Opini

Riset: Bukan Generasi Stoberi, Gen Z adalah Agen Perubahan

6 Mins read

Menjelang tahun 2026, IDN Research Institute mengeluarkan hasil penelitian bertajuk Indonesia Millenial and Gen Z Report 2026. Dalam laporan tersebut, generasi Milenial dan Gen Z digambarkan sebagai kelompok yang tidak hanya beradaptasi terhadap perubahan sosial, tetapi juga menjadi penggerak utama transformasi nilai dan struktur masyarakat. Alih-alih disebut sebagai generasi stroberi yang identik dengan kelemahan, Gen Z dan Milenial justru merupakan agen perubahan yang penting.

Gen Z & Milenial sebagai Agen Perubahan

Laporan tersebut menegaskan bahwa “Millennials, aged 29 to 44, and Gen Z, aged 13 to 28, are not simply adapting to a changing world. They are actively reshaping it. They are redefining success, reconstructing systems, and pushing for relevance, representation, and responsibility in the spaces they occupy.” Poin ini menunjukkan bahwa kedua generasi tersebut memosisikan diri sebagai agen perubahan yang menolak sekadar menjadi penerima realitas, melainkan pencipta arah baru bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.

Perubahan tersebut tampak jelas dalam cara mereka memaknai kesuksesan. IDN menekankan bahwa “Today, Millennials and Gen Z aren’t chasing success, they’re designing it. They want purpose over prestige. Flexibility over fixed paths. Alignment over approval.” Nilai-nilai seperti tujuan hidup, keluwesan, dan keselarasan menjadi orientasi baru yang menggantikan konsep kesuksesan tradisional berbasis status atau validasi eksternal. Generasi ini mengembangkan narasi bahwa hidup yang bermakna tidak harus mengikuti pola linear yang ditentukan masyarakat.

Transformasi nilai juga tercermin dalam cara mereka memandang pernikahan dan pengasuhan. Riset tersebut menguraikan bahwa “Millennials and Gen Z now view marriage as a partnership grounded in emotional alignment, mutual growth, and shared purpose—not obligation.” Dengan demikian, pernikahan bukan lagi kewajiban sosial, tetapi proyek kolaboratif yang menekankan pertumbuhan emosional dan tujuan bersama.

Dalam bidang finansial, kedua generasi menunjukkan pergeseran preferensi dan pertimbangan emosional dalam pengambilan keputusan ekonomi. “Millennials prioritize financial stability and long-term planning. Gen Z links financial decisions with emotional needs. They save for concerts, skincare, therapy, or travel because these things help them stay grounded.” Hal ini menegaskan bahwa stabilitas, kesehatan mental, dan keseimbangan hidup menjadi bagian tak terpisahkan dari cara mereka mengelola keuangan.

Perbedaan pengalaman hidup juga memengaruhi hubungan mereka dengan teknologi. Disebutkan bahwa “Millennials experienced the shift from analog to digital… Gen Z is fully native to technology. They understand its emotional and social implications.” Artinya, teknologi bagi generasi milenial adalah alat untuk mempermudah hidup, sedangkan bagi Gen Z teknologi merupakan ruang sosial-emosional yang membentuk identitas dan interaksi mereka.

Dalam hal definisi kesuksesan, riset ini kembali menegaskan bahwa kedua generasi ini tengah membangun orientasi baru. Ia menuliskan bahwa “Millennials are redefining success… seeking meaning, purpose, and emotional balance. Gen Z sees success as alignment.” Kesuksesan kini dipahami sebagai kesesuaian antara minat, nilai, dan keseimbangan hidup, bukan semata pencapaian ekonomi.

Baca Juga  Muchlas Rowi: Muhammadiyah Harus Rebut Narasi Digital

Perubahan paradigma juga terlihat dalam pandangan mengenai pendidikan dan karier. Riset tersebut menjelaskan bahwa “Millennials often feel let down by formal education… Gen Z approaches formal education with skepticism from the start.” Penjelasan ini menggambarkan munculnya tuntutan kuat agar pendidikan lebih relevan, aplikatif, dan terhubung langsung dengan aspirasi profesional.

Di bidang media dan hiburan, kedua generasi menggunakannya sebagai ruang ekspresi dan refleksi. “Millennials turn to media for comfort and reflection. Gen Z uses entertainment as a mirror and a megaphone.” Dengan demikian, hiburan tidak hanya dikonsumsi sebagai pelarian, tetapi juga sebagai medium penyampaian identitas, kritik, dan partisipasi budaya. Dalam konteks politik dan advokasi, generasi ini menunjukkan gaya keterlibatan yang berbeda. “Millennials often engage with politics through established channels. Gen Z is more direct and visual in their civic action.” Media sosial menjadi sarana penting bagi Gen Z untuk melakukan aksi politik yang cepat, visual, dan transformatif.

Laporan ini menyoroti posisi Generasi Alpha sebagai generasi yang tengah dibentuk oleh pola asuh baru. “Gen Alpha is being raised with emotional vocabulary, digital fluency, and ethical reflexes embedded early.” Mereka dibesarkan untuk tidak sempurna, tetapi sadar dan terlibat secara bermakna dalam kompleksitas dunia.

Rangkaian kutipan dan penjelasan tersebut membentuk gambaran komprehensif mengenai bagaimana Milenial, Gen Z, dan Gen Alpha di Indonesia sedang menata ulang orientasi nilai, pola hidup, serta cara mereka membayangkan masa depan. Mereka tidak hanya menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, tetapi secara aktif membentuk arah baru perkembangan sosial dan budaya, menjadi agen perubahan yang signifikan.

Pengaruh Digital dalam Kehidupan Generasi Milenial, Gen Z, dan Gen Alpha

Pengaruh digital menjadi salah satu kekuatan utama yang membentuk perilaku, nilai, dan interaksi generasi Milenial, Gen Z, dan Gen Alpha di Indonesia. Teknologi bukan sekadar alat yang digunakan dalam aktivitas harian, tetapi telah menjadi lanskap sosial yang memengaruhi cara mereka mengekspresikan diri dan mengambil keputusan dalam rangka aktualisasi peran agen perubahan. Berikut ini dijelaskan peran digital dalam berbagai aspek kehidupan mereka, dengan mengacu pada kutipan langsung dari laporan tersebut.

  • Identitas dan Ekspresi Diri

Dalam konteks identitas, ruang digital berfungsi sebagai medium utama bagi Gen Z untuk membangun dan menegosiasikan diri mereka. Riset tersebut menunjukkan bahwa “Gen Z uses digital platforms to express vulnerability, set emotional boundaries, and articulate their beliefs.” Hal ini menegaskan bahwa ekspresi diri bukan hanya bagian dari gaya hidup, tetapi fondasi bagi cara mereka merespons dunia dan menjalani kehidupan. Platform digital memberi mereka ruang untuk menyuarakan pengalaman emosional dan membentuk identitas yang autentik.

  • Keputusan Finansial dan Pengaruh Teknologi
Baca Juga  Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

Pengaruh digital juga tampak kuat dalam perilaku finansial Gen Z. Disebutkan bahwa “Gen Z links financial decisions with emotional needs, often influenced by digital tools like budgeting apps, savings platforms, and social media trends.” Dengan demikian, teknologi tidak hanya mempermudah pengelolaan keuangan, tetapi juga memengaruhi preferensi dan prioritas berdasarkan tren dan kebutuhan emosional yang direfleksikan melalui media sosial.

  • Pendidikan dan Pembelajaran Dinamis

Dalam bidang pendidikan, Gen Z menunjukkan kecenderungan yang kritis terhadap sistem formal. Disebutkan bahwa “Gen Z approaches formal education with skepticism, preferring dynamic learning through videos, explainer threads, and platforms like YouTube.” Ruang digital menjadi sumber utama pembelajaran alternatif yang lebih cepat, relevan, dan kontekstual, menggantikan model pembelajaran tradisional yang dianggap kurang adaptif terhadap kebutuhan zaman.

  • Media, Hiburan, dan Peran Partisipatif

Media digital membentuk cara generasi muda mengonsumsi dan memproduksi hiburan. “Millennials turn to media for comfort and reflection, while Gen Z uses entertainment as a mirror and megaphone.” Generasi Z tidak sekadar mengonsumsi konten, tetapi turut menciptakan dan memodifikasi narasi melalui meme, video pendek, hingga siaran langsung. Hal ini menunjukkan pergeseran dari konsumsi pasif menuju partisipasi kreatif di ruang digital.

  • Advokasi dan Aktivisme Digital

Teknologi juga mengubah praktik advokasi dan keterlibatan politik. Riset tersebut mencatat bahwa “Gen Z engages in digital activism, using carousels, hashtags, and online movements like #IndonesiaGelap to challenge narratives and spotlight issues.” Aktivisme kini dilakukan secara lebih visual, cepat, dan kolaboratif, memungkinkan isu-isu sosial memperoleh perhatian publik tanpa melalui jalur institusional yang kaku.

  • Pola Pengasuhan dan Masa Kanak-Kanak Digital

Generasi Alpha tumbuh dalam lingkungan yang sepenuhnya digital. “Gen Alpha is growing up immersed in digital environments… platforms like YouTube and TikTok shaping their play, learning, and emotional expression.” Kehidupan mereka dibentuk oleh algoritma dan konten digital sejak usia dini, sehingga literasi privasi dan kedaulatan digital menjadi kebutuhan perkembangan yang sangat penting.

  • Pengaruh Algoritmik dan Autonomi Individu

Penulis juga menyoroti kekuatan algoritma dalam membentuk preferensi dan perilaku generasi muda. “Algorithms shape their choices, preferences, and behaviors, raising concerns about autonomy and the need for privacy literacy.” Dengan demikian, kemampuan untuk memahami dan menavigasi algoritma menjadi keterampilan baru yang menentukan kemandirian dalam era digital.

  • Partisipasi Kultural dalam Ruang Digital
Baca Juga  Mendidik di Era Hiperkoneksi

Platform digital memperluas ruang bagi ekspresi budaya dan kebanggaan lokal. Laporan itu menegaskan bahwa “Digital platforms amplify local pride and cultural identity, with Millennials and Gen Z actively engaging in fandoms, microdramas, and global-local narratives.” Kehadiran budaya populer digital memungkinkan mereka merayakan identitas lokal sambil tetap terhubung dalam jaringan global.

Kesimpulan

Keseluruhan temuan menunjukkan bahwa perilaku digital memainkan peran yang sangat signifikan dalam membentuk identitas generasi Milenial, Gen Z, dan Gen Alpha di Indonesia. Ruang online tidak lagi sekadar wadah komunikasi, tetapi telah menjadi lingkungan sosial, emosional, dan kultural yang menentukan cara mereka memahami diri sendiri dan dunia di sekitar mereka. Bagi Gen Z, ekspresi diri menjadi fondasi dalam menjalani kehidupan; mereka menggunakan ruang digital untuk mengekspresikan kerentanan, menyatakan keyakinan, dan membangun identitas secara fluid di tengah perubahan sosial yang cepat.

Melalui platform yang sama, baik Milenial maupun Gen Z membangun komunitas, menciptakan ruang pertemanan, kreativitas, dan rasa memiliki yang sulit dijumpai dalam struktur sosial tradisional. Ini semua adalah ekspresi dari peran mereka sebagai agen perubahan.

Identitas digital juga berkembang melalui praktik cultural remix, khususnya bagi Gen Alpha yang sejak dini terpapar arus global. Mereka menggabungkan kebanggaan lokal dengan pengaruh budaya global, menciptakan bentuk identitas baru yang luwes dan lintas batas. Dalam ranah emosional, Milenial dan Gen Z memanfaatkan podcast, meme, dan narasi sehari-hari untuk memproses perasaan, menemukan validasi, dan merefleksikan pengalaman hidup. Sementara itu, partisipasi dalam advokasi digital memperlihatkan bahwa nilai dan aspirasi generasi ini semakin banyak diartikulasikan melalui aktivisme online, dengan gerakan seperti #IndonesiaGelap menjadi wujud ekspresi ketidakpuasan dan harapan akan perubahan.

Selain itu, kurasi identitas digital (proses secara sadar dalam memilih, menyusun, dan menampilkan identitas di ruang digital) menjadi praktik penting bagi Gen Z, yang menggunakan platform online untuk menampilkan nilai-nilai, preferensi, dan kondisi emosionalnya. Namun, dinamika ini tidak sepenuhnya berada di bawah kendali mereka. Algoritma memainkan peran sentral dalam membentuk pilihan, preferensi, bahkan cara mereka memaknai diri sendiri — sebuah fenomena yang semakin intens bagi Gen Alpha, yang tumbuh dalam lingkungan digital yang sepenuhnya dipersonalisasi.

Dengan demikian, perilaku online terbukti menjadi kekuatan utama dalam proses pembentukan identitas generasi muda Indonesia. Ruang digital menyediakan kesempatan luas untuk koneksi, kreativitas, dan advokasi, tetapi sekaligus menghadirkan tantangan baru terkait privasi, otonomi, dan keaslian diri. Identitas di era digital bukan hanya sesuatu yang dibentuk, tetapi juga terus dinegosiasikan dalam arus teknologi yang cepat dan penuh perubahan.

(FI)

Azaki Khoirudin
112 posts

About author
Sekretaris Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani Pimpinan Pusat Muhammadiyah/Dosen Prodi PAI UAD
Articles
Related posts
Opini

Haul ke-16 Gus Dur: Jalan Sunyi "Muhammadiyah Cabang Tebuireng"

3 Mins read
Hiruk-pikuk peringatan Haul ke-16 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara seremonial telah usai. Tenda-tenda di Pesantren Tebuireng yang ramai pada pertengahan Desember…
Opini

Merawat Warisan Cinta: Haul ke-21 Abah Guru Sekumpul dan Aktualisasi Keteladanan Waliyullah

5 Mins read
Setiap kali bulan Rajab tiba, arah rindu jutaan manusia seakan memiliki satu tujuan yang sama: Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan. Pada puncak haul…
Opini

Generasi Penanam vs Generasi Penebang

3 Mins read
Dalam sejarah kekuasaan Islam klasik, ada satu kisah sederhana yang hingga hari ini tetap relevan, bahkan terasa semakin mendesak untuk meneguhkan kembali…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *