Sebelum menjawab pertanyaan “apakah bunga bank itu riba atau bukan?”, kita perlu mendudukkan persoalan secara tepat. Pertanyaan tersebut berada dalam wilayah ijtihadi, yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat.
Jadi, jangan bicara mutlak-mutlakan. Kalau Anda mau mengikuti pendapat yang mengharamkan bunga bank, tentu silakan. Saya bermaksud mendiskusikan argumen bahwa larangan riba tidak bisa diaplikasikan pada bunga bank.
Tak dapat dipungkiri, diskursus soal bunga bank dan riba didominasi oleh pandangan ulama tradisional dan konservatif yang mengharamkan segala bentuk kelebihan dalam transaksi hutang-piutang dan jual-beli.
Definisi riba dibuat sedemikian umum sehingga “setiap pinjaman yang menarik manfaat/keuntungan adalah riba (kullu qardhin jarra manfa’atan fahuwa riba).” Hadits yang ke-shahih-annya dipersoalkan ini menjadi definisi riba yang dianut ulama-ulama tradisional.
Definisi generik ini mulai dipermasalahkan oleh sarjana-sarjana Muslim modern. Dua penerjemah al-Qur’an terkemuka, Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad, mendefinisikan riba secara spesifik.
“Definisi [riba] yang saya terima,” kata Yusuf Ali, “adalah keuntungan yang tidak dibenarkan, bukan melalui transaksi perdagangan yang sah, melainkan dari pinjaman emas dan perak atau kebutuhan makanan, seperti gandum, kurma, garam dan lain-lain.”
Yusuf Ali menambahkan, “definisi saya ini terkait pemungutan keuntungan yang berlebihan (profiteering), dan tidak termasuk kredit ekonomi ciptakan sistem perbankan modern.”
Asad menekankan dimensi eksploitasi dalam praktik riba yang diharamkan. Katanya, “hujatan keras terhadap riba terkait pengambilan keuntungan dari pinjaman berbunga yang bersifat eksploitatif oleh orang-orang kaya-raya atas kelompok ekonomi lemah.” Dengan definisi tersebut, ia menyarankan supaya kita memperhatikan motivasi sosial-ekonomi dalam menilai apakah transaksi finansial tertentu dapat digolongkan riba atau tidak.
Atas dasar definisi riba yang tidak serta-merta bisa diterapkan pada lembaga perbankan tersebut, saya akan diskusikan pandangan ulama-ulama otoritatif yang membedakan antara riba dan bunga. Tentu saya akan memilih secara selektif, karena ulama yang tidak mengharamkan bunga bank sangat banyak. Juga, karena keterbatasan ruang, pendapat mereka tak mungkin didiskusikan secara detail. Di bagian akhir, saya akan sintesiskan argumen mereka yang beragam itu.
Beberapa Argumen
Saya mulai dengan pendapat Prof. KH Ibrahim Hosen, LML, yang saat itu menjabat rektor IIQ Jakarta dan ketua Komisi Fatwa MUI. Setelah menjelaskan perbedaan pendapat tentang apakah bunga bank termasuk riba (termasuk pandangan ketua umum PBNU KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa bunga bank bukan riba!), Prof. Hosen berargumen bahwa al-Qur’an dan hadits tidak berbicara soal bunga bank karena sistem perbankan, seperti kita saksikan sekarang, belum ada di zaman Nabi. Karena itu, tidak tepat menggunakan ayat riba untuk mengharamkan bunga bank.
Secara khusus, Prof. Hosen berargumen bahwa larangan riba itu terkait transaksi perorangan sebagai manusia mukallaf, sementara lembaga korporasi, seperti bank, “tidak terkena/bebas dari tuntutan khitab taktif.” Saya kutipkan poin ke-4 kesimpulan Prof. Hosen sebagai berikut:
“Secara normatif (berdasarkan kaidah-kaidah ushul fiqh), menurut hemat saya, yang kuat adalah pandangan yang menyatakan bahwa fiqh tidak mengenal badan hukum, yang oleh karenanya maka badan hukum bebas dari tuntutan hukum/khithab taklif.”
Pendapat Prof. Hosen ini bisa dikembangkan lebih jauh, bahwa penerimaan bunga dari bank tidak diharamkan karena seorang individu tidak mungkin mengeksploitasi korporasi besar seperti bank.
Bahkan di Pakistan sendiri yang mempraktikkan bank Islam, soal kredit perbankan menjadi masalah yang diperdebatkan. Ketika Council of Islamic Ideology merancang Islamisasi ekonomi pada 1964, salah satu isu yang mereka tidak bersepakat ialah soal kredit bank. Yakni, apakah “institutional credit” termasuk riba yang dicakup dalam al-Qur’an atau tidak.
Mufti besar Mesir Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Rida, memahami larangan riba dalam al-Qur’an karena melipatgandakan kelebihan/keuntungan setelah jatuh tempo.
Menurut keduanya, kelebihan (atau bunga) yang disepakati dalam akad pertama tidaklah haram. Yang haram itu ialah jika setelah jatuh tempo dibuat akad lain dengan melipatgandakan bunga karena si peminjam tidak mampu membayar.
Hal itu tidak berarti Abduh dan Rida sepenuhnya menerima rate bunga perbankan yang tinggi. Karena itu, mereka menyerukan supaya bank-bank tidak serakah menetapkan suku bunga setinggi-tingginya.
Sejumlah ulama di Mesir menjadikan level “interest rate” sebagai kriteria apakah bunga bank termasuk riba atau tidak. Hafni Nasif dan Abdul Aziz Jawisy, misalnya, mengatakan bahwa keharaman rate bunga di bawah modal pokok masih diperdebatkan. Menarik dicatat, dalam hukum perbankan di Mesir, peminjam hanya dilarang mengambil bunga dalam jumlah melebihi modal pokok tersebut.
Ahli hukum Islam lain seperti Abdul al-Razzaq al-Sanhuri dan Ibrahim Zaki Baidhawi menekankan larangan riba seharusnya hanya diterapkan pada praktik eksploitasi sebagaimana terjadi pada masa pra-Islam. Sanhuri memerinci bentuk-bentuk riba yang disebutkan dalam hadits, dan mengatakan kelebihan tersebut diharamkan karena dikhawatirkan akan mengantarkan pada praktik riba jahiliyah.
Dalam bukunya, Mashadir al-Haqq, Sanhuri menulis: “Jika ada kebutuhan untuk meminjam modal, maka bunga atas modal dalam batas yang disepakati seharusnya diperbolehkan.”
Sebagian sarjana Muslim merujuk pada kenyataan dunia ekonomi yang memungkinkan terjadinya inflasi, sehingga menganggap penetapan bunga sebagai sesuatu yang wajar. Syauqi Dunya, misalnya, membedakan antara pinjaman barang dan uang. Jika Anda pinjam satu gram emas, maka harus mengembalikan satu gram emas. Tapi, kalau Anda pinjam seratus ribu rupiah, tidaklah adil jika setelah setahun berikutnya Anda mengembalikan seratus ribu karena nilainya berubah. Dunya merujuk pada pandangan mazhab Hanafi (juga pendapat Ibnu Taimiyah), bahwa perbedaan “nilai uang” saat peminjaman harus dibayarkan.
Prinsip Etika-Hukum
Argumen-argumen yang dikembangkan beberapa ulama Muslim di atas membuktikan jawaban atas pertanyaan “apakah bunga bank termasuk riba atau tidak” dapat diperdebatkan karena tidak ada dalil qath‘i sebagai kata pemutus.
Meminjam bahasa KH Ibrahim Hosen, terkait lembaga perbankan “yang melakukan riba yang dikenal dengan istilah bunga, masalahnya adalah maskut ‘anhu [tak ada ketegasan, teksnya “diam”], tidak termasuk dalam cakupan ayat yang melarang riba.”
Karena tidak adanya sistem perbankan pada abad ke-7 di Arabia, maka orang-orang miskin yang membutuhkan makan/minum atau tempat tinggal terpaksa meminjam uang dari orang-orang kaya.
Kelompok terakhir memanfaatkan kesempatan tersebut dengan begitu rakusnya membebankan tambahan berlipat ganda. Sebagai seruan moral, al-Qur’an mendorong orang-orang kaya supaya lebih bersimpati kepada kelompok lemah dengan memberikan sedekah atau pinjaman tanpa bunga.
Dengan demikian, pelarangan riba tidak dimaksudkan untuk menghentikan pinjam-meminjam. Seperti umum diketahui, beberapa sahabat Nabi Muhammad dikenal sebagai moneylenders. Tak ada keraguan soal manfaat pinjaman. Persoalannya ialah sisi etis dan moralitas pinjaman: Jangan meminjamkan kepada orang-orang miskin untuk menambah beban kesulitan hidup!
Barangkali karena korbannya adalah masyarakat miskin, al-Qur’an mengontraskan riba dengan sedekah/zakat. Dalam Surat al-Baqarah ayat 276, ditegaskan: “Allah menghancurkan riba namun menambahkan sedekah.” Di sisi Allah, yang bertambah itu zakat, bukan riba (Surat al-Rum: 39).
Karena itu, masyarakat yang punya kemudahan hidup didorong membantu kaum miskin, bukan mengeksploitasi mereka secara serakah sehingga menambah kesengsaraan.
Saya kira, prinsip etis inilah yang ditangkap oleh ulama-ulama yang membedakan antara riba yang dipraktikkan pada masa Nabi dan penetapan bunga bank di zaman modern. Para ulama tersebut mengajukan alasan yang berbeda, namun mereka sepakat tidak adil menggeneralisasi larangan riba tanpa memahami dimensi etika-hukumnya.
Kegagalan ulama tradisional, hemat saya, terletak pada pemahaman mereka yang mengabaikan aspek historisitas dan keabsurdan ekonomi. Mengatakan segala bentuk kelebihan itu haram sama artinya dengan tidak peduli pada konteks yang dihadapi Nabi dan situasi zaman modern di mana perbankan menjadi kebutuhan dalam sektor ekonomi.
Biarlah poin terakhir ini dijelaskan oleh ahli ekonomi. Kita perlu memahami masalah bunga bank dalam konteks sistem perekonomian modern, bukan dirujukkan pada pemahaman ahli fikih dahulu yang belum bersentuhan dengan sistem perbankan.