Satu prinsip dan doktrin utama ketika saya masuk LIPI, “Peneliti bisa salah, tapi enggak boleh bohong”. Kesalahan dalam melakukan riset itu sangat mungkin tapi kebohongan lebih bersifat karakter dan mental.
Jujur hati, saya tidak terima dan nurani saya berontak ketika pagi tadi para staf honorer di LIPI, terdiri dari office boy, cleaning service, satpam, dan para supir melakukan demonstrasi di gerbang masuk LIPI dan gedung LIPI.
Aktivitas menulis paper pun saya hentikan. Saya langsung bergabung dengan mereka. Selama puluhan tahun, para pekerja honorer ini menjadi pendukung sistem dalam rantai terbawah di LIPI. Dengan sepenuh hati, mereka tidak hanya melayani para peneliti dan para pejabat LIPI; menyediakan minum, membersihkan ruangan, sekaligus memastikan kerja-kerja riset di ruangan berlangsung nyaman. Namun, atas nama efisiensi dan efektivitas, mereka akan berhenti bekerja. Kerja keras dan pengabdian mereka untuk lembaga riset hilang begitu saja tanpa melihat kemanusiaan atas kebaikan yang mereka lakukan.
Memang, vendor baru yang ditunjuk LIPI akan memungkinkan mereka untuk bekerja kembali. Namun, di bawah vendor baru ini, akan ada regulasi dan persyaratan baru, mulai dari tingkat pendidikan, usia produktif, hingga kecakapan bekerja.
Kondisi dan persyaratan yang secara tidak langsung telah membuang para honorer ini yang sebelumnya sudah bekerja sangat lama. Tidak sedikit dari mereka, menatap masa depannya, yang sebelumnya memberikan kepastian di LIPI, menjadi gamang.
Di tengah situasi ini, atas nama bangsa dan negara melalui biaya negara, riset-riset di LIPI memiliki cita-cita untuk menyelesaikan persoalan kompleks di masyarakat melalui hasil risetnya, baik itu persoalan pengangguran, kemiskinan, pemberdayaan, sekaligus juga kemajuan.
Namun, di tengah cita-cita besar atas dunia riset untuk kemaslahatan, menyelesaikan persoalan para honorer saja sangat anti terhadap mereka yang berada di level terbawah. Sebaliknya, mereka diserahkan oleh vendor dengan sistem dan regulasi yang memungkinkan mereka tidak bisa masuk dan bekerja kembali.
Sebagai peneliti LIPI dengan kerja-kerja menulis paper, hadir di konferensi, turun lapangan melalui advokasi riset saya menjadi merasa malu. Justru di rumah besar LIPI, atas nama efisiensi dan efektivitas, mereka dibuang atas nama seleksi kecakapan.
Sementara itu, para pemegang kebijakan LIPI menganggap bahwasanya itu merupakan bagian dari prosedur dan regulasi yang dianggap sebagai proses yang normal. Di atas kertas, kebijakan itu terlihat baik, tapi di lapangan, ada banyak para pekerja honorer yang menjadi tumbal atas kebijakan ini.
Mereka dianggap sekadar statistik dan bagian anggaran yang merepotkan. Identitas mereka sebagai individu yang memiliki anak, istri, suami, dan juga keluarga tidak dianggap. Padahal, mereka menjadi tumpuan hidup bagi keluarga mereka.
Dalam demonstrasi, salah seorang pekerja honorer, bercerita di publik, “kami sebagai OB biasanya orang yang diminta untuk membuang sampah. Tapi kini, tanpa kini justru kami yang dibuang sebagai sampah”. Dari sini, air mata saya tumpah, kerja-kerja riset dan menulis saya seakan tidak ada artinya melihat mereka akan tersingkirkan. Riset saya atas keberpihakan kepada mereka yang ditindas dan terpinggirkan seakan menjadi pepesan kosong atas nama kompetisi dan kualitas, kita boleh berdebat pekerjaan honorer dan outsourcing.
Namun, perdebatan itu tidak bisa menyelesaikan pertanyaan mereka mau menafkahi dengan apa? Sementara itu satu-satunya pekerjaan yang mereka miliki.
Melihat para honorer ini, bagi mereka yang memiliki akses pendidikan yang baik dan bagian dari kelas menengah itu dianggap sebagai ruang netral dan seakan-akan menjadi keharusan agar mereka bermental baja.
Mereka menggunakan kacamata developmentalisme yang tidak melihat persoalan etika bagaimana mereka harus bergulat dalam kehidupan sehari-hari mencari nafkah. Struktur sosial yang timpang terhadap para honorer dilihat sebagai bagian normalisasi.
Sementara itu, para honorer ini mereka yang tidak memiliki banyak pilihan di tengah kemampuan yang mereka miliki. pilihan satu-satunya adalah pekerjaan kasar justru dianggap sebagai sebuah kemalasan atas nama persaingan. Padahal, mereka tidak berharap menjadi PNS. Mereka hanya ingin bekerja meskipun gaji yang kecil.
Pada titik ini, menyuarakan kembali aspirasi mereka menjadi penting. Bukan hanya tugas akademisi, melainkan tugas kemanusiaan untuk memanusiakan sesama manusia. Jika persoalan ini saja orang abai, bagaimana kita bisa membicarakan mengenai keadilan dan kebenaran dalam buku-buku, jurnal, forum-forum akademik?
Sementara itu, kita justru abai terhadap rantai struktur terbawah yang membuat kita bisa mencapai karir akademik secara maksimal.