Sebelum membahas tentang indeks membaca, saya memiliki sebuah kisah pendek. Saya tidak pernah mengintip sebuah perpustakaan seramai mall. Saya tak pernah menyaksikan orang berjubel, gaduh membaca buku di sebuah ruang perpustakaan. Pun saya belum pernah melihat begitu masif orang yang berkunjung ke perpustakaan.
Namun, suatu kali saya pernah melihat orang berdesak-desakan di perpustakaan. Anak-anak sekolah. Kali ini seramai pasar di pagi hari. Saya agak kaget, kok mau-maunya mereka ke perpustakaan yang membuat jemu dan bikin mengantuk itu?
Indeks Membaca
Saya tanya ke salah satu mereka. “Kami ke sini ada tugas dari sekolah, Kak!” begitu jawabnya. Mereka ke perpustakaan memang bukan karena kesadaran, melainkan ‘keterpaksaan’. Bukan pula karena keingintahuannya yang besar terhadap hal-hal yang belum mereka ketahui.
Tak perlu miris! Inilah kita, Indonesia. Saya tak perlu membandingkan dengan, misalnya Jepang atau negara yang penduduknya sudah rakus melahap buku, bahkan sejak mereka kanak-kanak. Berusaha membandingkan, itu sama artinya malah membuat kita sakit hati. Ngenes!
Jangan pula tanya, misalnya memang berapa indeks rata-rata membaca orang Indonesia? Sekali lagi, saya, dan juga kita barangkali tak perlulah tahu soal indeks-indeks itu. Yang ada malah, seperti yang saya tulis sebelumnya: bikin kita malah sakit hati, bahkan frustrasi! Titik.
Memang untuk apa kita tahu indeks rata-rata orang Indonesia dalam membaca? Andai kita, kepala negara, Mendikbud tahu kabar yang tak lagi mengejutkan itu, lantas mau apa? Mau ada peningkatan besar-besaran dalam dunia literasi kita? Ah, bull***t!
Atau, kita sekadar tahu info ada lembaga penting yang menyurvei ‘tentang kita’, setelah itu dibiarkan begitu saja? Atau, bahkan kita tak membantah sama sekali atas hasil survei itu? Bila tak ada sanggahan, berati kita, secara sadar mengamini hasil survei itu, bukan?
Kekhawatiran dan Upaya
Saya kira survei-survei tentang indeks rata-rata orang Indonesia dalam membaca sudah berkali-kali dilakukan. Namun, apa pengaruhnya bagi kita, bagi kepala negara khususnya? Adakah kekhawatiran atas survei yang membuat kita malu biasa-biasa saja itu?
Maksud saya, adakah kita bergerak dari nomor buncit, ke minimal 10 besar, misalnya? Atau tak realistis bergerak ke 10 besar? Betul-betul tak realistis, Bung! Mana mungkin. Belum mungkin. Bahkan tidak mungkin. Kenapa?
Adakah kita menyaksikan presiden atau Menteri Pendidikan mengajak atau memberitahukan akan pentingnya membaca? Paling tidak, adakah tulisan di baligo di pinggir jalan tentang ajakan membaca dari pemerintah? Saya belum melihatnya. Jika ada, beri tahu saya.
Jika tak ada himbauan itu dari para pejabat di negeri ini tentang pentingnya membaca, ya wajar indeks membaca orang Indonesia paling rendah. Jeblok. Dan itu rasanya tidak menjadi masalah bagi kita. Bukankah ada hal yang lebih penting dari sekadar membaca, membaca, dan membaca, bukan?
Saya pun perlu mempertanyakan survei yang dilakukan oleh lembaga yang bermukim di luar negeri itu. Jangan bikin gaduhlah. Dari mana mereka tahu bahwa indeks rata-rata membaca orang Indonesia berada di urutan nomor dua dari bawah, dari 61 negara yang disurvei? Ngawur.
Apa metode yang mereka gunakan pada saat survei? Siapa yang mereka survei. Jangan-jangan ini akal-akalan mereka yang memang berniat menjatuhkan marwah bangsa Indonesia? Atau boleh jadi hasil survei itu hoak dan kita melahapnya, bahkan sebelum matang?
Sebuah Upaya
Sekarang, negara perlu lebih serius ‘memancing’ atau ‘memaksa’ warganya untuk tetap meluangkan waktu untuk membaca di mana pun dan kapan pun. Supaya, kalau ada survei lagi, lembaga tersebut tak menempatkan kita di urutan yang mengkhawatirkan.
Apa yang mesti dilakukan? Negara perlu menyediakan perpustakaan di ruang-ruang publik. Di stasiun, saya belum melihat ada perpustakaan. Tempat makan betapa mewah disediakan, sementara perpustakaan nihil. Diabaikan.
Bila perlu, PT. KAI menyediakan satu gerbong khusus di kereta untuk perpustakaan. Satu gerbong untuk perpustakaan? Benar-benar merugikan perusahaan! Bukannya mengangkut orang, yang jelas menghasilkan, malah bawa buku/majalah. Bila pertimbangannya untung-rugi, perpustakaan tidak akan pernah ada di kereta.
Pun di setiap bandara. Perpustakaan harus ada. Toko buku memang ada di bandara Soeta, misalnya. Itu toko buku. Bukan perpustakaan. Yang diperlukan adalah perpustakaan. Saat orang menunggu keberangkatan, calon penumpang bisa berselancar pikiran di sana.
Bagaimana dengan terminal? Jika memang pemerintah serius ingin meningkatkan minat baca kita, perlu juga ada perpustakaan di terminal. Tak perlu besar, cukup seukuran toko-toko ritel yang bertebaran di pinggir jalan juga lumayan.
Di pasar pun, bangun perpustakaan. Di mall juga penting ada perpustakaan. Sembari menunggu para istri berbelanja, misalnya suami bisa membaca di perpustakaan. Atau sebaliknya. Sebab mengandalkan perpustakaan yang sudah ada, itu rasanya belum memancing warga untuk mendatanginya.
Saya tidak tahu di lapas, adakah perpustakaan untuk para napi? Jika ada, mantap betul. Mereka, andai dianjurkan untuk membaca ke perpustakaan setiap hari, tentulah hidup mereka tambah bergairah. Tentu buku-buku yang cocok di lapas adalah tentang motivasi, pertobatan, novel, dan bahaya-bahaya melakukan kejahatan, misalnya.
Mempengaruhi Warga
Tentu di tempat-tempat ibadah perlu perpustakaan. Masjid, gereja, vihara, pura, dan kelenteng. Mungkin sebagian ada, sebagian belum. Ingat, perpustakaan mesti mudah diakses. Saya punya pengalaman. Di sebuah masjid ada perpustakaannya. Sayang, raknya digembok. Sudah kadung bahagia pengin baca, eh malah dikunci.
Juga di pelosok negeri. Di desa-desa. Satu RT, satu perpustakaan. Pengaruhi warga dengan adanya perpustakaan tersebut. Dorong mereka bahwa membaca itu penting. Sepenting makan dan minum. Sepenting bernapas bila perlu.
Pokoknya tempat yang memungkinkan orang bertemu/berkerumun, perpustakaan wajib ada. Inilah salah satu upaya untuk meningkatkan minat baca di kalangan masyarakat. Bila perpustakaan tak cukup, setiap bulan pemerintah perlu menyumbangkan bahan bacaan ke setiap penduduk. Sama halnya dengan BLT.
Sekali lagi, negara perlu hadir untuk benar-benar meningkatkan minat baca orang-orang Indonesia. Jika hal serius ini tak juga diindahkan, kita memang tak cukup peka terhadap survei. Pun negara tak cukup punya pikiran progresif membenahi mental bangsa yang telanjur anjlok ini.
Editor: Nabhan