Nabi Muhammad Setelah Ibunya Meninggal
Setelah ibunya Siti Aminah meninggal, Nabi Muhammad sepenuhnya diasuh oleh kakeknya Abdul Muthallib yang sangat menyayanginya melebihi sayangnya kepada anak-anaknya. Hanya saja, usia kakenya saat itu sudah sangat tua, dan tidak bisa diharapkan bersama dengan nabi dalam waktu yang cukup lama. Sebelum Abdul Muthallib wafat, dia telah berencana menyerahkan cucunya itu pada asuhan Abu Thalib, saudara kandung ayah Nabi Muhammad saw.
Setelah beberapa waktu, ternyata benar Nabi Muhammad kembali dirundung kesedihan dengan ditinggal wafat oleh kakenya, sebagaimana yang pernah dialaminya ketika ditinggal wafat ibunya. Setelah itu, sebagaimana rencana Abdul Muthallib, Muhammad kecil diasuh oleh pamannya Abu Thalib.
Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam kitab Fiqhus Sirah Nabawiyah, menceritakan ihwal Nabi Muhammad setelah ditinggal wafat oleh kakenya, tepatnya ketika berumur genap 12 tahun, Abu Thalib melakukan perjalanan ke negeri Syam untuk berdagang bersama kafilah dagang Quraisy.
Dia pun mengajak Muhammad kecil untuk ikut serta dalam perjalanan panjang itu. Dalam perjalanan ini pula, Muhammad kecil bertemu dengan pendeta Yahudi yang bernama Buhaira, hanya saja penulis akan lebih fokus membahas beberapa hikmah dari perjalanan Rasulullah mencari rezeki.
Rasulullah Giat Mencari Rezeki
Rasulullah mengisi usia mudanya dengan giat mencari rezeki dan juga menggembalakan kambing. Kelak, Rasulullah saw bercerita tentang masa mudanya, “Dahulu aku menggembalakan kambing dengan upah beberapa qirath untuk penduduk Makkah.” Allah pun menjaga beliau dari semua jenis permainan dan kesia-siaan yang dapat menyimpangkan anak-anak dan para pemuda.
Rasulullah saw menuturkan: “Aku tidak pernah tergoda melakukan apa yang dilakukan orangorang di masa jahiliah, kecuali dua kali. Allah menjagaku dari semua perbuatan mereka. Setelah itu, aku tidak pernah menginginkannya lagi hingga Allah memuliakanku dengan kerasulan.
Pada suatu malam aku berkata kepada anak yang menggembala bersamaku di dataran tinggi Makkah, ’Bersediakah engkau jika untuk malam ini kau mengawasi kambing-kambingku sehingga aku bisa ke Makkah dan begadang seperti yang dilakukan para pemuda lain?’ Temannya itu menjawab, ’Baiklah, aku akan melakukannya.’ Maka, aku pergi hingga ketika mencapai rumah pertama di Makkah, aku mendengar nyanyian.
Aku bertanya, ’Suara apa itu?’ Orang-orang menjawab, ‘Ada pengantin.’ Aku pun duduk untuk mendengar, lantas Allah menutup kedua telingaku sehingga aku tertidur lelap. Aku terbangun di pagi hari karena paparan sinar matahari. Aku pun bergegas ke padang penggembalaan menemui temanku.
Dia menanyakan apa yang kulakukan dan aku menjawabnya. Pada malam berikutnya aku mengatakan hal yang sama kepadanya dan kemudian pergi ke Makkah. Namun, aku kembali tertidur seperti di malam sebelumnya. Setelah itu, aku tidak pernah mendambakan suatu keburukan lagi.” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Beirut: Dar al-Fikr 2020], h. 63)
Hikmah Rasulullah Mencari Rezeki Sejak Kecil
Syekh al-Buthi mengatakan, bahwa ada tiga hikmah penting terkait dengan aktivitas Nabi Muhammad saw menggembala kambing dan mencari rezeki sejak dini.
Pertama, melalui aktivitas itu Nabi Saw. memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi. Meskipun pamannya sangat mencintai beliau dan menjaganya sepenuh hati bagaikan kepada anaknya sendiri, Rasulullah saw tidak mau berpangku tangan dan berdiam diri.
Beliau sejak kecil telah belajar mencari nafkah dan bekerja keras guna meringankan beban pamannya. Mungkin saja manfaat atau hasil dari pekerjaan yang dipilihkan Allah Swt. bagi beliau ini hanya sedikit dan tidak berarti bagi Abu Thalib. Namun, itu mencerminkan akhlak luhur yang merupakan wujud ungkapan terima kasih sekaligus mencerminkan watak seorang pemuda yang rajin, gigih, cerdas, dan berbakti.
***
Kedua, aktivitas itu mengandung rambu-rambu mengenai model kehidupan yang diridhai Allah swt bagi hamba-Nya yang saleh di dunia. Sungguh mudah bagi Allah Yang Mahakuasa untuk menyediakan berbagai sarana hidup dan kenyamanan bagi Muhammad sejak masih kecil sehingga beliau tidak perlu bekerja keras atau menggembalakan kambing untuk memenuhi nafkah hidup dan keluarganya.
Namun, dengan kebijaksanaan Ilahi itu, kita mengetahui bahwa harta benda terbaik yang dimiliki seseorang adalah yang dia upayakan dengan kerja keras tangannya sendiri, dan dengan melayani masyarakat serta kaumnya sendiri. Sementara harta benda yang terburuk adalah yang didapatkan dari hasil keringat orang lain, diperoleh dengan berleha-leha, tanpa berusah-payah sedikit pun dan tidak memberi manfaat bagi masyarakat.
Ketiga, juru dakwah siapa pun tidak akan bisa mengembangkan dakwahnya di tengah manusia jika nafkahnya diperoleh dari dakwahnya itu atau mengandalkan pemberian dan sedekah orang lain. Maka, para juru dakwah Islam sudah semestinya bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya, tidak memintaminta dan mengandalkan pemberian orang lain.
Dengan begitu, dia tidak berutang budi kepada siapa pun dalam urusan dunianya. Jika dia bersandar pada orang lain, dia tidak akan bisa menyampaikan dakwah dan nasihatnya secara independen dan secara terus-terang kepada mereka tanpa memedulikan apa pun reaksi mereka.
***
Oleh karena itu, Rasulullah saw telah dididik sejak kecil untuk mencari rezeki, bekerja, membantu pamannya memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga. Rasulullah melakukan semua itu tanpa mengetahui atau menduga bahwa beliau kelak akan mengemban tugas yang sangat berat dan agung, menyampaikan risalah Ilahi kepada seluruh umat manusia. Itulah pendidikan yang disiapkan Allah swt baginya. Bukan tanpa alasan, bahkan sangat beralasan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh al-Buthi, dalam kitabnya mengatakan:
ويوضح أن الله تعالى قد أراد أن لا يكون في شيء من حياة الرسول قبل البعثة ما يعرقل سبيل دعوته أو يؤثر عليها أي تأثير سلبي فيما بعد البعثة
Artinya, “(Semua ini) menjelaskan betapa Allah swt menghendaki agar kehidupan Nabi Muhammad saw sebelum diutus sebagai Nabi tidak mengandung sedikit pun hal yang bisa menganggu jalan dakwahnya atau berdampak negatif terhadap keberlangsungan dakwahnya.” (al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, 2020: 64).
Editor: Yahya FR