Perspektif

Salahkah Jika Non Muslim Ikut Berburu Takjil?

3 Mins read

Seluruh umat Muslim di seluruh dunia beramai-ramai melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Bahkan tidak jarang dari mereka yang melakukan tradisi ngabuburit saat Ramadhan, khususnya di Indonesia. Sebuah tradisi di mana orang-orang akan menghabiskan waktu menjelang Maghrib, supaya tidak terasa menunggu lama adzan Maghrib. Sebab biasanya jika semakin dekat waktunya, maka akan terasa semakin lama jika ditunggu terus-menerus.

Kegiatan menghabiskan waktu sebelum Maghrib tersebut—afdalnya tentu dengan tadarus al-Qur’an, berdzikir, i’tikaf atau ritual amaliah lainnya, tapi di Indonesia sendiri justru—biasanya diisi dengan keluar mencari angin, sambil berburu takjil atau appetizer (hidangan pembuka) berupa es-es-an atau gorengan, walaupun yang tetap diutamakan adalah beberapa butir kurma. Namun tampaknya lidah orang Indonesia lebih menyukai makanan-minuman yang disebut pertama.

Reinterpretasi Makna Takjil

Takjil  sendiri berasal dari kata bahasa Arab عجّل يعجّل تجيلا yang mempunyai arti ‘menyegerakan/mempercepat’. Maksudnya adalah menyegerakan untuk berbuka, hal ini sesuai dengan hadis nabi yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari yang berbunyi:

لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرِ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

Artinya: “Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”.

Istilah takjil yang mempunyai maksud proses penyegeraan untuk berbuka, mengalami pergeseran makna menjadi sebuah appetizer dengan segala jenisnya. “Ayo kita nyari takjil (makanan pembuka)”, bukan “Ayo kita nyari takjil (penyegeraan)”. Namun, ketidaksesuaian ini lumrah terjadi di bahasa Indonesia saat ada sebuah kata serapan dari bahasa Arab, atau pun bahasa-bahasa yang lainnya, karena yang diambil adalah esensinya.

Setidaknya ada dua hikmah penting yang ada di balik anjuran disegerakannya berbuka: Pertama, untuk membedakan dengan agama lain, karena kaum Yahudi dan Nasrani tidak menyegerakan berbuka, justru mengakhirkannya. Kedua, agar orang yang berpuasa tersebut cepat kembali kuat kondisi tubuhnya tidak semakin lama menahan lapar, dan tentu menjadi kuat kembali agar bisa maksimal beribadah pada malam harinya.

Baca Juga  Cak Nur: Pernikahan Muslim dan Non-Muslim Itu Boleh Saja!

Akan tetapi, realitanya berbeda dengan yang diharapkan dari hikmah tersebut. Waktu berbuka puasa tak jarang dijadikan sebagai ajang ‘balas dendam’ setelah seharian menahan makan dan minum. Efek dari hal ini tentu saja membuat kondisi perut kekenyangan dan akhirnya mengerjakan ibadah pun terasa berat. Padahal pesan dari Rasulullah Saw, kita perlu membagi isi perut menjadi tiga bagian: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk bernafas.

Dimensi Sosial dalam Takjil

Takjil selama ini dipahami hanya sebatas penyegeraan berbuka saja, lebih banyak membicarakan tentang diri sendiri yang tidak berhubungan dengan orang lain, lebih mementingkan perut sendiri daripada perut-perut lainnya. “Saya berburu takjil” secara otomatis bermakna dia mencari makanan takjil untuk dirinya sendiri, perutnya sendiri. Walaupun misalkan saja perginya berbarengan, “Kami mau berburu takjil”; tetap saja untuk perut mereka masing-masing, bedanya hanya dilakukan secara berjamaah.

Takjil dalam versi ini memang berpegang pada hadis-hadis tentang penyegeraan untuk berbuka seperti yang disebutkan di atas, dengan kata lain masih sebatas mengamalkan apa yang dikatakan nabi tentang ta’jil fitr, masih berdimensi ritual-amaliyah.

Namun, jika melihat keadaan yang terjadi di jalan-jalan sekarang, tampaknya takjil ini meluas dari dimensi ritual-amaliyah ke dimensi sosial. Saat ini banyak bermunculan orang-orang yang berlomba-lomba untuk memberikan takjil kepada orang lain, dari mulai perorangan (orang-orang dengan rejeki lebih), komunitas, lembaga, sampai sekolah-sekolah kerap kali melakukan acara bagi-bagi takjil di jalanan, lampu merah, dan tempat strategis lainnya.

Event-event yang mereka adakan, terlepas—misalnya saja—untuk konten, kepentingan promosi atau pun kepentingan-kepentingan yang lainnya, yang jelas impact untuk orang liyannya itu jelas terasa, pada kenyataannya kebaikan itu tetap tersalurkan. Jadi sah-sah saja apa pun alasan mereka mengadakan bagi-bagi takjil tersebut.

Baca Juga  Islamisme itu Merusak dan Menyempitkan Citra Islam

Non-Muslim Berburu Takjil

Lebih dari itu, saat ini, banyak kalangan non muslim yang dalam berburu takjil, meskipun mereka tidak berpuasa, sebab mereka bukan beragama Islam. Ternyata ada kebahagiaan tersendiri bagi para non-muslim saat berburu takjil, mungkin karena suasananya yang ramai sampai jajanan yang tersedia saat bulan Ramadhan sangatlah variatif yang jarang ditemukan di bulan-bulan lain.

Berburu takjil yang selama ini identik hanya dengan orang muslim saja, hari ini berburu takjil terbukti bisa juga memberi membawa suasana dan manfaat juga bagi orang non muslim atau agama-agama selain Islam. Hari ini takjil milik semua orang, semua boleh berburu takjil dan merasakan semua makanan dan jajanan yang dijual oleh para penjual takjil.

Menurut hemat saya, tidak ada yang salah bila non muslim ikut berburu takjil. Biarkan saja mereka merasakan kehangatan dan kenikmatan daripada bulan yang penuh barokah ini. Selama mereka tidak menganggu bahkan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, tidak ada salahnya bagi mereka untuk merasakan sejuknya di tengah perbedaan yang ada. Ramadhan menjadi berkah bagi semuanya.

Fenomena war takjil ini bisa saja membawa dampak ekonomi yang besar bagi masyarakat dan negara. Sebab yang membeli tidak hanya kalangan muslim saja, tetapi juga non muslim. Ya hitung-hitung melariskan dagangan para UMKM kecil supaya pulang dengan gembira karena dagangannya habis terjual. Aaminn.

Jadi, sudah berapa banyak temanmu non muslim yang war takjil? hehehehe

Editor: Soleh

Avatar
3 posts

About author
Muhamad Firdaus tinggal di Jl. WIjaya Kusuma RT.04 RW.02 Kabunan Dukuhwaru Kab. Tegal. Sekarang ia menempuh pendidikan s2 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Tafsir.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *