Perspektif

Sayur Lodeh di Antara Gejala Khurafat dan Kuliner Herbal Peningkat Imunitas Tubuh

5 Mins read

Masyarakat di Yogyakarta beberapa hari ini, bersamaan dengan do’a dan usaha melawan wabah Covid-19, telah dihebohkan dengan pesan berantai hingga poster berisi anjuran membuat Sayur Lodeh. Pesan tersebut disematkan dhawuh (titah, perintah) dari Raja Keraton Yogyakarta yang juga Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dengan redaksi: “PAGEBLUG, Wayahe rakyat Mataram nyayur LODEH 7 warna. Kluwih, terong, cang gleyor, kulit mlinjo, waluh, godong so, tempe. Meniko sedaya tansah widodo nir ing sambekala.”

Belakangan berkenaan dengan pesan yang menghebohkan tersebut, Kepala Bagian Humas Biro Umum Humas dan Protokol Setda DIY, Ditya Nanaryo Aji, menegaskan bahwa poster dan pesan berantai tersebut adalah HOAKS (berita dusta). Beliau menjelaskan bahwa poster tersebut bukan hasil buatan Humas Pemda DIY maupun Keraton Yogyakarta. Pihaknya juga telah mengonfirmasi ke Putri Keraton Yogyakarta, GKR Hayu mengenai poster tersebut. Jawabannya, tidak ada anjuran sama sekali untuk membuat Sayur Lodeh 7 warna untuk menangkal wabah Corona.

Yang harus menjadi catatan adalah, masyarakat Yogyakarta atau Jawa pada umumnya, adalah masyarakat yang kental dan menjunjung tinggi budaya kearifan lokalnya. Termasuk dalam menanggapi wabah Covid-19 ini, bila Pemerintah Indonesia menganjurkan social distancing (#dirumahaja), maka warga masyarakat Yogyakarta dalam semangat usaha yang sama, berangkat dari budaya kearifan lokalnya, yakni menggunakan upaya tolakbala.

Upaya tolakbala ini dilakukan manakala terjadi sesuatu yang genting, entah bencana alam atau wabah penyakit seperti saat ini. Hal ini mengingatkan penulis akan kehebohan yang sama di tahun 2010 dengan siklus meletusnya Gunung Merapi, maupun sebelumnya pada tahun 2006 dengan gempa dahsyat yang dialami warga Yogyakarta dan sekitarnya. Apalagi kalau bukan dengan tolakbala: “jangan lodheh.”

Filosofi Sayur Lodeh

Sayur Lodeh atau terkenal dalam ejaan bahasa Jawa dengan Jangan Lodheh merupakan masakan sayur yang berkuah santan khas daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada umumnya [Wikipedia, Ensiklopedia Bebas: Sayur Lodeh]. Sayur lodeh memiliki berbagai variasi, terutama pada bumbunya. Ada yang santannya berwarna putih dan ada juga yang santannya berwarna kuning kemerahan. Masing-masing daerah di Jawa memiliki model tersendiri terkait Sayur Lodeh ini. Bahkan Sayur Lodeh secara mandiri telah menjadi makanan khas Indonesia.

Terkait sejarah adanya Sayur Lodeh itu sendiri, penulis belum dapat menemukan referensi yang pasti dan valid perihal siapa yang membuat dan siapa yang memberikan nama. Namun berdasarkan informasi yang beredar di masyarakat Yogyakarta dan Jawa pada umumnya, Sayur Lodeh muncul bersamaan dengan sejarah perjuangan Raja Mataram, Sultan Agung Hanyakrakusuma, ketika dalam kondisi terhimpit logistik saat melawan Kompeni (penjajah) Belanda di Batavia (saat ini Jakarta) kala itu.

Baca Juga  Pribumisasi Islam Gus Dur di Mata Muslim Milenial

Terbesit inisiatif untuk mengumpulkan bahan sayuran yang sembarang seadanya, lalu diolah menjadi satu masakan yang ternyata disukai oleh para prajuritnya. Satu rumpun sejarah dengan kisah perjuangan Pengeran Diponegoro, yang dalam keterhimpitan logistik kala itu, menghasilkan satu kuliner ramuan minuman khas Yogyakarta yang akhirnya terkenal dengan wedang uwuh. Minuman ini sangat akrab sekali bagi masyarakat Yogyakarta yang membutuhkan kehangatan, dan tentu sobat IBTimes sekalian apabila mampir ke Jogja. Iya, kan?

7 Bahan Dasar

Kembali kepada pembahasan sejarah Sayur Lodeh dan filosofinya, maka simbol sayur ini sebagai upaya tolakbala pun kaya akan makna. Di samping Sayur Lodeh secara mandiri memiliki makna penanaman nilai kesederhanaan dalam misi perjuangan, namun sayur ini secara bahan-bahan yang disiapkan pun memiliki nilai semangatnya tersendiri.

Diantara 7 bahan dasar yang telah disebutkan di atas, beserta dengan arti filosofinya [Kumparan, Tugu Jogja: Makna lodeh 7 warna ala warga Yogyakarta] adalah :

  • Kluwih : “Kluwargo luwihono anggone gulowentah lan gatekne” (keluarga lebihkanlah dalam memberikan nasihat dan perhatian)
  • Cang gleyor : “Cencangen awakmu ojo lungo-lungo” (ikatlah dirimu, jangan pergi-pergi)
  • Terong : “Terusno anggonmu eling manembah marang Gusti, ojo mung pas eling” (lanjutkan dan tingkatkan dalam hal ibadahmu kepada-Nya, jangan hanya pas ingat saja)
  • Kulit melinjo : “Ojo mung ngerti njobone, ning kudu reti njerone (babagan pagebluk)” (jangan hanya paham akibatnya saja, tapi juga harus paham secara mendalam penyebab wabah)
  • Waluh : ”Uwalono ngeluh lan nggersulo” (hilangkan keluhan dan rasa galau –harus tetap semangat-)
  • Godong So : “Golong gilig dongo kumpul wong sholeh sugeh kaweruh babakan agomo lan pagebluk” (bersatu padu berdo’a bersama orang yang saleh, pandai soal agama, dan juga wabah penyakit)
  • Tempe : “Temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah” (benar-benar fokus dan memohon pertolongan dari Allah SWT)

Melihat semangat dan penanaman nilai positif di atas, membuat khalayak yang belum paham akan makna Sayur Lodeh harusnya bangga. Bahwa ternyata budaya Jawa, khususnya Yogyakarta, memiliki nilai-nilai adiluhung (luhur) yang tinggi. Meski pada faktanya, himbauan tersebut untuk saat ini tak terbantahkan adalah berita hoaks. Dalam praktik di masyarakat sendiri pelaksanaan dan tanggapannya juga beragam. Bahkan ketika dijumpai kendala, seperti bahan yang tidak ada atau harga bahan baku yang melonjak mahal, tentu pembuatan Sayur Lodeh tidak akan bisa dilakukan secara sempurna, bisa jadi tidak dilakukan sama sekali.

Baca Juga  Khilaf dalam Berkhilafah

Pandangan Islam

Islam dalam pembahasan kuliner, mengatur dengan ketentuan lengkap di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Di antaranya adalah QS An-Nahl ayat 114-115:

فَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّهُ حَلالاً طَيِّباً وَاشْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ .إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالْدَّمَ وَلَحْمَ الْخَنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ.

“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni`mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam hadits yang terhimpun banyak tentang kuliner, membahas tentang adab dan etika makan maupun minum. Oleh karenanya, dalam satu kaidah Ushul Fiqh makanan dan minuman ini adalah perkara yang mubah dengan kaidah :

الأصل في الأشياء هو الإباحة حتى يدل دليلا لتحريمه

“Pokok (dasar) dari segala sesuatu adalah mubah (boleh), sampai datang dalil (petunjuk) untuk mengharamkannya.”

Dengan sederhana disimpulkan, anjuran makan dan minum dalam Islam itu adalah selama makanan dan minuman itu yang halal dan thayyib, serta tidak ada larangan di dalam nash perihal pelarangannya, maka bolehlah untuk dimakan dan diminum. Hanya saja, perihal Sayur Lodeh ini memiliki komplesitas tersendiri. Apalagi bila dikaitkan dengan upaya tolakbala bagi orang yang membuatnya. Tentu harus jeli dan jernih kita dalam menilainya.

Khurafat

Baru-baru ini misalnya, terdapat seorang ustadz kenamaan (sebut saja Ust X) yang kemudian menyebut bagi pelaku pembuat Sayur Lodeh sebagai perilaku khurafat (takhayul, dongeng yang tidak masuk akal) di dalam Islam. Yang di dalam Islam, tentu khurafat ini adalah termasuk dalam tindakan dosa besar, bahkan menjerumuskan pelakunya dalam jurang kesyirikan. Na’udzubillah.

Apakah benar begitu bung? Tentu jawabannya, Tak semudah itu Ferguso!” Di saat yang sama, terdapat anjuran dari pemerintah dalam menangani kasus wabah Covid-19 ini, untuk mempertebal imunitas (daya tahan) tubuh. Itulah sebab, dalam Republika.co.id tertanggal Selasa 10 Maret 2020, Juru Bicara Penanganan Covid-19, Bapak Ahmad Yurianto, menyebutkan bahwa daya tahan tubuh yang bagus adalah modal utama untuk menangkal Virus Corona. Beliau mengungkapkan dalam wawancara, “Herbal ini turun temurun bagus untuk meningkatkan imunitas. Kalau kita makan masakan tradisional juga kan full herbal. Sayur Lodeh misalnya, atau sayur asem. Nasi kapau lebih lagi.”

Oh, Sayur Lodeh…

Dalam uraian yang telah penulis sebutkan di atas, pantaslah kita sudah seharusnya merenungkan secara jernih tentang Sayur Lodeh ini. Bahkan mengambil hikmah dan pelajaran berharga darinya. Bukankah ayat-ayat Allah SWT itu sangatlah luas. Bisa berupa ayat qauliyah (al-Qur’an) dan tidak sedikit pula berupa ayat kauniyah (tanda-tanda alam)-Nya yang lain.

Baca Juga  Renaissance : Pengingat Ketika Pemerintah Menjadi Anti Kritik

Kita harus bisa membedakan dengan jelas, wilayah mana yang boleh untuk dilakukan, dan mana yang tidak boleh di lakukan dalam Islam. Inilah tuntutan manusia beriman dan Islam, memaksimalkan Iman (kepercayaan) kepada Allah SWT bersamaan dengan akal budi yang sehat secara harmoni.

Hemat penulis, Sayur Lodeh memiliki 2 (dua) dimensi yang harus didudukkan secara ideal dan proporsional. Dalam Sayur Lodeh sendiri memiliki dimensi keyakinan dan dimensi perbuatan. Secara umum atau awam, dimensi keyakinan meliputi kepercayaan bagi si pembuatnya, apabila dirinya membuat Sayur Lodeh tersebut akan terhindar dari segala macam mara bahaya.

Pada dimensi perbuatan tentu pembuatan Sayur Lodeh difungsikan selain sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan upaya bertahan hidup manusia, yakni makan. Yang menurut kajian ilmiah sendiri, kandungan Sayur Lodeh bagus untuk membantu meningkatkan imunitas tubuh di saat wabah Covid-19 merebak. Dan ini adalah wilayah yang mubah (boleh).

Oleh karenanya, bila pembuatan Sayur Lodeh ini diberikan label sebagai tindakan khurafat tentu ini adalah wilayah keyakinan. Dan tidak dapat secara semena-mena disamaratakan pada dimensi perbuatannya. Dan ini sudah sepantasnya menjadi tugas umat Islam, utamanya juru dakwah dalam mengelola dengan bijak perihal ajakan untuk menyempurnakan tauhid. Bahwa hanya dan dari Allah SWT segala macam mara bahaya itu datang, serta dari-Nya sumber solusi itu akan datang dengan iringan kasab (usaha) manusia.

Ibarat kata, apabila kuku kita terjulur panjang dan kotor, maka cukuplah dipotong bagian yang panjang dan kotor itu saja, jangan seluruh kuku apalagi jarinya yang dihilangkan. Akhirnya, mari yang hendak berikhtiar untuk memasak Sayur Lodeh disilahkan dengan penuh keyakinan bahwa bukan karena Sayur Lodehnya yang mendatangkan dirinya terhindar dari bahaya, melainkan keselamatan itu hanya datang dari Allah WT. Syukur kalau sudah jadi Sayur Lodehnya boleh dikirimkan ke rumah penulis, Hehe. Salam Corona!

Editor: Arif

Avatar
2 posts

About author
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM, Kabid Organisasi DPD IMM DIY 2018-2020.
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds