, salah satunya keharusan untuk mengecek suhu badan.
Sebaliknya, mereka yang kembali hanya diminta untuk mengisi formulir saja sebagai bagian dari formalitas semata. Akibatnya, ketika virus ini benar-benar datang ke Indonesia, yang muncul adalah upaya penyelamatan diri sendiri secara sporadis, menciptakan semacam kepanikan massa pasca membaca informasi yang mereka dapatkan dari media sosial yang menyebar dengan sangat cepat.
***
Bagi mereka yang memiliki akses informasi internet dan media sosial sekaligus memiliki kapital yang lebih; membeli sebanyak-banyaknya barang yang diperlukan menjadi semacam keharusan.
Ini terlihat mulai dari mulai habisnya hand-sanitizer dan masker di toko-toko waralaba, baik kecil dan besar, khususnya di wilayah Jakarta Timur sendiri yang saya alami. Jika diamati di media soial, saking paniknya, bahkan ada yang membeli berkarung-karung beras dan berdus-dus mie instan.
Momentum ini tentu saja juga dimanfaatkan oleh predator ekonomi kecil dengan melipatgandakan barang-barang tersebut menjadi 4 kali lipat lebih mahal untuk dijual.
Jujur, saya dan istri sendiri juga sempat panik sebelum ada informasi dua orang Depok yang terkena ini dan bahkan membeli 8 buah hand-sanitizer setelah membaca tulisan dari Ibu dokter Lelitasari Danukusumo pada 2 Maret 2020 di akun facebook miliknya.
Setelah membeli barang-barang itu dan sampai rumah, para tetangga juga ternyata mencari barang itu. Terang saja, kondisi ini membuat saya dan istri turut panik dan ingin ikut mencari membeli barang itu lebih banyak.
Bukan untuk dijual lagi, melainkan untuk ditaruh saja sebagai persediaan di rumah. Namun, setelah melihat dua alkohol di rumah yang bisa menggantikan hand-sanitizer kami sedikit lega.
Berangsur-angsur kepanikan kami seperti yang lainnya dan sebagaimana kami lihat di media sosia semakin hilang. Upaya untuk memborong juga mie instan dan beras kami urungkan.
Harus diakui, kepanikan massa ini menciptakan semacam nirlogika, di mana kemampuan berpikir kita benar-benar tumpul, terkontaminasi oleh luapan emosi; ketakutan sekaligus keterancaman.
Di sini, insting untuk menyelamatkan diri sendiri dan keluarga terdekat begitu kuat, apapun itu kondisinya. Personalitas diri kita tercerabut sebagai manusia dan masuk sebagai mesin otomaton-otomaton tanpa ruh sebagai psike komunal yang emosional. Bergerak untuk mendapatkan dan mengonsumsi barang-barang yang dianggap dapat menyelamatkan diri.
***
Sementara itu, pemerintah sendiri tidak menyiapkan pusat manajemen krisis, di mana setiap informasi yang benar itu bisa disampaikan dan langkah apa ke depan yang bisa dilakukan di tengah arus informasi yang berlimpah di media sosial.
Arus informasi ini bertumpuk antara sampah dan berlian, kebohongan dan kebenaran, sekaligus ketakutan dan ketaatan atas nama agama serta publik.
Antisipasi untuk memutus penyebaran virus tersebut melalui informasi yang beredar di media sosial justru datang dari anggota masyarakat sendiri, yang menyebarkan semata-mata untuk berbuat kebaikan sebagai bagian sesama manusia Indonesia.
Sebenarnya, kondisi ini diuntungkan juga dengan selesainya Pilpres 2019 dan adanya koalisi antara kubu Jokowi dan Prabowo. Setidaknya, koalisi ini sedikit mengikisnya polarisasi di masyarakat.
Faktor-faktor inilah yang membuat agitasi politik dengan memanfaatkan krisis sosial di masyarakat menjadi minim dilakukan, membuat kepanikan massa ini tidak menjadi menjadi bola liar yang mudah dimainkan hanya untuk mendapatkan dan mempengaruhi suara.
Virus corana sudah datang di Indonesia. Tidak ada lagi alasan menggunakan nama agama ataupun gotak-gatuk pengetahuan lainnya hanya untuk sekedar menenangkan masyarakat sekaligus menghindari diri dari upaya pencegahan.
Yang diperlukan oleh pemerintah Indonesia adalah bekerja secara maksimal untuk melakukan proses mitigasi agar virus ini tidak menyebar dan meluas. Di sini, bahasa medis sekaligus rasionalitas dalam berpikir menjadi logika yang harus digunakan dan menjadi medan diskursus yang harus terus dibicarakan.
Tidak hanya untuk pembelajaran, tujuannya adalah sebagai pengetahuan di masyarakat bahwasanya menjaga kebersihan sekaligus menjaga kesehatan melalui prosedural yang benar adalah langkah terbaik untuk mencegah virus itu berkembang biak.