Feature

Sarang Building dan Peluang Seni-Budaya di Muhammadiyah

1 Mins read

Di rumah makan Padang Sederhana jalan Kaliurang pada 31 Januari 2020 sekitar pukul 19.45, dokter Alim, Iqbal Aji Daryono, Lya Fahmi-Lukman, dan saya menyimak kegelisahan seniman Alfi Chaniago, asal suku Minang, yang sangat mencintai Muhammadiyah itu meskipun ia tak pernah terlibat secara aktif sebagai pengurus di Persyarikatan. “Meskipun saya bukan pengurus Muhammadiyah,” kata Alfi, “darah dan daging saya adalah Muhammadiyah.”

Secara ekonomi, Uda Alfi, demikian ia akrab disapa, telah selesai dengan dirinya sendiri. Buya Syafii Maarif menyebutnya sebagai seniman yang konglomerat. Ia adalah pemilik Sarang Building yang berlokasi di Kalipakis, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, DIY. Sebuah galeri seni lukis yang dibangun di atas tanah seluas 1.400 meter persegi dengan konsep hijau-terbuka bagai oase di tengah kota.

Suatu ketika Buya Syafii pernah berpesan kepada Alfi sebagai seniman sekaligus budayawan agar mengisi Muhammadiyah dari aspek kesenian dan kebudayaannya yang terasa kering. Kemudian hari Alfi bersama beberapa generasi muda di atas berinisiasi mengadakan sebuah forum kajian kebudayaan bertempat di Sarang Building. “Kami sebagai generasi muda ingin lagi belajar tentang Muhammadiyah dari sisi kebudayaannya,” ungkap Alfi dalam kajian pertama bersama Buya Syafii.

Kegiatan yang rencananya akan diadakan secara rutin setiap bulan ini mengangkat pikiran-pikiran di Muhammadiyah yang kurang atau bahkan tidak terekspos, terutama dalam hal seni-budaya. Catatan penting dari Alfi bahwa forum ini terbuka untuk semua orang, forum ini harus menjadi oase, dan menggembirakan.

Awalnya, Alfi sendiri tidak terlalu optimis dalam melihat peluang seni-budaya di Muhammadiyah. Di saat yang sama, Alfi menaruh harapan besar dengan adanya LSBO (Lembaga Seni, Budaya, dan Olahraga) Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah organisasi besar sekaligus identik dengan formalitas dan birokasi.

Baca Juga  UPOAK: Cerita tentang Buya Pegiat Masyarakat

Sedangkan dunia seni-budaya terkesan imajinatif, bebas, dan dinamis. Meskipun demikan, sebagai seorang seniman, Alfi tidak habis ide. Ia mengambil jalan tengah dengan mengonsep forum ini menjadi semi-formal.

Forum pertama yang diadakan pada Sabtu sore, 22 Februari 2020 yang lalu, berjudul Mengurai Silang Sengkarut Kebudayaan Islam. Buya Syafii Maarif hadir sebagai pemateri dan dokter Alim sebagai moderator. Puluhan yang hadir berasal dari latar belakang kultural yang beragam. Kebanyakan dari generasi muda. Sebagian lagi dari kalangan akademisi, seniman, dan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Bagi Alfi dan kawan-kawan, forum ini menjadi satu upaya mewujudkan amanah dan impian Buya Syafii untuk mengisi Muhammadiyah dari aspek seni dan budaya. “Meskipun tidak melalui struktural, siapapun bisa berbuat dan bermanfaat bagi Persyarikatan dalam batas kemampuan masing-masing,” ungkap Alfi.


Reporter: Erik

Editor: Azaki

Related posts
Feature

Kedekatan Maulana Muhammad Ali dengan Para Tokoh Indonesia

3 Mins read
Ketika kita melakukan penelusuran terhadap nama Maulana Muhammad Ali, terdapat dua kemungkinan yang muncul, yakni Maulana Muhammad Ali Ahmadiyah Lahore dan Maulana…
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *