NewsPerspektif

Salah Kaprah Radikalisme Keagamaan

4 Mins read

Barangkali isu politik paling menonjol akhir-akhir ini adalah kampanye melawan “radikalisme keagamaan”. Bukan korupsi, kerusakan lingkungan, atau pergolakan kisruh pertanahan. Mengapa dan bagaimana isu radikalisme keagamaan ini menjadi penting melampaui isu mahapenting lainnya? Kebanyakan jawaban tertuju pada sejumlah kejadian pemboman yang terjadi sejak awal tahun 2000.

Alasan lainnya adalah meningkatnya gelombang politik ekstremisme-nasionalis yang terlihat dari besarnya perhatian pemerintah pada ideologisasi dan tampilnya kembali jargon-jargon rasis dan anti-separatisme. Tapi apakah masyarakat kita secara umum memang mengidap “radikalisme-keagamaan”? Dalam pengertian yang bagaimana kita bisa memahami bentuk “radikalisme-keagamaan” tersebut? Pertanyaan secara spesifik akan digambarkan melalui pola kultural, sosial, dan ekonomi masyarakat muslim.

Saya ingin menunjukkan ilustrasi sederhana tentang bagaimana kehidupan masyarakat kita, terutama masyarakat muslim menjalani kehidupan ekonomi, sosial dan religius. Kebanyakan masyarakat beragama, hidup dengan sosialisasi kesadaran beragama terjadi di rumah ibadah, sekolah, forum keagamaan seperti pengajian atau ritual tradisi perayaan keagamaan, melalui perangkat media seperti TV atau internet, dan tidak terelakkan lagi dari wacana berbau agama yang diproduksi oleh negara.

Kebanyakan studi tentang radikalisme keagamaan di Indonesia meletakkan medium-medium ini secara berbeda. Ada yang menganggap bahwa sekolah dan pernyataan sikap agamawan menentukan sangat besar proses radikalisasi keagamaan. Ada juga yang menganggap bahwa radikalisme keagamaan sebagai dampak langsung dari perpolitikan global, benturan antara politik demokrasi Barat yang uzur dan menggairahnya kembali politik Islam.

Apapun itu, antara tiap perspektif selalu terbentur dan dibayangi oleh agenda pertahanan negara. Ikhwal rumitnya pemahaman yang komprehensif atas masalah ini bermuara pada kelindan kepentingan masyarakat sipil menjaga harmonisasi sosial, broker atau makelar intelektual, dan kepentingan stabilisasi politik negara. Tapi saya tidak ingin berpanjang lebar menjelaskan itu. tujuan saya di sini adalah memaparkan bagaimana kondisi sosial yang remeh temeh, di mana kehidupan sosial masyarakat muslim betul-betul terjadi.

Baca Juga  Bagaimana Islam Memandang Perilaku Playing Victim?

Ada perbedaan mendasar pada penggunaan istilah radikalisme atau radikalisasi keagamaan. Kebanyakan sarjawanan di Indonesia cenderung menggunakan istilah “radikalisme keagamaan” bahkan “radikalisme Islam” atau “fundamentalisme Islam” yang bermakna kesadaran, perilaku, sikap, dan aksi kaku atau konservatif dalam memaknai perintah dan ajaran agama.

Manifestasi dari radikalisme keagamaan adalah pembenaran tindakan paksa bahkan cenderung intimidatif terhadap kelompok subjek lain. Tapi John L. Esposito dalam buku Who Speaks for Islam cenderung menggunakan istilah radikalisasi (radicalization) yang bermakna bahwa pemahaman keagamaan dapat mengalami radikalisasi posisi. Saya sebetulnya cenderung sepakat dengan Esposito, bahwa pemahaman kaku komunitas beragama itu pada dasarnya memang tersedia, persoalannya adalah bagaimana pemahaman tersebut mengalami radikalisasi.

Jika kita sepakat dengan istilah “radikalisme keagamaan”, kita seolah-olah bersepakat bahwa agama memang biang kekerasan. Dan cara terbaik untuk berhadapan dengan agama adalah menabuh perang sebagaimana yang sedang terjadi saat ini.

Saya punya alasan khusus mengapa radikalisasi sebagai konsep lebih mungkin digunakan ketimbang “radikalisme keagamaan”. Jika kita memperhatikan gerakan aksi massa I, II, dan III yang terjadi pada akhir tahun 2016, dan memperhatikan siapa saja simpatisan gerakan itu, maka kita akan terkejut. Gerakan aksi massa ini ditujukan untuk memprotes pernyataan Basuki Tjahaja Purnama atas kasus “penistaan agama”.

Dorongan Moral 212

Ahok, panggilan populer Basuki yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta, dianggap melakukan pelecehan terhadap Alquran. Dalam salah satu video yang beredar di media sosial dan kanal YouTube, pernyataan Ahok tentang surat Al-Maidah ayat 51 dianggap tidak pantas. Bagaimanapun, kebanyakan penanggap video dan propagada “penistaan agama” menganggap Ahok memang melakukan kesalahan fatal yang seharusnya dia hindari di masa-masa persaingan politik identitas yang makin tajam.

Baca Juga  Lomba Video Menghadang Pandemi Corona

Ketika itu, ribuan orang berbondong-bondong pergi ke Jakarta. Apakah sebagian kecil di antara mereka memperoleh dukungan finansial atau tidak, itu sama sekali tidak mengurangi poin pentingnya. Aksi massa tersebut menunjukkan bagaimana radikalisasi terjadi pada orang-orang biasa, pedagang sayur, buruh pabrik, dan aktivis muslim medioker yang atas dasar solidaritas keagamaan rela mengeluarkan biaya pribadi untuk mendukung aksi massa tersebut.

Kebanyakan media, jurnalis, dan bahkan pengamat dari kampus, mengabaikan fakta penting bahwa, sebagian besar simpatisan gerakan massa yang dikenal dengan “Aksi Bela Islam 212” itu pergi atas dorongan moral. Begitulah persisnya radikalisasi terjadi. Dorongan moral simpatisan Aksi Bela Islam 212 bersumber dari doktrin utama dalam Islam bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci, siapa saja yang menyatakan penolakan atau bahkan pengabaian terhadapnya akan berhadapan dengan “umat muslim”.

Aksi Bela Islam 212 ini merupakan peristiwa penting yang dianggap menampakkan secara besar potensi radikalisme keagamaan di Indonesia. Tentu saja dengan mengabaikan seberapa tepat kerangka analisis yang dapat digunakan.

Mengukur Radikalisasi Paham Keagamaan

Kampanye melawan “radikalisme keagamaan” menyisakan pertanyaan sulit tentang bagaimana mengukur “radikalisme” itu. Pertanyaan itu berhubungan dengan pertanyaan utama kita, apakah masyarakat muslim kita radikal? Khutbah-khotbah ibadah sholat Jum’at, ceramah dan pengajian, dan pernyataan agamawan populer tentang “haram memilih pemimpin non-muslim”, “haram mengucapkan selamat Natal” atau “pemerintahan khilafah” bukan narasi konservatif absolut.

Kebanyakan orang Islam terbiasa mendengar pernyataan-pernyataan teologis itu dalam beragam situasi dan kondisi. Sebagian mengalami radikalisasi pemaknaan. Sebagian lagi menganggapnya sebagai pernyataan teologis yang tidak mesti aktual dihubungkan dengan kondisi politik saat ini.

Kebanyakan orang Islam yang kecewa dengan program pembangunan dan kebijakan ekonomi pemerintah tidak akan menghubungkannya dengan kegemilangan janji politik khilafah. Kebanyakan mereka juga tidak pernah menganggap bahwa pemerintah yang tidak menerapkan hukum Islam adalah kafir. Hanya sebagian kecil dan sangat minoritas yang mengembangkan politik khilafah secara serius.

Baca Juga  Dalam Politik Kekuasaan: Muhammadiyah Belum Berserikat, Tapi Masih Bergerombol

Jadi, narasi-narasi atau ungkapan bernada teologis itu tidak dapat dipegang sebagai variabel radikalisme keagamaan. Ceramah atau pengajian yang bernada konservatif mungkin lumrah kita temui. Tapi sangat jarang yang berujung menjadi kampanye tindakan jahat, intimadasi, bahkan mendorong motivasi pemboman.

Ketika peristiwa pemboman di Gereja, tidak sedikit kelompok muslim yang malu atau bahkan menganggap tindakan itu bukan representasi aspirasi kekecewaan mereka terhadap problem sosial dan politik. Bagi mereka, pemboman yang menewaskan perempuan, anak kecil, bahkan seorang pendeta atau romo yang salih, bukanlah tujuan dakwah Islam.

***

Survei John L. Esposito dan Dalia Mogahed dalam buku yang saya kutip tadi juga memperlihatkan hal serupa. Kebanyakan kaum muslim menganggap hubungan antara dakwah Islam dan tindakan pemboman tidak ada sama sekali. Pemboman adalah pembunuhan, sementara dakwah Islam sekalipun konservatif merupakan upaya kultural dan sosial.

Bagi saya peningkatan kampanye pemberantasan “radikalisme keagamaan” cenderung terlihat sebagai pembentukan ilusi dan hipereralitas politik. Negara berupaya memperlihatkan bentuk-bentuk ancaman ideologis untuk memperoleh pengakuan dan legitimasi sebagai entitas politik tertinggi. Saya Cuma menganggap bahwa tren pemberantasan “radikalisme keagamaan” dalam payung deradikalisasi agama ini hanya akan memicu perang sosial antara sesama warga sipil dan memperburuk praktik demokrasi. 

50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds