Feature

Berbagi Pengalaman Mendidik di Sekolah Muhammadiyah

4 Mins read
Oleh : Arif Jamali Muis*

Pendidikan yang digagas oleh Kyai Dahlan adalah pendidikan yang mengintegrasikan nilai–nilai agama Islam  dan Ilmu pengetahuan, jauh sebelum ada perdebatan Islam isasi Ilmu pengetahuan, Kyai Dahlan 107 tahun yang lalu sudah mempraktekannya.

Lalu apa nilai dasar pendidikan yang dibangun Kyai Dahlan 107 tahun yang lalu, dan masihkah relevan nilai dasar tersebut untuk mendidik generasi milenial saat ini? Pertama nilai–nilai agama Islam , Kyai Dahlan mendidik para murid di Kauman Yogyakarta berlandaskan pada nilai–nilai ajaran Islam .

Yang menarik adalah, Kyai Dahlan tidak hanya mengajarkan ajaran Islam  yang berhenti pada kekuatan Ibadah dan kesalehan individu para muridnya. Lebih dari itu, Kyai Dahlan mengajarkan Islam  yang solutif dalam menyelesaikan persoalan kehidupan masyarakat.

Islam  yang “organik” atau Islam  fungsional yang diajarkan oleh Kyai dahlan terlihat jelas dalam metode pembelajaran surat Al-‘Asr ayat 1–3 atau surat Al Ma’un ayat 1–7 yang diajarkan berbulan–bulan agar nilai–nilai ayat Al-Qur’an tersebut tertanam dalam karakter para muridnya.

Lihatlah pidato Syuja’, murid Kyai Dahlan dalam acara Kongres Muhammadiyah tahun 1920, “Banyak orang diluar Islam  (bukan orang Islam ) yang sudah berbuat menyelenggarakan rumah panti asuhan untuk memelihara mereka si fakir, dan kanak-kanak yatim yang terlantar dengan cara sebaik – baiknya hanya terdorong dari rasa kemanusiaan saja tidak merasa bertanggungjawab dalam masyarakat dan tanggungjawab disisi Allah kelak di kemudia hari. Kalau mereka dapat berbuat karena berdasarkan kemanusiaan saja, maka saya heran sekali kalau umat Islam  tidak dapat berbuat, padahal agama Islam  adalah agama untuk manusia, bukan khalayak yang lain. Apakah kita bukan manusia?

Terlihat jelas bagaimana Kyai Dahlan berhasil menanamkan bahwa beragama itu tidak semata–mata ritual ibadah semata tetapi berfungsi untuk kemaslahatan umat manusia, dengan ungkapan pertanyaan yang sangat reflektif yaitu “padahal agama Islam  adalah agama untuk manusia, bukan khalayak yang lain. Apakah kita bukan manusia?”. Landasan nilai – nilai agama inilah kemudian hari kita kenal dengan pendidikan karakter.

Baca Juga  Begini Tiga Olok-Olok NU untuk Muhammadiyah

Keharusan Berfikir Kritis dan Terbuka

Bagi Kyai Dahlan nilai–nilai Islam  yang menyelesaikan problem masyarakat akan berjalan efektif dan tepat sasaran jika ditopang dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dapat diraih dengan cara berfikir kritis.

Ahmad Dahlan mengajarkan para santrinya untuk berfikir kritis, setiap pembelajaran yang diberikan Kyai Dahlan tidak secara indoktrinasi, tetapi muridnya diajak untuk berfikir dan mengkritisi fenomena yang terjadi. Budaya berfikir kritis dan terbuka tersebut harusnya menjadi ciri khas warga Muhammadiyah, termasuk di lingkungan pendidikan Muhammadiyah.

Ribuan sekolah dari PAUD hingga Perguruan Tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia menanamkan cara berfikir kritis dan terbuka ini. Cara berfikir yang kritis dan terbuka itulah yang menghadirkan diaspora alumni lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan berbagai macam cara memandang dunia ini.

Apakah penanaman cara befikir Islam  yang “fungsional” (soleh secara pribadi dan sosial) serta karakter berfikir kritis terbuka saat ini masih menjadi pola lembaga pendidikan muhammadiyah? Adakah pola yang terstruktur (konseptual) di lembaga pendidikan muhammadiyah untuk menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah sebagai pusat perkaderan? Atau pertanyaan yang lebih teknis lagi apa bedanya hasil didikan lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan lembaga pendidikan yang lain?

Tentu masih banyak pertanyaan yang bisa diajukkan untuk memetakan fungsi pendidikan Muhammadiyah sebagai pusat perkaderan. Apa yang saya tulis dalam poin–poin pemikiran berangkat dari pengalaman menjadi pendidikan di sekolah Muhammadiyah 3 Yogyakarta.

Saya berangkat dari pertanyaan tentang apa bedanya sekolah Muhammadiyah dengan sekolah negeri ? Pertanyaan ini biasanya dijawab dengan adanya tambahan mata pelajaran ISMUBA (Al-Islam, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab). ISMUBA lah menjadi tumpuan untuk mentransformasi nilai–nilai keislaman dan kemuhammadiyahaan. Walau saying, kenyataan dilapangan, mata pelajaran ini bukanlah dianggap mapel utama. Ia hanya menjadi pelengkap belaka dibandingkan dengan mapel lain seperti matematika, sosiologi, ekonomi, fisika, dan lain sebagainya.

Baca Juga  Hasil Survei, Rezim Elektabilitas, dan Keberanian Partai Politik yang Perlu Dipuji

Disisi lain, mapel ISMUBA yang sebagai core penanaman nilai–nilai Islam  dan kemuhammadiyahan berhenti sebagai mata pelajaran yang hanya bertitik tolak pada aspek kognitif atau psikomotorik belaka, yang itupun belum tentu sesuai dengan perkembangan siswa.

Saya mencoba mencermati pelajaran kemuhammadiyah tingkat SD kelas 3, misalkan, menyebutan usaha yang dilakukan ‘Aisyiyah untuk mencapai tujuan “meningkatkan pengalaman serta menyebarluaskan agama Islam  dalam segala aspek kehidupan” atau ada kalimat “meningkatkan kualitas dan kuantitas pengkajian terhadap ajaran agama Islam .

Jangankan siswa SD kelas 3, mungkin gurunya juga kesulitan memahami kalimat tersebut. Apalagi jika mapel kemuhammadiyahan bukan diajarkan oleh aktivis Muhammadiyah/Aisyiyah. (Pengalaman penulis yang lahir tidak dari keluarga Muhammadiyah tetapi tertarik dan merasa kagum dengan Muhammadiyah sejak SMA karena diajarkan Kemuhammadiyahan oleh guru yang aktivis pimpinan pusat aisyiyah Ibu Shoimah Kastolani).

Kedepan, perlu dipikirkan secara serius format pembelajaran kemuhammadiyahan dari Sekolah Dasar hingga (mungkin) perguruan tinggi agar banyak orang yang tertarik dengan Muhammadiyah (kemudian menjadi kader).

Pelajaran Kemuhammadiyahan bukan hanya sekadar mata pelajaran/mata kuliah. Akan tetapi,  kemuhammadiyahan adalah ruh yang harusnya menginspirasi semua kegiatan di satuan pendidikan. Hal tersebut bisa terjadi jika dibuat system pembelajaran yang bermakna.

Pendidikan Karakter Berbasis Kemuhammadiyahan

Pendidikan Karakter berbasis “Kemuhammadiyahaan” sebagai sarana perkaderan harus dijadikan budaya sekolah. Selama ini, budaya sekolah sangat tergantung pada kemampuan kepala sekolah dalam memimpin.

Karena memang selama ini tidak ada konsep penerapan budaya sekolah berbasis kemuhammadiyahan. Budaya sekolah tersebut berkaitan dengan manajemen sekolah, pola pembelajaran baik didalam kelas maupun diluar kelas, pembiasaan yang harus dilakukan peserta didik maupun pendidik.

Majelis Pendidikan Kader bisa bekerjasama dengan majelis Dikdasmen untuk merumuskan budaya atau karakter berbasis “kemuhammadiyahan”. Selama ini, MPK hanya menyentuh pada sisi perkaderan guru–guru melalui Baitul Arqom maupun Darul Arqom. Tetapi konsep yang lebih substansil sepengetahuan saya belum tersentuh.

Baca Juga  Menemukan Kesetaraan dalam Ungkapan 'Kanca Wingking'

Perlu dibuat pilot project penerapan sekolah berbudaya/berkarakter “Kemuhammadiyahaan” yang tidak hanya berhenti pada tataran pembelajaran saja akan tetapi dalam semua aspek kehidupan lembaga pendidikan termasuk didalamnya kerjasama dengan Pimpinan Ranting/Cabang Muhammadiyah sebagai pusat pembelajaran nilai – nilai kemuhammadiyahan.

Framework Pendidikan Muhammadiyah Abad 21

Framework pendidikan Muhammadiyah abad 21 menunjukkan ada 3 aspek penting dalam proses pembelajaran yang dapat menghasilkan kader muhammadiyah yang unggul. Pertama, penanaman budaya/karakter yang dijiwai oleh nilai–nilai kemuhammadiyahan. Majelis dikdasmen bersama majelis pendidikan kader harus merumuskan budaya atau karakter berbasis kemuhammadiyahan tersebut sehingga lembaga pendidikan mempunyai pedoman dan dapat diterapkan.

Kedua, menerapkan 4 Cs (berfikir kritis, kreatifitas, kolaborasi, dan komunikasi) dalam proses pembelajaran disetiap matapelajaran termasuk ISMUBA. Ketiga, melek teknologi informasi (literasi media, literasi teknologi, dan literasi informasi). Ketiga aspek penting dalam pendidikan muhammadiyah tersebut ditopang oleh pertama mekanisme penilaian yang akurat termasuk penilaian terhadap budaya/karakter yang dibangun dengan berlandaskan nilai kemuhammadiyahan, kedua kurikulum termasuk kurikulum ISMUBA, ketiga pengembangan guru dan tenaga kependidikan, harus diperbanyak guru yang berasal dari aktivis ortom dengan berbagai mata pelajaran, dan keempat lingkungan sekolah yang teritegrasi dengan masyarakat, masjid, pimpinan persyarikatan, dan keluarga.

Berapa jumlah anggota muhammadiyah berdasarkan kartu anggota Muhammadiyah? Saya kira tidak lebih dari 3 juta, itupun yang sudah meninggal tetap dihitung. Berapa setiap tahun lulusan SMA/SMK/MA Muhammadiyah termasuk mahasiswa PTM/A, ada baiknya setiap lulusan sekolah menangah atas dan PTM/A dibuatkan kartu anggota Muhammadiyah , secara psikologis mendapatkan kartu anggota muhammadiyah akan merasa sebagai kader. Walahu’alam

*Wakil ketua LPB PP Muh/Wakil Ketua PWM DIY)
Editor: Yahya FR
Avatar
6 posts

About author
Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *