Abdul Rosyad Sholeh. Ia akrab dipanggil Pak Rosyad. Sebagai seorang tetua di Muhammadiyah, ia tidak pernah menutup diri dari anak muda. Semangat dan perjuangannya tidak pernah lentur. Kegigihan serta pengabdiannya di persyarikatan adalah bukti dari jalan cinta yang dipilihnya. Tuan dan puan bisa menyimak saat ia telah ditasbihkan mendapatkan kartu anggota Muhammadiyah. Ia menuliskan perasaannya kala itu, “Hati ini bukan buku, yang bila telah usai dibaca bisa langsung ditutup, dan sangat mungkin tidak dibuka lagi. Tapi kuyakini, ketika langkah sudah kuayunkan, harus mantap.”
Rosyad Sholeh
Rosyad Sholeh kecil dilahirkan dari pasangan KH Ahmad Soleh Hasyim dan Hj Siti Mursyidah. Ahmad Soleh adalah ulama yang tekun mengaji sampai ke Mekkah sebelum perang dunia. Setelah Indonesia merdeka barulah ia kembali ke Indonesia. Ia tekun menimba ilmu di Masjidil Haram dan mengajar di sana bersama ulama lain (Sustiwi, Fadmi, 2012).
Mentalitasnya ditempa sejak kecil. Ia sudah menjadi yatim sejak usia delapan tahun. Ayahandanya meninggalkannya di usia yang sangat belia. Di tahun 1949, ia dikirim ke Pondok Pesantren dan Madrasah As-Salam Cepu, pimpinan KH Utsman menantu kakeknya KH. Mohammad Hasyim. Kelak dari pondok itulah, Rosyad mendalami ilmu agama.
Kehidupannya seperti seorang petualang. Ia tumbuh di Bojonegoro, kemudian berpindah ke Yogyakarta, berlanjut ke Medan, dan kembali ke Yogyakarta. Masa mudanya penuh dengan aktivisme di Muhammadiyah, bahkan hingga usia tuanya.
Ketertarikan Rosyad kepada Muhammadiyah bermula di PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) Yogyakarta. Rosyad Soleh kala itu dibimbing dan diajar oleh sebagian besar orang Muhammadiyah. Djarnawi Hadikusumo adalah salah satu tokoh Muhammadiyah yang membimbing Rosyad Soleh. Mereka para aktivis Muhammadiyah ini berpegangan pada satu prinsip “mengalir bak air, tidak menimbulkan riak yang membuat orang berteriak”. Ia merasa mendapatkan pengetahuan “tajdid” sebagai ruh gerakan Muhammadiyah di PHIN.
Tahun 1961, ia kemudian menjadi Sekretaris Pemuda Muhammadiyah di Medan Baru, setahun berikutnya menjadi Sekretaris Pemuda Muhammadiyah di Sumatera Utara. Dua tahun berikutnya ia kembali ke Yogyakarta dan menjadi Sekretaris Pemuda Muhammadiyah DIY.
Mendirikan IMM
Rosyad Sholeh adalah salah satu pendiri IMM bersama Mohamad Djazman Al-Kindi dan juga Sudibyo Markus. Ibu Ellyda Djazman memberi kesaksian mengenai betapa Almarhum Pak Djazman Al-Kindi sering berdua bersama Pak Rosyad Sholeh berjuang di IMM. Semula Rosyad Sholeh menjadi Wakil Ketua IMM di lokal Yogyakarta di tahun 1964. Kemudian, ia menjadi Sekjen DPP IMM tahun 1965.
Pergulatan dan dinamika IMM pada waktu itu mengalami tantangan yang cukup berat. Di samping meyakinkan kalangan Muhammadiyah sendiri, IMM juga dituntut untuk menjawab tantangan sejarah. Mengapa IMM harus lahir? Mengapa perlu ada HMI dan IMM?. Perjuangan IMM pun membuahkan hasil saat diresmikannya IMM tanggal 14 Maret 1964 dan menghasilkan enam penegasan IMM oleh KH Ahmad Badawi Ketua PP Muhammadiyah.
Sebagai orang yang memiliki pengalaman organisasi mendalam di Muhammadiyah, karir Rosyad Soleh memang bermula dari akar rumput. Rosyad Soleh bukanlah kader dadakan yang tiba-tiba menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia aktif di IMM bahkan sampai tahun 1977. Sejak itu, ia kemudian berturut-turut menjadi anggota PP Muhammadiyah (1975-2000), menjadi Sekretaris PP Muhammadiyah sejak (1985- 1990), Wakil Ketua PP Muhammadiyah (2000-2005), Sekretaris Umum PP Muhammadiyah (2005-2010), dan menjadi konsultan ahli (2010-sekarang).
Organisator Muhammadiyah Tulen
Pak Rosyad Sholeh sering dijadikan rujukan oleh teman-teman PP Muhammadiyah maupun para generasi muda sesudahnya dalam berorganisasi di Muhammadiyah. Maklum, Pak Rosyad Sholeh memang menapaki Muhammadiyah dari tingkat paling bawah. Dinamika, pengalaman dan juga pengalamannya menjadi pimpinan dari tingkat bawah sampai pucuk pimpinan tentu sangatlah berharga.
Pak Rosyad juga mengalami berbagai zaman mulai dari sebelum kemerdekaan hingga zaman reformasi. Ia juga hidup di era penjajahan, Soekarno, dan Soeharto dengan penuh dengan dinamika yang mewarnai persyarikatan.
Perangai Pak Rosyad Soleh yang kalem, tenang, tanpa meledak-ledak, dan konsisten menjadi teladan di Muhammadiyah. Meski tenang dan kalem, Pak Rosyad Sholeh hampir selalu ada di balik pemilihan PP Muhammadiyah. Seperti yang diungkapkan Amien Rais bahwa “ARS selama hampir 32 tahun lebih atau sekitar 7 kali muktamar selalu menjadi Ketua Pemilihan Anggota PP Muhammadiyah.” Haedar Nasir menyebut Abdul Rosyad Sholeh sebagai seorang yang komit, berintegritas, dan juga gigih di Muhammadiyah. Kemuhammadiyahannya benar-benar seratus persen, kata-katanya sejalan dengan tindakannya.
Pengalaman dan juga aktivitas dakwahnya di Muhammadiyah tidak kemudian membuat dia menjadi seorang yang jumawa dan besar kepala. Perjuangannya di Muhammadiyah dari muda hingga usia tua adalah pembuktiannya kepada orang tuanya bahwa jalan dakwah yang ia tempuh tetap konsisten sebagaimana pesan ibunya “NU apa Muhammadiyah sing penting akhlak lan salate” (di NU atau Muhammadiyah yang penting akhlak dan salatnya).
Rosyad Sholeh sering dijadikan rujukan dan konsultasi para pemimpin Muhammadiyah karena dianggap mengetahui banyak hal tentang dinamika persyarikatan dan roda organisasi ini. Sikapnya yang tawadu, membuat ia makin disegani dan dirindukan petuah serta pengalaman hidupnya dalam bermuhammadiyah. Di usia senjanya, ia masih bermuhammadiyah dengan gembira.
Pak Rosyad memang orang yang tindakan dan kata-katanya sejalan. Sebagai seorang pemimpin di Muhammadiyah, ia hampir tiada cela. Kemuhammadiyahannya seratus persen, kata Haedar Nasir. Ia menjalankan laku organisasi Muhammadiyah sebagai pilihan hidup yang ia tempuh dengan ikhlas dan penuh dedikasi.
Editor: Nabhan