Rasulullah dan Memuliakan Perempuan. Dewasa ini, kaum muslim masih banyak yang menganggap perempuan sebagai jenis kelamin kedua. Sebagaimana Simone de Beavoir menggambarkan perempuan (Asghar Ali Engineer, 2007:1). Artinya, hak-hak perempuan tersubordinasi dari laki-laki.
Domestifikasi terhadap perempuan merupakan salah satu personifikasi dari hal tersebut. Di samping itu, perempuan dipandang tak lebih dari meja, kursi, lemari dan perabotan lainnya. Dengan kata lain, perempuan diperlakukan sebagai objek, bukan subjek.
Padahal, Rasulullah SAW yang menjadi panutan kita bukanlah orang yang seperti itu. Pada dasarnya, Rasulullah justru seorang yang sangat memuliakan dan menghargai perempuan. Hal ini terbukti dari salah satu hadisnya yang tak asing lagi, bahwa orang yang harus dihormati di dunia ini adalah ibu, ibu, ibu, baru kemudian ayah.
Dengan ini, ibu sebagai seorang perempuan, harus diberikan penghormatan tiga kali lebih besar daripada ayah.
Rasulullah SAW, Sang Pembela Hak-Hak Perempuan
Sejarah mencatat, bahwa Rasulullah SAW tak hanya mengajak masyarakat Mekkah untuk menyembah Allah SWT. Melainkan juga mencerahkan wajah peradabannya yang dipenuhi lumuran noda. Tak heran, jika Rasulullah SAW kemudian ditentang, disiksa, dihina dan dicaci-maki hingga terpaksa untuk berhijrah.
Menurut Asghar Ali Engineer, jika saja Rasulullah SAW hanya menyebarkan Islam, masyarakat Mekkah yang terutama berada dalam barisan kaum elit, tentu tak akan keberatan (Asghar Ali Eingineer, 2007:8).
Karena, mereka sebenarnya tidak mempunyai ketulusan untuk menyembah berhala.
Namun, Rasulullah juga ingin mentransformasi struktur sosial Mekkah yang otomatis dapat mengganggu kenyamanan status quo mereka. Karena itulah, tidak bisa tidak mereka berupaya semaksimal mungkin untuk mencegahnya.
Seperti yang kita tahu, pada masa sebelum kedatangan Islam, masyarakat Mekkah kerap dicap sebagai masyarakat yang berada dalam kegelapan nan kebodohan (jahiliyyah).
Memang benar bahwa pada masa itu, banyak di antara masyarakat Mekkah yang menjadi ahli sastra, ahli sya’ir. Mereka juga selalu menepati janji dan memuliakan tamu.
Namun, di balik itu semua terselip perilaku yang sungguh bejat, brutal dan amoral bak perilaku binatang.
Beberapa di antaranya, antara lain mengubur bayi perempuan hidup-hidup setelah dilahirkan lantaran malu. Dan perempuan yang suaminya meninggal, wajib menyerahkan dirinya kepada pihak keluarga suami seperti warisan.
Kedatangan Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, merombak kemudian praktik tersebut. Kelahiran bayi perempuan tak lagi dianggap aib yang harus ditutupi, namun justru disambut lewat perayaan aqiqah.
Perempuan dalam Praktik Aqiqah
Praktik aqiqah yang biasanya dilakukan ialah dua kambing untuk bayi laki-laki dan satu kambing untuk bayi perempuan. Patokan tersebut seakan diwajibkan yang akhirnya terlihat mendiskriminasi perempuan. Hal ini senada dengan sebuah hadis yang artinya:
Dari Ummu Kurz al Ka’biyah bahwasanya aku pernah bertanya pada Rasulullah SAW perihal aqiqah. Maka Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Ya, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Tidak menyusahkanmu baik itu jantan maupun betina.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Dalam konteks historis, hadis tersebut tentu tak bisa dipisahkan dari kondisi masyarakat Mekkah yang belum ingin bersikap egaliter terhadap perempuan. Dan mereka lebih mengharapkan kehadiran anak laki-laki ketimbang anak perempuan.
Selain itu, dalam sebuah hadis Fi’li yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, pernah diceritakan bahwasanya Rasulullah SAW mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husein, masing-masing satu ekor kambing.
Dengan demikian, dua kambing untuk bayi laki-laki dan satu kambing untuk bayi perempuan dalam aqiqah bukanlah sesuatu yang diwajibkan.
Sementara itu, perempuan yang pada masa jahiliah dijadikan warisan, pada masa kedatangan Islam justru diberi warisan.
Memang, di dalam pembagian warisan laki-laki mendapatkan dua bagian, sementara perempuan mendapatkan satu bagian. Namun, menurut Neng Dara Afifah, hal tersebut mesti ditinjau ulang. Karena, dalam konteks historis, aturan ini justru diluncurkan saat perempuan dijadikan objek yang diwariskan.
Dan kalaupun aturan ini tetap diberlakukan, maka perempuan harus mendapatkan akses kekayaan melalui hibah, maskawin maupun pembagian waris yang diberikan saat orang tuanya masih hidup (Neng Dara Afifah, 2011:193).
Dengan ini, pembagian warisan menjadi adil.
Rasulullah dalam Keseharian dan Rumah Tangga
Di dalam kesehariannya, Rasulullah SAW tak pernah sekalipun menyerahkan pekerjaan rumah tangga semata-mata kepada istrinya. Sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjahit bajunya yang robek dan sandalnya yang putus dengan sendiri. Bahkan, beliau menimang cucunya saat masih bayi.
Rasulullah SAW juga tak pernah menyuruh perempuan hanya untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan hal domestik. Sebagaimana kita tahu, rumah Nabi Muhammad SAW bersama istri-istrinya berada di samping masjid.
Pada masa itu, masjid tak hanya berfungsi untuk ibadah, melainkan juga berfungsi untuk kegiatan sosial dan pendidikan. Seperti rapat mengenai suatu permasalahan, berdiskusi, belajar-mengajar dan lain-lain. Tak hanya itu, Rasulullah juga memperbolehkan istri-istrinya untuk bekerja dan menggeluti bidang yang diminatinya.
Dalam berumah tangga, Rasulullah SAW selalu bersikap adil terhadap istri-istrinya. Salah satu contohnya ialah saat beliau akan menempuh suatu perjalanan, sebagaimana dituturkan oleh Sayyidah Aisyah dalam sebuah hadis yang artinya:
“Ketika hendak melakukan sebuah perjalanan, Nabi biasa membuat undian di antara para istri beliau. Siapa yang namanya keluar undian, dialah yang ikut pergi bersama Rasulullah.” (HR Bukhari dan Muslim)
***
Beliau juga tak pernah bersikap kasar terhadap istri-istrinya. Beliau justru selalu bersikap lembut dan penyayang kepada mereka.
Meski demikian, dalam keadaan tertentu Rasulullah bersikap tegas kepada mereka. Sebagaimana saat bahtera rumah tangga yang dibangunnya terjerat krisis perekonomian, Rasullah dengan tegas dan rela memperbolehkan mereka untuk menceraikannya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Rasullah SAW berusaha menyetarakan hak-hak perempuan dengan laki-laki. Selain itu, dalam keseharian dan berumah tangga, Rasulullah bukanlah sosok yang patriarkis. Dengan demikian, sebagai muslim beriman, patutlah kita meneladani sifat tersebut.
Waallahu ‘Alam.
Editor: Zahra