Tarikh

Refleksi Sumpah Pemuda: Melacak Akar Pluralisme dalam Tradisi Islam

4 Mins read

Diskursus tentang pluralisme di Indonesia, berikut konsep dan definisinya, sepertinya akan terus menjadi topik hangat yang tidak pernah mencapai “garis finish-nya”. Indonesia sebagai salah satu negara paling relijius di dunia, meniscayakan setiap diskursus, fenomena, dan peristiwa yang terjadi selalu dikait-kaitkan dengan pandangan agama terhadapnya. Karena mayoritas penduduknya Islam, sudut pandang Islam sering dijadikan titik pijak guna menafsir suatu keadaan. 

Pluraslime adalah wacana yang selalu disorot sampai sekarang. Term ini cukup dipandang negatif oleh banyak kalangan umat Muslim karena dianggap tidak murni berakar dari tradisi Islam. Di awal tahun 2000-an, pluralisme divonis oleh Majelis Ulama Indonesia sebagai komiditi pemikiran yang “haram” karena dianggapnya mengandung pemahaman yang meyakini semua agama adalah benar. 

Jika kita telusuri akar sejarah pluralisme ini, tentu kita akan dapati kebenaran klaim di atas bahwa pluralism memang sebenarnya bukan berakar dari historisitas Islam, melainkan bermula dari tradisi gereja abad pertengahan. Kala itu, institusi gereja dituntut menyesuikan diri dengan berbagai wacana seperti hak asasi manusia, gender, demokrasi, egaliterianisme, dan juga pluralisme sebagai tuntutan dunia modern. 

Sekitar abad 18, Eropa sedang mengalami perkembangan di bidang politik dan sosio-relijious sebagai efek dari renaissance (abad pencerahan). Pluralisme merupakan bagian yang inheren dengan dinamika dan peristiwa sejarah ini. Ia adalah kelanjutan dari agenda reformasi dan liberalisme yang sedang berusaha mencari jembatan teologis agar tercipta toleransi beragama. Pada abad pencerahan, masyarakat Eropa bersikeras melepaskan diri dari otoritas gereja yang dogmatik dan doktrinal, dan beralih pada “pemujaan” akal pikiran hingga melahirkan rasionalitas yang menjunjung tinggi eksperimental sains empiris.

Oleh karena itu, bagi sebagian kalangan Indonesia, menjadikan pluralisme sebagai landasan teologis dalam kaitannya dengan hubungan dan interaksi terhadap pemeluk agama lain, tentu tidaklah relevan. Kemudian pertanyaannya, adakah akar pluralisme dalam memori sejarah Islam?

Baca Juga  Sumpah Pemuda: Momen Perubahan ala Pemuda Muslim

Akar Pluralisme dalam Tradisi Islam

Anis Malik Thoha dalam bukunya yang berjudul Tren Pluralisme Beragama: Tinjauan Kritismengatakan bahwa ide pluraslime dalam dunia Islam adalah wacana baru dan tidak mempunyai akar teologis. Masuknya diskursus pluralisme dalam dunia Islam tidak lain dan tidak bukan karena dibawa oleh beberapa sarjana Muslim yang mendapatkan fasilitas pendidikan dan tradisi akademik di Barat pada masa Perang Dunia Kedua. 

Dalam catatan Adnan Aslan dalam bukunya Menyingkap Kebenaran Ilahi, Pluralisme Agama dalam Filsafat Islam dan Kristen Syeed Hossein Nashr dan John Hickdisiratkan bahwa sudah terpercik “spirit” pluralisme dalam tema kajian ke-Islaman masa awal Islam dan abad pertengahan dalam kitab ulama klasik. Namun cakupan pluralisme di situ masih seputar konteks fikih, belum menjamah ranah kalam atau teologi seperti yang ada sekarang. Pada masa itu, para ulama belum menjadikan pluralisme sebagai bagian dari pokok bahasan keimanan. Jika kita amati, tema-tema yang diangkat oleh khazanah keilmuan Islam klasik seperti fikih, ilmu kalam, dan tafsir hadis, maka tidak akan kita jumpai secara spesifik bahasan tentang pluralisme sebagai topik bahasan tersendiri. 

Namun, di luar diskursus keilmuan atau akademik, praktik pluralisme sebagai manajemen kemajemukan (pluralitas) bisa dilacak dalam tradisi Islam sejak zaman Nabi Muhammad, wa bil khusus pada periode Madinah. Rekam jejak dakwah Nabi di Madinah merupakan bukti sejarah otentik yang bisa menjelaskan perilaku dan manajemen sosial yang dicontohkan Nabi Muhammad terhadap pluralitas. Madinah (sebelumnya Yatsrib) adalah sebuah kota yang dihuni oleh berbagai macam suku dan agama (Islam, Yahudi, Nasrani). Kala itu, Nabi Muhammad merumuskan naskah monumental Shahifat al-Madinah (Piagam Madinah) sebagai noktah konsensus sebagai payung kemajemukan lapisan sosial kala itu. Rumusan Piagam Madinah adalah bukti otentik Nabi Muhammad menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, kebebasan, keterbukaan, kesetaraan, keadilan, dan kejujuran. 

Baca Juga  Teologi Altruisme Piagam Madinah
***

Charles Kurzman dalam bukunya berjudul Liberal Islam: A Sourcebookmengatakan bahwa Piagam Madinah adalah wujud dari kecerdasan Nabi Muhammad setelah melihat peta demografis dan sosial keagamaan yang ada di Madinah. Penduduk Madinah saat itu berjumlah sekitar 10.000 orang dengan komposisi plural. 1.500 orang Muslim, 4.000 orang Yahudi, dan 4.500 kelompok Musyrik Arab. Langkah strategis Nabi Muhammad sukses dalam membangun visi kolektif tentang sebuah negara-kota yang dibangun atas dasar perbedaan suku dan agama. 

Ahmad Tsulby dalam bukunya At-Tarikh al-Islamiy wal Hadharat al-Islamiyyah membagi penduduk Madinah di masa Nabi ke dalam tiga golongan besar yang meggambarkan pluralitas suku dan agama. Pertama, kelompok Muslim urban dari Mekkah (Muhajirin) dan penduduk asli Madinah (Anshor) yaitu Auz dan Khazraj. Kedua, kelompok Yahudi yang terdiri dari tiga klan besar; Nadhir, Quraidhoh, dan Qoinuqo. Ketiga, kelompok Musyrikin Arab yang terdiri dari klan Auf, Amr bin Auf, al-Harits, Saidah, Jusyam, al-Najjar, al-Nabit, dan al-Aus. Pluralitas masyarakat Madinah semakin kuat dengan masuknya Salman al-Farisi dari Persia, Bilal bin Rabbah dari Habasyi (Ethiopia), Shuhaib bin Sinan dari Irak, dan Ammar bin Yasir dari Yaman. 

Pada zaman Arab pra-Islam, identitas kesukuan ialah predikat dan haibah tertinggi, sakral, bahkan suci yang tidak dapat dilebur dengan suku lain. Nabi Muhammad berhasil merombak total tatanan lama ini dengan mengumpulkan dan mempersaudarakan tiga kelompok sosial utama Madinah. Mereka diperlakukan dengan adil, juga diberikan apresiasi yang sama dan sederajat. Qodri Azizi, mengutip Brian O’Connel, dalam bukunya Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam mengatakan bahwa terdapat beberapa indikator penguat bahwa masyarakat Madinah sudah dalam kebudayaan modern, itu terbukti dengan adanya: (1) freedom of religion, speech, and assembly, (2) protection of safety and property, (3) the right of association. 

Antara Piagam Madinah dan Sumpah Pemuda

Spirit manajemen pluralitas untuk persatuan, sebagaimana Piagam Madinah, juga bisa kita temukan di Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 tepatnya saat Kongres Pemuda II yang digelar di Gedung Oost Java (sekarang di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat). Saat itu kelompok pemuda dari berbagai latabelakang suku dan agama berserikat dan berkumpul untuk mendeklarasikan sebuah sumpah yang masyhur dikenal dengan “Sumpah Pemuda”. Kalangan pemuda yang hadir dalam acara tersebut antara lain; Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Katholikee Jonglingen Bond, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun, dan lain-lainnya (Tirto.ID).

Baca Juga  Meninjau Kembali Teologi Kerukunan dalam Islam

Perbedaan asal, suku, dan agama tidak menghalangi mereka untuk mendeklarasikan sumpah bersama untuk mengakui Indonesia sebagai tanah air mereka, bangsa mereka, dan bahasa mereka. Peristiwa sumpah pemuda ini merupakan salah satu tonggak sejarah bangsa Indonesia dalam mengawali kesadaran kebangsaan. Sumpah Pemuda membuktikan, perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata dapat disatukan sebagai perwujudan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Terlepas dari perdebatan berkepanjangan terkait apa itu makna atau definisi dari pluralisme/pluralitas, hal terpenting yang harus kita pahami dan resapi ialah kesadaran bahwa kita hidup di lapisan masyarakat yang majemuk dan beragam. Spirit persatuan dari Piagam Madinah dan Sumpah Pemuda harus selalu kita ingat dan pegang untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang damai dan tentram. 

*Artikel ini diproduksi berkat kerjasama IBTimes.ID dengan INFID

Editor: Saleh

Yahya Fathur Rozy
38 posts

About author
Peminat studi-studi keislaman
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *