Sosok Bung Karno sejatinya tidak bisa dilepaskan dari umat Islam. Meskipun kini masih ada nada minor terhadap dirinya yang acapkali diberi label nasionalis semata. Namun, faktanya Soekarno dalam romantisme sejarah begitu banyak bersentuhan dengan dunia keislaman.
Di awal kemerdekaan, Soekarno datang kepada Kiai Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama untuk meminta nasihat sekaligus memohon restu waktu dan tanggal kemerdekaan yang tepat.
Perintah Menerjemahkan Buku
Tahun 1965 ketika Bung Karno menjabat sebagai presiden memerintahkan kordinator kesejahteraan untuk menerjemahkan sebuah buku berjudul “The New World Islam” karangan L Stoddard.
Pasalnya, Soekarno memandang bukunya banyak mengulas kebangkitan Islam melawan khurafat, sumber-sumber yang bukan dari agama Islam. Menceritakan pikiran baru yang dicetuskan Al Afghani dan Muhammad Abduh.
Dalam suatu kesempatan, Soekarno juga sempat menulis sosok yang dia kagumi semisal Al Afghani. Di dalam artikel Nasionalisme, Islamisme, Marxisme. Soekarno menuturkan : ‘’Seyid Djamalludin El Afghani dimana-mana telah mengchotbahkan nasionalisme dan patriotisme, jang oleh musuhnja di lantas sadhaja disebutkan ‘’fanatisme’’di mana-mana pendekar pan Islamisme ini mengchotbahkan hormat akan diri sendiri, mengchotbahkan rasa luhur diri, mengchotbahkan rasa kehormatan bangsa, jang oleh musuhnja lantas sahadja dinamakan ‘’chauvinisme’’ adanja.’’
Al-Afghani Sebagai Spirit
Soekarno mengambil spirit keislaman dan mengakui Al Afghani sebagai bapak nasionalisme Mesir. Al Afgani memang sosok seorang yang menginspirasi banyak orang. Dr. Iqbal penyair terkenal muslim di buku pesan Islam menggambarkan Al Afghani sebagai rajawali.
Sebabnya, ada beberapa ciri khas burung rajawali. Pertama, selalu terbang tinggi. Kedua, tidak pernah membangun sarangnya sendiri. Ketiga, tidak ingin memangsa binatang lain. Keempat, tidak pernah menyisakan mangsanya untuk hari esok. Kelima, senang menyendiri.
Iqbal menyebut Jamaluddin Al-Afghani sebagai gambaran ideal sang rajawali. Ia terbang dengan cita-citanya yang tinggi, membangkitkan umat Islam dan mempersatukannya. Ia mengembara ke seluruh dunia Islam dan tidak ingin terikat pada fanatik buta mazhab yang sempit.
Ia tidak senang bergantung pada orang lain. Dia menyibukkan diri dalam pengabdian kepada Islam dan pengikut-pengikutnya. Di tengah-tengah masyarakat, dia merasa dirinya seorang yang terpisah, dari keterpencilan atau isolasi dia mendapatkan perasaan seolah dirinya tidak ada.
Tak heran, Bung Karno terinspirasi dari sosok yang satu ini.
Bung Karno Tak Berpikiran Sempit dan Open-Minded
Sementara itu sebagai seorang yang beragama Islam, Bung Karno pun tak termasuk muslim yang cupet dan berpikiran sempit. Dia terbuka terhadap kemajuan dan siap mempertahankan pendapatnya itu.
Sebagai contoh, pada 1940-an, pada masa dia masih diasingkan, Bung Karno terlibat polemik tentang donor darah yang diharamkan oleh ulama. Menurut dia, donor darah itu demi kemanusiaan, tidak ada sangkut pautnya dengan agama seseorang, baik yang mendonorkan maupun penerima donornya.
Jamak diketahui, Soekarno tokoh yang sangat berpengaruh di negeri ini. Soekarno menjabat sebagai Presiden pertama Republik Indonesia. Sebagai seorang muslim, di Timur Tengah Soekarno diakui sebagai seorang pemimpin muslim yang memberikan pengaruh. Lebih dari itu, ia adalah seorang tokoh nasionalis.
Meskipun di negeri ini, kita mengenal Soekarno sebagai seorang tokoh nasionalis ketimbang sebagai tokoh Islam. Kenyataannya,ia tak kalah banyak menulis tentang Islam jika ingin membandingkannya dengan tokoh-tokoh Islam tanah air lainnya.
Karena itu, dari sudut pandang romantisme historis, memang perlu dipertimbangkan kembali kedudukan Soekarno, paling tidak sebagai seorang pemikir muslim di Indonesia.
Soekarno juga menaruh perhatian yang besar terhadap umat dan paham-paham keagamaannya. Karena itu, Soekarno memperdalam Islam, tidak hanya dalam konteks ajaran tentang ibadah, tetapi juga dalam hal siyasah (politik) dan muamalah (sosial dan ekonomi).
Mengkaji Islam Lewat Berbagai Sumber
Tidak hanya sekadar memperdalam Islam, Soekarno juga menganalisis persoalan-persoalan keislaman, melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial dan sejarah yang ia kuasai. Soekarno tidak menyetujui paham-paham keagamaan yang kaku.
Soekarno amat menentang taqlid buta dan mengampanyekan tentang pentingnya ijtihad. Ia amat menentang sikap kolot, takhayul, dan anti rasionalisme yang memang sedang menjamur di kalangan umat Islam saat itu.
Hal ini karena ajaran Islam disalahtafsirkan. Pada masa pembuangan, Soekarno pernah meminta kiriman buku kumpulan Hadits Bukhari karena ia mencurigai beredarnya hadits-hadits palsu yang bertentangan dengan Al-Qur‘an.
Di sini, Soekarno telah menyelami pemikiran kritik hadits, yang hanya baru-baru ini saja menjadi perhatian di kalangan akademisi.
Di kesempatan lain, Soekarno pernah meminta bahan materi guna mendalami ajaran Islam kepada A.Hassan dari organisasi Persatuan Islam. Soekarno juga sempat berguru kepada Kiai Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhamadiyah.
Gagasannya mengenai Marhaenisme bukan hanya terinspirasi dari paham marxirmse semata, tetapi disinyalir dari teologi Al maun yang Kiai Ahmad Dahlan bangun.
Soekarno pada masanya tak kalah hebat dengan tokoh keagamaan lainya seperti Buya Hamka, Natsir, Agus Salim, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan peran Soekarno dalam dunia keislaman di Indonesia perlu terus digali.
Beliau telah berkontribusi besar terhadap Islam pembaharuan. Spirit modernisme mempengaruhi banyak pemikiran Soekarno dalam memandang Islam sebagai agama yang terbuka terhadap segala perkembangan zaman.
Editor: Yahya FR