Inspiring

Safari Akhlak Bersama Sayyid, Habib ala Iran

4 Mins read

Bepergian adalah pembelajaran yang berharga. Kira-kira begitu kalimat bijak yang diungkapkan beberapa orang bijak. Hal tersebut menunjukkan bahwa bepergian ke suatu tempat akan menambahkan pelajaran dalam kehidupan entah dari sisi kognitif, afektif bahkan psikomotorik.

Kampus tempat kami menempuh pendidikan doktoral, Mustafa International University (MIU) Tehran dalam proses pendidikannya memberikan program kunjungan ke tempat-tempat bersejarah di Iran bagi mahasiswa asing. Program tersebut sudah termasuk dalam program beasiswa yang sedang saya tempuh. Kebetulan dosen yang mengampu program tersebut adalah kepala bagian kebudayaan MIU Tehran yaitu Sayyid Ali Imamzadeh. Di Iran Sayyid adalah panggilan bagi keturunan rasul, sama halnya panggilan habib di Indonesia.

Di Iran sendiri para ahli agama pada tingkatan tinggi mempunyai ciri khas dalam berpakaian. Ditunjukkan dengan dipakainya Amamah di kepala mereka. Amamah sendiri mirip surban yang dililit melingkar. Ada dua warna Amamah, putih bagi ulama yang bukan Sayyid/Habib, hitam bagi ulama yang sekaligus Sayyid/Habib.

Tujuan dipakainya Amamah kepada mereka selain menjaga eksistensi agama Islam di Iran, juga berfungsi sebagai penanda bahwa mereka orang yang berilmu dan siap ditanyai perihal ilmu agama oleh umat. Bahkan jika bertemu di jalan bukan hanya di dalam masjid. Sayyid Imamzadeh dosen pendamping kami menggunakan Amamah hitam. Hal tersebut menunjukkan bahwa beliau ulama dengan keilmuan yang tinggi sekaligus keturunan rasul. Pada hari itu juga beliau mengenakan Amamah hitam sekaligus pakaian Aba’ah (pakaian ulama khas Iran)

Pada hari yang ditentukan untuk melakukan kunjungan budaya tersebut beliau datang sendiri dengan mobilnya. Di Iran kepemilikan mobil bukanlah hal yang mewah. Semua orang hampir mempunyai mobil dari bapak dapur dan satpam kampus kami hingga direktur kampus. Selain harga mobil yang murah, bensin di Iran yang paling mahal hanya sekitar 3000 Rupiah per liter, menjadikan masyarakat Iran mudah mempunyai mobil.

Rombongan kami 6 orang, sehingga 3 di antara kami dipesankan Mobil ojek online untuk mengantarkan ke tempat tujuan. Sedangkan saya dan 2 teman saya lainnya ikut di dalam mobil beliau. Pria 58 tahun tersebut ternyata tidak mempunyai asisten atau supir pribadi, mobil tersebut beliau sendiri yang menyetir.

Baca Juga  Ismail Al-Jazari: Sang Ilmuwan Mekanik Muslim

Perasaan kami saat itu campur aduk antara sungkan dengan beliau. Namun kami tidak bisa berbuat apa-apa karena tentu kami tidak diperbolehkan menyetir di Iran. Padahal perjalanan dari kampus menuju lokasi pertama (Makam Imam Khomeini) lumayan jauh, sekitar 1 jam. Karena hal tersebutlah saya lebih tertarik menulis tentang akhlak beliau (Sayyid Imamzadeh) ketimbang sejarah tempat yang kami kunjungi. Karena kisah tentang Imam Khomeini tentu sudah sangat masyhur.

Sesampainya kami di Makam Imam Khomeini, beliau menjelaskan banyak tentang perjuangan Imam Khomeini. Di tengah penjelasan akhirnya terbongkar bahwa beliau adalah murid dari Dr. Mahmoud Boroujerdi, menantu dari Imam Khomeini. Akhirnya saya tidak heran melihat begitu luhurnya akhlak beliau. Tentu diturunkan dari Imam Khomeini melalui menantunya.

Selama di makam Imam Khomeini, saya mengamati kebiasaan dari Sayyid Imamzadeh yang unik. Beliau selalu mempersilahkan kami untuk memasuki ruangan-ruangan terlebih dahulu dan beliau berada di paling belakang sambil berdiri mempersilahkan saya dan kawan-kawan. Jika digambarkan, seperti seorang pelayanan rumah makan yang berdiri di depan pintu masuk mempersilahkan pengunjung untuk masuk ke dalam rumah makan. Mungkin gambaran tersebut agak kurang sopan untuk menggambarkan seorang Sayyid, namun memang begitulah kenyataanya.

Setelah puas keliling komplek makam Imam Khomeini kami duduk sebentar istirahat di pelataran komplek tersebut, posisi duduk antar kami agak berjauhan. Tiba – tiba Sayyid Imamzadeh mengambil sesuatu dari mobilnya yaitu kotak berisi kue. Namun anehnya beliau tidak menyuruh kami mendatangi mobilnya untuk mengambil kue tersebut.

Malah beliau memilih mendatangi kami satu persatu membawa kotak berisi kue dan mempersilahkan kami memakannya. Setelah selesai menghabiskan kue, kami beranjak ke lokasi kedua yaitu makam beberapa wali Allah di Iran, tepatnya di kota Rei. Sekitar 30 menit dari lokasi pertama.

Baca Juga  John Wansbrough: Sang Orientalis yang Kontroversial

Sesampainya di komplek ziarah Rei, beliau mengajak kami makan siang di restauran terdekat. Sistem di restauran tersebut pembeli harus membayar terlebih dahulu lalu mengantri mengambil makanan sendiri di tempat koki yang sedang memasak sambil menyerahkan nota pembayaran. Beliau meminta kami untuk mencari tempat duduk terlebih dahulu sambil menunggu beliau melakukan pembayaran. Setelah melakukan pembayaran beliau tidak kunjung datang ke meja kami. Saya dan salah satu teman saya akhirnya mencari beliau.

Kami berdua terkejut melihat Sayyid Imamzadeh mengantri mengambilkan makanan buat kami. Antrian pada saat itu sekitar 20 orang di depannya. Segera kami mendatangi beliau lalu meminta beliau untuk duduk dan kami gantikan untuk mengantri. Sungguh tidak disangka beliau menolaknya. Kami sudah memaksa beliau untuk kami gantikan namun tetap beliau meminta kami duduk di meja saja.

Beliau juga menyampaikan kepada kami bahwa makanan nantinya diantar oleh pelayan restoran tersebut ke meja kami. Akhirnya kami menyerah untuk membujuk beliau. Hampir 10 menit beliau mengantri. Akhirnya jadi juga makanan pesanan kami. Namun hati kami bergetar ketika melihat yang mengantarkan makanan ke kami bukan pelayan restauran, namun Sayyid Imamzadeh.

Beliau mengantarkan 7 piring makanan kami dengan media meja dorong beroda seperti yang biasa ada di restauran pada umumnya. Seketika kami reflek berdiri dan menjemput beliau, namun sayangnya beliau sudah sampai di depan meja kami. Rasa campur aduk kami rasakan. Namun dengan santainya Sayyid Imamzadeh terus melempar senyum kepada kami.

Setelah makan selesai, seperti biasanya kami berkeliling ke makam-makan para wali Allah yang berada disana untuk berziarah. Bagi saya pribadi, ziarah adalah media menyerap pelajaran dari perjuangan wali-wali Allah dalam memperjuangkan agama Islam dan memajukan umat islam agar bisa diambil spiritnya di kehidupan beragama saya saat ini.

Setelah puas berkeliling ziarah ke makam 3 wali Allah di Rei, tiba-tiba Sayyid Imamzadeh mengajak kami makan eskrim. Awalnya kami menolak karena kami berfikir nantinya beliau akan malu jika ada orang yang melihat seorang Sayyid makan eskrim. Meskipun kami sudah faham jika di Iran eskrim adalah makanan untuk semua kalangan bukan hanya untuk anak kecil.

Baca Juga  Buya Hamka, Berdakwah dengan Sejuk dan Damai

Namun sekali lagi kami tidak berhasil menolak ajakan beliau. Ketika pesanan eskrim wortel kami sampai di meja, Sayyid Imamzadeh berkata “Ladies first, lalu kalian (mahasiswa) dan terakhir untuk seorang Sayyid” sambil tangannya membagikan dan menata eskrim di depan kami masing-masing.

Eskrim kami pun habis tanda waktunya pulang ke asrama. Keluar dari komplek tersebut tidak jauh dari pintu keluar terlihat ada toko buku dan pernak pernik. Sayyid Imamzadeh tiba-tiba menyuruh kami menunggu lalu beliau berjalan cepat menuju toko tersebut. Ternyata beliau membelikan kami tasbih satu persatu.

Saat membagikan tasbih tiba-tiba ada seorang bapak dengan anaknya meminta Sayyid Imamzadeh untuk mendoakan anaknya. Hal itu bukan pertama kalinya kami melihat kejadian tersebut. Dalam perjalanan tak jarang beliau dimintai doa dan pendapat keagamaan oleh masyarakat yang lalu lalang di tempat wisata. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya. Di Iran, ulama yang menggunakan Amamah entah warna putih maupun hitam harus siap-siap dicegat tiba-tiba untuk dimintai pendapat dan ilmunya.

Ketika bapak tersebut meminta Sayyid untuk mendoakan anaknya. Sayyid meminta bapak itu menunggu sebentar, seketika itu Sayyid bergegas berjalan cepat kembali ke toko. Ternyata Sayyid membelikan tasbih dan menghadiahkannya kepada anak tersebut. Sontak anak tersebut memunculkan wajah gembira setelahnya. Perjalanan kami tutup dengan kekaguman-kekaguman kami terhadap luhurnya akhlak beliau.

Sebagai keturunan nabi (Habib/Sayyid) beliau tidak meminta untuk diistimewakan oleh orang lain. Namun karena ketinggian ilmu dan akhlaknya, orang disekitarnya secara otomatis menghormati dan mencintainya. Sungguh pantas jika beliau mendapatkan gelar habib karena perilakunya memancarkan cinta dan orangpun mencintainya. Semoga para habib di seluruh dunia bisa seperti itu juga. Sebagai obat kangen umat Islam terhadap rasulnya, Nabi Muhammad SAW.

Editor: Yusuf

Avatar
7 posts

About author
Penulis
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *