Sejak kecil, awal masuk sekolah di SD, aku sudah mengenal sekolah Muhammadiyah. Kebetulan waktu itu kedua kakak perempuanku menuntut ilmu di SMP Muhammadiyah. Dari mereka aku tahu ilmu thoharah atau cara bersuci yang benar, bagaimana cara sholat dll.
Pada saat itu, lembaga pendidikan swasta belum sebanyak sekarang ini. Mungkin karena di daerah pinggiran, kehadiran SMP Muhammadiyah bagaikan oase bagi anak-anak yang haus akan ilmu pengetahuan setelah lulus dari sekolah dasar.
Meski sudah ada lembaga pendidikan lain seperti SMP Bopkri dan MTs NU, SMP Muhammadiyah ini tidak lantas keder. Tetapi justru menunjukkan kualitasnya dalam hal pendidikan sekolah menengah.
Seakan saling berlomba dalam kebaikan, ketiga lembaga pendidikan tersebut masing-masing melahirkan insan-insan intelek yang patut diacungi jempol hingga saat ini.
Dari akhlak sehari-hari kedua kakakku dalam menjalankan tuntunan agama dan dalam bersosial masyarakat sangat berpengaruh pada seluruh anggota keluarga kami. Entah karena hal itu atau karena yang lain, kedua kakak lelakiku juga mengikuti jejak melanjutkan ke SMPM. Tahun-tahun berikutnya, aku dan adik perempuanku juga sekolah di situ. Karena untuk bersekolah di sekolah negeri harus pergi jauh ke kota Kabupaten. Total kami berenam mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah.
Ada rasa nyaman, bangga dan bersyukur bisa melanjutkan ke SMP yang sudah seperti sekolah pribadi saking akrabnya kami dengan para guru dan staf lainnya. Rasa yang begitu dalam merembes ke hati hingga membentuk sebuah keyakinan dan cita-cita luhur bahwa aku tetap di area ini. Tak peduli suara sumbang kanan kiri yang benci ataupun iri dengki. Tekad sudah bulat dan tetap berharap kelak menjadi insan yang cerdas, santun, berakhlak mulia dan berbudi luhur.
Di tahun ketika aku masuk di SMPM, sebenarnya sudah ada beberapa sekolah swasta Islam lainnya yang bermunculan. Namun karena di keluarga kami Muhammadiyah sudah terasa mendarah daging, kami maju terus walau sekolah baru ada di samping rumah. Karena itulah banyak yang berkomentar negatip kepadaku, kenapa harus sekolah di Muhammadiyah, sedang ada sekolah yang lebih dekat, tak keluar ongkos transport dll.
Dalam menghadapi aneka omongan negatip, aku bekerja keras untuk menjadi siswa yang berprestasi. Ini tak mungkin kulakukan sendiri tanpa dukungan dan gemblengan dari para guru. Pelan namun pasti setiap tahun selalu ada murid yang mendapatkan beasiswa untuk ke jenjang yang lebih tinggi. Kemampuan dan prestasi para murid dari SMPM tak kalah dengan murid dari SMPN.
Rasa cinta dan rasa nyaman menuntut ilmu di sekolah Muhammadiyah membuatku tetap di naungan ini ketika melanjutkan di sekolah menengah atas. Ada perasaan sulit untuk melarikan diri dari sebuah lingkungan yang sudah membentuk jiwa raga dan keyakinan dalam hal menuntut ilmu, beribadah dan bermuamalah. Tak berlebihan bila kunyatakan bahwa aku sudah terlanjur mencintai Muhammadiyah.
Kita tidak bisa mengubah prinsip seseorang agar seide dengan kita. Begitupun aku. Kenyataan yang kuhadapi berikutnya adalah aku berjodoh dengan pria dari luar Muhammadiyah yang awalnya kurang begitu suka dengan cara- cara Muhammadiyah dalam beribadah. Aku yakin itu terjadi karena dia belum tahu secara detil dan jelas apa itu Muhammadiyah. Akhirnya kamipun bersatu tanpa harus merasa diri yang paling benar.
Pernah suatu hari ada teman seorganisasi yang mengomentariku, kok bisa sih menikah dengan pemuda di luar pemuda kita? Lho, apa ada yang salah? Beda organisasi bagiku tidak masalah, toh semua kegiatanku didukung penuh meski suami tidak pernah ikut langsung dalam kegiatanku. Aku bersyukur walau tidak kelihatan tapi dia merupakan pendukungku di balik layar. Kegiatan apa saja yang berhubungan dengan Muhammadiiyah tak dilarangnya.
Bagi orang lain mungkin aneh, tapi tidak bagiku, karena ada keunikan dan kebahagiaan tersendiri. Kami saling menghormati dan hingga saat ini kami tetap rukun. Ketiga anakku lebih condong mengikutiku dan aku tidak akan memaksa suami harus masuk ke organisasi yang kuikuti. Biarlah masuk pelan-pelan dan aku yakin kepadaNya Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati hambaNya.
Aku lebih suka menyebutnya keindahan dalam perbedaan. Karena dengan perbedaan kita bisa saling introspeksi yang bermuara saling menghormati. Meskipun di daerah tempat saya tinggal, warga Muhammadiyah termasuk minoritas, tidak akan mengurangi semangat yang senantiasa maju tak gentar. Tak pernah ada rasa aku yang benar dan kamu salah. Yakin akan rahmadNya yang selalu dilimpahkan kepada kami sekeluarga.
Saking merasuknya Muhammadiyah dalam jiwaku hingga muncul perasaan sedih ketika ada beberapa keluarga yang antipati terhadap Muhammadiyah. Salah satu contoh, ada anak yang lolos di sebuah universitas Muhammadiyah ternama dengan jurusan yang keren pula. Tapi bapak dan ibunya tak merestui, tak mengijinkan hanya karena mereka bukan dari keluarga Muhammadiyah. Apa salahnya?
Seakan tidak rela berdonasi di lembaga pendidikan Muhammadiyah yang sudah kesohor prestasinya seantero negeri bahkan mancanegara. Tidakkah bisa dilihat sekolah Muhammadiyah bukanlah sekolah kaleng-kaleng dan sudah sangat maju. Ini bisa dibuktikan dengan banyaknya para cendekiawan jebolan sekolah Muhammadiyah. Selain lembaga-lembaga pendidikan yang semakin bertambah jumlahnya di Indonesia, amal usaha-amal usaha Muhammadiyah lainnya bahkan tak terhitung.
Darah Muhammadiyah begitu kental di tubuhku. Dari keluarga lalu mengenal IRM, IPM, NA hingga Aisyiyah. Tak kan mudah bagiku membelokkkan arah langkah yang sudah terpampang nyata di depan mata. Dengan semangat cinta demi kualitas iman dan kualitas hidup menuju manusia berkemajuan.
Editor: Dhima Wahyu Sejati