Siapa yang pernah menduga, sehari jelang Muktamar Muhammadiyah ke-39 di Kota Padang, masjid kebanggaan warga Sumatra Barat, ambruk! Masjid Raya Muhammadiyah yang berlokasi di Jalan Bundo Kanduang Kota Padang tersebut, rata dengan tanah pada 5 Januari 1975.
Bagaimana kronologisnya?
Sehari sebelumnya, tepatnya Sore hari tanggal 4 Januari 1975, anggota Sekretariat Panitia Muktamar Idris Manaf, M. Daris, dan Amril Aziz masih sibuk mempersiapkan agenda acara. Mereka juga ditugasi mengurus penginapan muktamirin.
Pada dini hari, tepatnya pukul 01,30 tanggal 5 Januari 1975–untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Kubah masjid yang terbuat dari beton dan berukuran raksasa itu tiba-tiba ambruk.
Dua belas orang Pemuda Muhammadiyah Kota Padang yang biasa tidur di dekat kubah yang berukuran raksasa itu, mengurung mereka di reruntuhan. Di antaranya adalah Abdurrahman S Chan, Nasrun Harun, Safri Nadi, M. Isa Meha, Herman, dan Masril. Mereka terkurung berjam-jam dan menunggu untuk dievakuasi.
Kondisi darurat ini, tentu memusingkan seluruh panitia yang menunggu kedatangan muktamirin seluruh Indonesia dan luar negeri. Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Barat, Zainal Abidin Syoe’aib (ZAS) menguasai situasi dengan nasehat lembutnya, “yang roboh hanya susunan batu dan besi ton, sedang jamaahnya tetap kokoh,” demikian Buya ZAS menegarkan warga Muhammadiyah Sumatra Barat.
Lalu, bagaimana kisah awal Masjid Raya Muhammadiyah Kota Padang?
Kisahnya bermula dari Surau Lantai Papan. Surau yang berdiri di lahan kosong bekas reruntuhan toko besi milik Robinson–seorang berkewarganegaraan Belanda. Lahan kosong itu telah lama ditinggalkan.
Tanah yang berada tepat di belakang Toko Banjar itu, awalnya alot untuk izin pembangunan. Atas jasa Letkol Sofjan Ibrahim, Muhammadiyah Daerah Sumatera Tengah diberi izin untuk membangun surau sederhana di atas tanah berukuran 9×12 meter.
Semangat fastabiqul khairat-lah yang mendorong percepatan surau itu. Adalah Abdul Aziz Djalil–seorang pedagang kain asal Silungkang, sekaligus bendahara Muhammadiyah yang membeli tonggak surau. Kapten Sjuaib Ibrahim-seorang pejabat Rohis Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang menanggung biaya atap seng.
Biaya lainnya dalam pembangunan surau, diperoleh dari pengajian mingguan, maupun saudagar yang berdagang di sekitar Pasar Jao Padang. Dan, dalam dua minggu saja, surau sederhana berlantai papan, akhirnya diresmikan pada 18 November 1957 bersamaan dengan milad Muhammadiyah ke-44.
Sejak hadirnya Surau Lantai Papan di Pasar Jao, mulai diselenggarakan rutinitas shalat berjamaah dan pengajian mingguan. Tentu saja, kegiatan ini mendorong kuantitas dan kualitas jamaah.
Makin ramainya jamaah Surau Lantai Papan, tidak lepas dari hadirnya Haji Darwas Idris-seorang tamatan Darul Hadits Ummul Qura yang didaulat sebagai imam sekaligus pengajar dalam pengajian mingguan.
Haji Darwas dikenang warga Muhammadiyah sebagai pribadi yang tegas, berwibawa, necis dalam berbusana, dan serasi dalam penampilan. Darwas tidak banyak bicara, dan serius dalam menjawab pertanyaan dari jamaah Surau Lantai Papan.
Surau Lantai Papan yang awalnya berukuran 9×12 meter, rupanya sudah tidak mampu lagi menampung jumlah jamaah. Rutinitas pengajian telah membuat surau makin membludak.
Adalah Sidi Mhd. Ilyas, Ketua Majelis Ekonomi Muhammadiyah Sumatra Tengah yang aktif membantu pelaksanaan kegiatan sosial di surau itu. Ia berupaya merealisasikan planning pengurus yang ingin merombak bangunan surau menjadi lebih permanen.
Konstruksi Surau Papan menjadi Masjid Raya Muhammadiyah Padang, dimulai sejak 1959. Tepat satu tahun pasca meletusnya pergolakan daerah. Untuk menghimpun dana yang masuk, pengurus Surau Lantai Papan membentuk pantia pembangunan yang terdiri dari: Haji Sidi Zainuddin -pemilik Toko Mas Mutiara yang berasal dari Kurai Taji, selaku Ketua Pembangunan.
Haji Jalak demikian panggilan akrab Sidi Zainuddin dibantu seorang sekretaris bernama Mustafa Kamal –seorang karyawan Telkom asal Sungai Tanang-Agam. Untuk menghimpun dana dan mencatat uang masuk-keluar diserahkan pada seorang saudagar kain, bernama Abdul Aziz Djalil.
Gerakan pembangunan Masjid Raya, cukup siginifikan meraup donasi dari warga Muhammadiyah dan kalangan saudagar yang berdagang di sekitar Pasar Jao. Haji Jalak dan Ilyas memang piawai dalam melobi para saudagar, untuk menggelontorkan dana pembangunan.
Jejaring yang pernah dibangun pengurus Muhammadiyah Sumatera Tengah, terutama digerakkan oleh Ilyas –yang telah keluar dari rimba pasca PRRI. Dengan lobi khususnya, ia meminta para saudagar di Kampung Jao, Pasar Gadang, dan Pasar Mudiak.
Dua alasan kuat panitia pembangunan untuk segera mewujudkan Masjid Raya Muhammadiyah. Pertama, adanya keinginan kuat dari saudagar di sekitar Kampung Jao, untuk mewujudkan berdirinya masjid yang megah. Masjid yang mampu menampung ribuan jamaah untuk melaksanakan salat, mendengarkan ceramah tausyiah agama, dan lain sebagainya.
Kedua, adanya kecemasan ketika tiga gereja berdiri kokoh di sekitar Surau Papan dan satu bangunan rumah bersalin dengan salib, aktif melayani perempuan-perempuan yang notabenenya muslimah.
Tidak saja di Padang, Ilyas juga menggalang dana pembangunan Masjid Raya sampai ke Jakarta. Pengurus Surau Lantai Papan, juga menghimpun dana melalui katidiang yang diedarkan tiap shalat lima fardhu, Jumat, dan pengajian di tingkat wilayah.
Seluruh dana yang masuk baik dari donatur, maupun jamaah disampaikan dengan akuntabilitas per-Jumatnya. Sehingga jamaah mengetahui berapa uang masuk dan keluar untuk pembangunan Masjid Raya.
Pada tanggal 17 April 1963 konstruksi Masjid Raya berlantai dua, telah dimulai. Untuk menjaga kontinyuitas pembangunan, Muhammadiyah Ranting Kampung Jao, membentuk panitia khusus untuk pembangunan masjid.
Dalam rapat Muhammadiyah Ranting Kampung Jao yang dilaksanakan akhir April 1963, terpilihlah Sidi Mhd Ilyas sebagai ketua, dan Idris Nurdin selaku Sekretaris.
Haji Jalak didaulat sebagai pengurus harian pembangunan, dibantu oleh beberapa Pemuda Muhammadiyah, sebut saja Mustafa Kamal, Abdul Aziz Djalil, Aziz St. Pangulu, dan Abdurrahman.
Kediaman Haji Jalak yang cukup dekat dengan masjid, atau tepatnya di Jalan M. Yamin, memudahkannya mengontrol langsung pembangunan masjid. Selain itu, lokasinya berniaga, Toko Mas Mutiara yang berada tepat di sisi masjid.
Ilyas dikenang oleh warga Muhammadiyah Sumatera Barat mempunyai peran besar. Ia menghimpun infak dari donatur harian dan mingguan–yang sering berjamaah di masjid. Selain itu, ia mengerahkan penggalangan dana di luar Sumatera Barat.
Buya ZAS, Darwis Muin, dan Zulkarnain ditugasi menggalang dana dari simpatisan Islam Berkemajuan di seluruh Indonesia, kecuali Jakarta. Khusus di ibukota, Ilyas sendiri melakoninya, mengingat ia masih sering mengunjungi anak dan cucu-cucunya.
Puluhan penyumbang tercatat dihimpun infaknya oleh tim pembangunan masjid raya, di antaranya: Haji Sidi Zainuddin (Toko Mas Mutiara), Haji Hamid Djamil (Toko Mas Diamond), Haji Gusman Gaus (Toko Mas Musi), Haji Amran (Toko Mas Internasional), Haji Adnan (Toko Mas Mustika), Haji Amran (C.V Amran & CO), Haji Tabrani (PT. Bus Cemerlang), Haji Tazar (saudagar pupuk), Haji Azmi (saudagar alat olah raga), Abdul Aziz Sutan Mudo (pedagang sembako), Darman Harun (pedagang sembako), Makmur STM (toko jam dan kaca mata), Haji Hamzah Harun (pemilik Apotik Santi), Katarnida Bakri, M. Yusuf Sidin, Haji Dennis (Toko Bodi Radio), A.Kadir Usman (Notaris), dan lainnya.
Seluruh sumbangan yang diberikan oleh pendonor di atas berupa uang tonggak beton, ratusan sak semen, dan kebutuhan material lainnya, secara langsung mendorong percepatan pembangunan masjid raya.
Masjid Raya Muhammadiyah rampung tahun 1974. Namun, pembangunannya menyisakan persoalan. Perhitungan yang tidak matang dan kurang memperhatikan ketahanan pondasi bangunan, menyebabkan ambruknya masjid, tepat sehari jelang Muktamar Muhammadiyah ke-39.
Editor: Arif