Kritik terhadap sebuah film merupakan satu hal yang wajar dan merupakan sebuah keharusan. Ini dilakukan agar ruang publik dalam membicarakan sebuah film bisa terus dilakukan, untuk menyehatkan semua. Namun, film pendek TILIK ini sangat menarik untuk melihat dua respon yang saling bertolak belakang, mereka yang mengkritik dan mereka yang kemudian dibalas kritik. Keduanya seringkali bertemu dalam satu lini masa melalui status Facebook atau saling sahut dalam kanal media sosial lainnya.
Alasan Pihak Pengkritik dan Pihak yang Pro Film TILIK
Bagi mereka yang mengkritik film pendek ini setidaknya memiliki dua alasan pokok; melanggengkan stereotip perempuan dan menagih pesan moral dalam film. Ya, film TILIK dianggap melanggengkan stereotip mengenai perempuan sebagai tukang gosip, membawa fitnah sekaligus stigma terhadap perempuan single yang direpresentasikan oleh Dian.
Karena hal itu, film dianggap tidak memiliki pesan moral yang kuat. Mereka yang mengkritik itu kemudian menagih dalam film ini agar TILIK punya pesan moral yang harus disampaikan. Kehadiran ibu-ibu berkerudung, di sisi lain juga dianggap sebagai bagian dari Islamisasi, yang bisa mencerminkan sinetron azab ala Indosiar, di mana perempuan yang baik yang berkerudung.
Bagi mereka yang setuju terhadap representasi film ini, termasuk dengan tokoh-tokoh perempuannya dengan mempertimbangkan seluruh alur cerita, sosiologis masyarakat pedesaan dan representasi kekinian atas fakta yang dialami sehari-hari, mereka melihat tidak ada persoalan dengan hal tersebut. Viralnya film ini karena dianggap related dengan banyak orang setidaknya juga menandakan hal tersebut.
Kedua kubu ini memiliki bobot yang sama dalam menilai film tersebut, jadi memang tidak perlu dipertentangkan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah adanya semacam tendensi kritik yang berlebihan dalam arus pertama. Di sini, terkesan kuat betapa mereka begitu tidak terima perempuan direpresentasikan semacam itu.
Lebih jauh, orang-orang yang mengkritik dan kemudian dikritik balik atas argumentasi yang dikemukakan itu, merasa jauh lebih memiliki otoritas untuk memberitahu sambil menguatkan bahwa kritik film itu merupakan satu hal yang wajar.
Padahal, di era medsos sekarang, otoritas itu tidak lagi dibangun seberapa banyak orang mendalami isu tertentu, tapi seberapa related terhadap isu tertentu dan orang kemudian merasa direpresentasikan. Tentu saja, kalau kita punya banyak followers, ini memiliki pengaruh yang cukup signifikan juga.
Melihat Film TILIK dari Sudut Pandang yang Proporsional
Dari kedua kubu tersebut, ada beberapa hal sebenarnya yang bisa dilihat untuk setidaknya melihat film ini menjadi lebih proporsional. Pertama, melihat konteks dan tujuan film ini dibuat. Kedua, bagaimana produksi pengetahuan yang dialami oleh sutradara dan tim pembuat film. Ketiga, representasi lokalitas dan wilayah geografis.
Keempat, praktik internet dan sosial media di tengah reproduksi hoaks. Kelima, ruang interpretasi terhadap film. Semua itu bagi saya menjadi perihal yang perlu didiskusikan untuk menempatkan film ini tidak sekadar diinterpretasikan secara sepihak yang hilang dari konteks tersebut.
Film TILIK Didanai oleh Pemprov DIY
Film ini didanai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai sebuah film yang didanai oleh pemerintah daerah, mau tidak mau film ini harus menyesuaikan dengan konteks spirit pendanaan tersebut. Tampaknya, berhati-hati dalam mengkonsumsi informasi di media sosial agar tidak tersandung hoaks dan diinformasi merupakan keterkaitan spirit ini. Tentu saja, aspek lokal menjadi bagian yang penting.
Hal ini ditunjukkan dengan budaya tilik yang menjadi aktivitas praktek kebudayaan yang membacanya, meskipun hal itu mengalami pergeseran seiiring dengan tumbuhnya moda transportasi Individu seperti sepeda motor, memungkinkan orang bisa berkunjung secara individu menengok orang sakit.
Pengetahuan Sutradara dan Produser Film
Di sini, pengalaman sutradara, pembuat naskah sekaligus juga aspek lokalitas atas pengetahuan yang didapatkan juga bagian yang penting. Bagi mereka, ibu-ibu bergosip merupakan realita yang tidak bisa disangsikan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya, sejauh mana itu masuk dalam kategori stereotip perlu dilihat dua hal. Orang yang memproduksi pengetahuan tersebut dalam membuat film ini sekaligus juga letak geografis dari orang yang memandang reproduksi gagasan tersebut.
Disebut sebagai stereotip secara jelas kalau memang tim dari pembuatan film ini memiliki logika patriarki. Meskipun sutradaranya laki-laki, produser film ini adalah perempuan dan ibu-ibu yang berperan dalam film ini tampak bisa melakukan mobilisasi diri di balik pembuatan film. Di sini, unsur negosiasi apa yang disebut dengan logika patriarki tampaknya benar-benar didiskusikan.
Memahami Representasi Lokalitas Pembuatan Film
Meskipun demikian, struktur desa dan praktik kebudayaannya, mau tidak mau merupakan merupakan hal yang tidak terhindarkan. Cara ibu-ibu melihat Dian sekaligus asumsi negatif yang dikeluarkan harus diakui bahwa dalam beberapa hal itu menjadi bagian dari “manners” yang harus dilihat.
Orang yang tumbuh di kota dan kembali ke kampung halaman, saya yakin pasti harus menyesuaikan diri dengan manners ini. Aspek manners, meskipun terlihat sangat bias maskulinitas ini yang tidak bisa diterima oleh mereka yang tumbuh dalam wilayah urban, di mana ruang privasi memiliki ruang lebih untuk tidak diusik dan jadi pembicaraan publik.
Dampak Perkembangan Internet
Memang, kehadiran internet dan media sosial yang massif ke seluruh Indonesia tidak bisa lagi mengkategorikan wilayah geografis, desa-kota, dan urban-rural. Namun, apropiasi teknologi memiliki lintasan sendiri dalam setiap komunitas.
Perihal ini dengan cukup baik dibicarakan dalam obrolan di belakang truk ini; “internet bikinan orang pinter engga mungkin salah, makanya update dong untuk dapat informasi baru, disinformasi karena HP mati.
Kekuatan dari tradisi oral yang melanggengkan gosip sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia juga sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Meskipun dalam konteks ini muncul pertanyaannya mengapa harus perempuan yang dianggap agensi gosip, bukan laki-laki sehingga dianggap film ini justru melanggengkan stereotip.
Di sini, bagi saya melihat aspek lokalitas menjadi penting, bukan semata-mata karena mereka perempuan. Bagi saya, yang tumbuh di wilayah urban seperti Jakarta, setuju bahwa biang gosip dan fitnah itu ya bisa dari laki-laki. Kehadiran akun Instagram Lambe Turah misalnya, informasi gosip yang dikeluarkannya itu sangat amis berbau maskulin.
Namun, lambe turah dalam kehidupan masyarakat urban posisinya seperti kloset di rumah pedesaan, berada paling belakang dan tersembunyi tapi sangat diperlukan. Dengan kata lain, tidak laki-laki dan perempuan sangat suka membaca informasi dari Lambe Turah tapi tidak mau mengikutinya (follow/add) dalam media sosial. Kehadiran sosok antagonis seperti bu Tejo itu sebenarnya merepresentasikan alam bawah sadar kita yang bisa suka bergosip tapi direpresi atas dalih malu dan tidak pantas.
Ruang Interpretasi Film yang Luas
Bagi yang setuju dan tidak dalam representasi film dokumenter ini harus mengakui bahwasanya narasi dan alur yang ditawarkan dalam TILIK memberikan ruang interpretasi secara luas kepada penonton.
Di sini, penonton memiliki daya resepsi sendiri dalam mencerna isi cerita sambil merasakan proses filmis, pernah menjadi bagian dari tokoh-tokoh dalam film tersebut atau setidaknya memiliki irisan dengan cerita tersebut. Di sisi lain, ini yang terpenting, film dokumenter ini diunggah secara legal melalui kanal YouTube, membuat orang tidak memiliki beban menonton film bajakan saat membicarakan isi film ini.
Dengan bebas membicarakan film ini yang ditonton secara legal, saya khawatir, kita sebenarnya juga terjebak dalam tokoh-tokoh film tersebut, meributkan bobot film apakah berguna atau tidak, sementara unsur hiburan dalam film itu sendiri justru diabaikan.
Jika sudah begini, maka wajib hukumnya untuk memaki diri sendiri, “Lah masalahnya ini ada apa sih, kok nonton film aja jadi ribut begini”. Di situ, jika kamu merasa bagian dari representasi film tersebut sebenarnya sedang menjadi bagian dari kelompok urban, yaitu mempersoalkan apa saja yang sebenarnya engga penting-penting amat.