Feature

Rifa’ah Al-Tahtawi: Pendidikan sebagai Kunci Modernisasi Mesir

4 Mins read

Pada periode awal Mesir, faktor-faktor yang mengancam terbengkalainya aspek pengetahuan disebabkan oleh kondisi sosial masyarakat Mesir terhadap Islam yang memudar secara signifikan. Bahkan, ilmu yang diberikan oleh ulama Al-Azhar, seperti ilmu di bidang matematika mendapat tanggapan yang sedikit mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan tidak pernah ada pembelajaran seperti itu sebelumnya.

Setelah Napoleon Bonaparte menduduki Mesir, mulailah dia membuka beberapa fasilitas pendidikan dan ilmu pengetahuan yang besar, yakni 167 ilmuwan dan seperangkat peralatan ilmiah. Sebagai respon dari keadaan tersebut muncullah gerakan pembaharuan di dunia Islam sebagai pembebas kebodohan dari dominasi asing di negara-negara Islam.

Awal Perjuangan Rifa’ah Al-Tahtawi

Ketertinggalan Mesir dengan dunia Barat membuat pemerintah Mesir, yakni Muhammad Ali Pasha membuat pembaharuan dengan memajukan Mesir sebagai negara modern. Hal ini di  antaranya mulai berkembang perusahaan-perusahaan, akademi perguruan tinggi dan percetakan buku. Namun, gerakan ini sebatas untuk mendukung kedudukannya sebagai “The Founder of Modern Egypt” dan bukan untuk aspek-aspek yang dibutuhkan masyarakat Mesir pada umumnya.

Dengan membentuk departemen pendidikan, mengundang beberapa pendidik dari Perancis dan pertukaran pemuda cerdas Mesir ke Eropa. Ini memberikan tempat bagi Rifa’ah Al-Tahtawi untuk menyempurnakan pembaharuan di Mesir dengan tujuan memurnikan kejayaan Muslim.

Rifa’ah Al-Tahtawi merupakan seorang intelektual yang sejak masih mahasiswa di luar negeri menjadi penggerak modernisasi dan hidup dalam dua dunia yang bertentangan sebagai akibat dari usaha pembaratan. Singkatnya, ia merupakan produk dari proses akulturasi dari zaman tradisional ke modern.

[Bassam Tibi, 1994,133] Al-Tahtawi banyak menghabiskan waktu dalam hidupnya untuk mengabdikan diri di bidang pendidikan. Al-Tahtawi biasa mencurahkan ide-idenya mengenai pendidikan dalam karya tulisnya. Pendidikan baginya, harus berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan yang membutuhkannya. Akan tetapi, kedekatannya dengan para penguasa pada masa hidupnya menjadikan Al-Tahtawi tidak lagi bebas dalam mencurahkan ide-idenya.

Baca Juga  Islam di Amerika: Tantangan dan Peluang

Pendidikan Al-Azhar dan Ilmu Modern

Orang yang mengerti serta memahami syariat itu sangat penting. Rifa’ah Al-Tahtawi menyadari bahwa syariat pasti senantiasa berganti dan sesuai dengan zaman dan tempatnya. Untuk itu perlu adanya penafsiran syariat yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat pada zaman yang berlaku.

Al-Tahtawi menegaskan bahwa kemajuan Barat akan dunia Islam bukanlah suatu bahaya. Tujuan kebangkitan yang dilakukan Barat dengan menjajah dunia Islam bukan hanya sebagai bentuk kegiatan ekspansi atau politik. Tetapi juga sebagai bentuk kegiatan penelitian di bidang ilmu pengetahuan. Jika ingin maju, Mesir harus bisa menyesuaikan diri dengan pengetahuan dan kemajuan modern tanpa harus takut agamanya akan terancam. [Supardjo, 1975,63]

Mencari kesejahteraan hidup di dunia merupakan salah satu tujuan bagi manusia. Di abad modern, kesejahteraan hidup tersebut diterapkan oleh Barat dengan sistem yang serba modern. Tak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga teknologi. Dengan demikian untuk membawa umat Islam pada kesejahteraan tersebut bisa dilakukan dengan cara mengambil dan mempraktekkan ilmu pengetahuan modern dan teknologi tersebut.

Gagasan Al-Tahtawi akan pentingnya mempelajari ilmu pengetahuan modern merupakan fokus penting dari ide pembaharuannya. Sebagian besar dari usianya ia pergunakan untuk tujuan gagasan tersebut. Hal itu dapat dilihat dari aktivitasnya yang berpusat pada penerjemahan dan mengepalai sekolah-sekolah.

Jalan Perjuangannya melalui Terjemaah

Al- Tahtawi menganggap penting adanya kegiatan penerjemahan di dunia Islam yang bertujuan memudahkan umat Islam dalam menggali ilmu-ilmu yang positif yang berkembang di Barat. Dengan demikian umat Islam dapat berusaha memajukan diri mereka. [Ris’an Rusli, 2014,77]

Al-Azhar merupakan tempat pertama Al-Tahtawi belajar yang kemudian dari sana ia dikirim ke Perancis untuk meneruskan studi dalam hal kemajuan baru di Paris. Dalam belajarnya, Al-Tahtawi dapat mengambil beberapa inti pendidikan dan pengajaran. Di antaranya propaganda perlunya pembangunan dan pembaharuan di Al-Azhar serta wajibnya menambahkan ilmu modern dalam kurikulum belajar di Mesir. [Dahlan, 2004, 99]

Baca Juga  Warga Muhammadiyah ini Jadi Saksi Kedamaian Kota Singkawang

Peranan pendidikan itu penting. Mahasiswa membutuhkan pendidikan yang setara dengan pengajaran. Seperti pentingnya belajar ayat dan pasal hukum, tetapi praktisi hukum pun harus sering dilakukan di lapangan.

Al-Tahtawi menegaskan bahwa peran kaum ulama dalam membangun peradaban bangsa adalah sebagai penggerak yang ikut bertanggung jawab bersama kepala negara dalam soal-soal pemerintahan. Hal ini mengingatkan bahwa ulama harus bersikap dinamis dan menjauhi sikap statis dalam berpikir. Ulama dituntut akan kadar kemampuannya dalam menginterpretasikan konsep agama yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan modern. [Rusli, 2014, 76]

Sesungguhnya metode ilmu pengetahuan yang bermanfaat itu berupa perilaku yang jujur. Bagi para ulama atau umaroh perilakunya harus lebih jujur, segala sesuatu yang diucapkannya harus lebih sempurna dan konsekuen, apalagi yang berkaitan dengan ilmu-ilmu praktis. [Dahlan, 2004, 100]

Integrasi Pendidikan oleh Al-Tahtawi

Pada masa Al-Tahtawi, keyakinan yang berkembang di masyarakat yakni satu-satunya ilmu yang diakui di Mesir hanya yang berasal dari Al-Azhar. Sedangkan, ilmu yang diakui di Barat hanya yang berhubungan dengan teknologi.

Umat Islam saat itu memandang ilmu identik dengan Al-Azhar dan menolak ilmu-ilmu lain di luar Al- Azhar. Karena itu banyak ulama-ulama Al-Azhar yang tidak bisa menyaingi ulama-ulama yang dihasilkan Barat. Bahkan masih banyak ulama-ulama Al-Azhar yang masih terpaku pada sistem pendidikan yang statis dan tenggelam dalam kemunduran. [Rusli, 2014, 77]

Al-Azhar pada masa Al-Tahtawi merupakan satu-satunya lembaga pendidikan di Mesir yang menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam. Ketika Muhammad Ali berusaha memasukkan ilmu-ilmu umum ke Al-Azhar, ulama-ulama Al-Azhar bersikeras menolaknya. Kemudian Muhammad Ali mendirikan sekolah umum dengan tenaga pengajar berasal dari orang-orang Mesir dan Barat, yang sebagian pelajarnya merupakan pelajar dari Al-Azhar.

Baca Juga  Budaya Melayu (3): Si Rocok dan Kisah Ekspedisi Pamalayu

Al-Tahtawi sebagai pembawa ide pembaharuan pendidikan menekankan pentingnya ilmu pengetahuan modern agar dikuasai oleh para ulama. Tujuannya agar mereka dapat menyesuaikan pengetahuan agama dengan pengetahuan modern. Ulama dituntut berpikir maju dan rasional. Semakin maju dunia, semakin luas wawasan yang harus dimilikinya. Dengan wawasan yang luas, para ulama tidak akan lagi menganggap pintu ijtihad tertutup, seperti pada masa sebelumnya. [Sani, 1998, 39]

Dalam bukunya tentang ijtihad dan taklid, Al-Tahtawi mengatakan bahwa pintu ijtihad terbuka lebar. Pada masanya ia belum berani mengutarakan gagasannya dengan jelas dan terang-terangan. Masyarakat Islam masih menganggap gagasan tersebut terlalu radikal pada zamannya. Meskipun demikian, masih banyak masyarakat yang memilih untuk tetap berijtihad.

Selain Al-Azhar, Al-Tahtawi juga memikirkan sekolah-sekolah umum, seperti diubahnya sekolah penerjemahan yang ia dirikan sendiri menjadi sekolah yang berbasis pada bahasa asing. Sejumlah bahasa asing yang menjadi pelajaran wajib, di antaranya bahasa Perancis, Turki, Persi, Italia, dan juga ilmu sains seperti teknik, sejarah, dan ilmu bumi. [Sani, 1998, 35]

Dari sekolah ini, Al-Tahtawi berharap siswanya dapat mempergunakan kesempatan itu untuk mempertajam wawasan bahasa asing dengan mengkaji teks-teks modern. Oleh sebab itu, Al-Tahtawi bersikeras mengabdikan diri dengan penerjemahan buku-buku Barat yang memuat budaya-budaya mereka.

Editor: RF Wuland

Ilmy Firdaus Hafidz
3 posts

About author
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds