Gus Mus Menggunakan Sastra Sebagai Media Dakwah
Sastra Gus Mus – KH Mustofa Bisri atau Gus Mus merupakan sedikit dari ulama di Indonesia zaman ini yang berceramah dan bersastra sekaligus.
Ia menjalani kedua profesi tersebut dengan sama baik dan sama besar kontribusinya pada masing-masing bidang. Ia merupakan ulama besar pengasuh pondok pesantren Roudlatuth Tholibin di Rembang sekaligus Rais Syuriah PBNU.
Di bidang agama dan sastra beliau telah menghasilkan banyak karya, di antaranya mulai dari terjemahan Ensiklopedi Ijma (1987) hingga Ohoi; Kumpulan Puisi Balsem (1994), mulai dari terjemahanMahakiai Hasyim Asy’ari (1996) hingga buku cerita pendek Bingkisan Pengantin 2004), mulai dari Rubaiyat Angin dan Rumput (1995) sampai Pesan Islam Sehari-hari (1997), dan seterusnya.
Beberapa penghargaan untuknya adalah Anugrah Sastra Asia (2005) dan Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta (2009). Sosok langka dan unik Gus Mus di zaman ini mengingatkan kita pada sosok Buya Hamka di abad lalu.
Menggunakan sastra sebagai medium dakwah, Gus Mus tak hanya mengajak umat untuk menyebar kebaikan sebagaimana dalam ajaran Islam, tetapi juga turut mendorong agar manusia terus menjaga kepekaan sosial-politik serta sikap kritis dalam menjalankan agama itu sendiri.
Puisi-puisi protes sosialnya pilin-berpilin menyentuh masalah muslihat manusia sebagai makhluk sosial dan hamba Tuhan. Apa yang disampaikan Gus Mus tersebut betapa pentingnya di zaman ketika nilai-nilai feodal semakin merasuk ke dalam kehidupan beragama kita.
Pesan-pesan kebaikan itu tidak sekadar disampaikan Gus Mus secara tersurat tetapi juga secara tersirat.
Tak jarang, ia memberikan kepada kita perihal makna kebaikan dengan cara menunjukkan jalin-kelindan persoalan-persoalan tak beradab di muka bumi ini, khususnya Indonesia.
Puisi-Puisi Gus Mus
Tapi puisi, sebagaimana karya sastra umumnya, apa yang disebut sebagai pesan moral bukanlah satu-satunya kandungan di dalamnya.
Gus Mus, dengan cara memanfaatkan formula-formula sastra, memberikan kepada pembaca lapisan-lapisan lain yang lebih dari sekadar pesan perihal baik dan buruk.
Ia cukup banyak juga menulis puisi-puisi yang menggunakan langgam doa. Lagi-lagi, karena doa-doa yang ditulis Gus Mus tersebut dituliskan dengan memanfaatkan peranti-peranti sastra, maka kita tak hanya mendapatkan suatu teks tentang permohonan belaka.
Lebih luas dari sebatas ujaran-ujaran berupa permohonan seorang hamba kepada Sang Penciptanya, puisi-doa Gus Mus juga mengandung aspek-aspek yang tak kalah krusial dalam menjadi umat Islam yang berkemajuan.
Seperti misalnya perihal percikan-percikan falsafah-falsafah tentang ketuhanan, keindahan, dan kekuasaan yang berlandaskan ajaran Islam. Dan dengan cara seperti itu, Gus Mus mendorong kita untuk terlibat aktif menggali kandungan-kandungan doa yang kita ucapkan bersama.
Editor: Yahya FR