Sejarah Hizbul Wathan
Gagasan persatuan umat manusia, kemerdekaan, Islam berkemajuan, pemberdayaan, dan egalitarianisme adalah pilar-pilar filosofi gerakan Muhammadiyah yang turut menopang pembentukan kesadaran nasionalisme Indonesia. Proses pembentukan kesadaran identitas kebangsaan di Muhammadiyah justru melampaui sejarah Indonesia modern. Dengan membaca kasus sejarah berdirinya Kepanduan Hizbul Wathan (HW), salah satu organisasi otonom (ortom) di Muhammadiyah, jejak nasionalisme dan patriotisme sangat kentara dalam organisasi modernis rintisan KH. Ahmad Dahlan ini.
Sejarah Hizbul Wathan
Kelahiran HW diawali dari cerita KH. Ahmad Dahlan, president Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah, yang aktif mengisi pengajian Sidik Amanah Tabligh V(F)atonah (SATV) tiap malam Ahad di rumah K.H. Muchtar Buchori di Solo. Dalam perjalanan hendak pulang ke Yogyakarta, ia sempat menyaksikan pemandangan kegiatan para padvinders (di bawah organisasi Javaansche Padvinders Organisatie) di Alun-alun Pura Mangkunegaran.
Sesampai di Yogyakarta, KH. Ahmad Dahlan berdiskusi dengan Somodirdjo (mantri guru Standaardschool Suronatan), Sjarbini (guru di sekolah Muhammadiyah Bausasran), dan seorang guru sekolah Muhammadiyah Kotagede. “Saja tadi pagi di Solo pulang dari Tabligh, sampai dimuka Pura Mangkunegaran di alun2, melihat anak banjak berbaris setengahnja sedang bermain-main, semuanja berpakaian seragam. Baik sekali! Itu apa?” (Tuntunan Hizbul Wathan, 1961: 13).
Setelah mendapat penjelasan singkat dari Soemodirdjo, KH. Ahmad Dahlan menyatakan tertarik untuk membentuk Kepanduan di Muhammadiyah. “Alangkah baiknja kalau anak-anak keluarga Muhammadijah juga dididik semacam itu untuk melajani (Djawa leladi) menghamba kepada Allah,” kata KH. Ahmad Dahlan.
Etos HW: Humanisme Religius
KH. Ahmad Dahlan ketika menyaksikan aktivitas Padvinders Mangkunegaran lantas melakukan proses refleksi, perenungan, sekalipun mungkin masih menjadi tanda tanya besar, karena sebenarnya ia memang tidak mengantongi informasi yang cukup tentang apa dan bagaimana Kepanduan pada waktu itu.
Namun, persepsi tentang aktivitas ‘baris berbaris’ (kedisiplinan/persatuan), ‘pakaian seragam’ (uniform), ‘permainan’ (perlombaan kreatif) dalam kegiatan Padvinders Mangkunegaran telah mempengaruhi pikirannya. Ketika dikonfirmasi oleh Soemodirjo bahwa rangkaian kegiatan yang mencerminkan nilai-nilai kegembiraan, sehat, dinamis, kreatif, dan saling tolong menolong dalam Padvinders di bawah organisasi JPO memang bagian dari kegiatan pendidikan di luar sekolah.
Ketika dijelaskan bahwa JPO dipersiapkan untuk menjadi para prajurit Mangkunegaran, KH. Ahmad Dahlan semakin tertarik. Apalagi pendekatan dalam proses pendidikan dan pelatihan JPO menggunakan alam terbuka, berbaur dengan masyarakat, menampilkan simbol-simbol identitas khusus, menggunakan metode bermain yang sesuai dengan kondisi psikologis anak-anak, sehingga konsep ini dirasa mampu menutupi ‘celah kosong’ dalam sistem pendidikan keluarga dan sekolah Muhammadiyah.
***
KH. Ahmad Dahlan memandang sangat baik jika anak-anak keluarga Muhammadiyah dididik menggunakan pendekatan yang digunakan JPO. Artinya, ketertarikan KH. Ahmad Dahlan untuk mengadopsi model kepanduan ala JPO yang akan dipraktikkan dalam sekolah Muhammadiyah merupakan hasil dari proses praktik sosial yang berhubungan langsung dengan relasi-relasi sosial pada waktu itu. Sudah dipastikan KH. Ahmad Dahlan melakukan proses penalaran dan refleksi lebih lanjut setelah melihat kegiatan JPO yang mampu menarik perhatiannya.
Namun, ketertarikan sang President HB Muhammadiyah tidak lantas mengadopsi apa adanya model JPO, tetapi melewati proses kreatif dan inovatif dengan mengarahkan gerakan Kepanduan untuk tujuan ‘mengabdi kepada Tuhan.’ Hasil dari refleksi KH. Ahmad Dahlan terhadap model JPO melahirkan kreativitas baru dengan sentuhan Keislaman ketika sang pendiri Muhammadiyah menghendaki model Kepanduan yang diniatkan untuk keperluan beribadah, yaitu ‘mengabdi kepada Allah SWT.’
Dengan cara mengadopsi model kepanduan (scouting), tetapi melalui proses kreatif dan inovatif, maka terdapat perubahan format Kepanduan yang akan dijalankan di Muhammadiyah. Rumusan ‘tujuan’ kepanduan yang dikehendaki KH. Ahmad Dahlan adalah dalam rangka ‘mengabdi kepada Allah SWT.’ Berbeda dengan konsep ideologi scouting yang digagas Baden Powell yang berdasarkan prinsip ideologi ‘kemanusiaan universal’, maka kepanduan Muhammadiyah dibentuk atas dasar ‘humanisme-religius’ (Islam).
Sejarah Hizbul Wathan: Semangat Cinta Tanah Air
Setelah President HB Muhammadiyah menyatakan penting untuk segera membentuk gerakan Kepanduan, maka atas usaha Soemodirdjo, Sjarbini, dan para guru Muhammadiyah pada waktu itu segera dibentuk tim khusus (ad hoc) yang berfungsi mempersiapkan pembentukan gerakan ini. Dalam buku Tuntunan Hizbul Wathan (1961) dijelaskan bagaimana proses awal pembentukan gerakan ini:
“Sedjak setelah diadakan pertemuan itu, guru2 Muhammadijah dengan dipelopori terutama oleh Bp. Soemodirdjo, Bp. Sjarbini, mengadakan persiapan2 akan mengadakan gerakan untuk anak2 diluar sekolah dan rumah. Mula-mula jang akan digerakkan para guru sendiri terlebih dahulu. Pendaftaran dimulai. Latihan diadakan tiap Ahad sore dihalaman sekolah Muhammadijah Suronatan. Terutama jang dilatihkan ialah berbaris dan olah raga. Kian hari kian bertambah pengikutnja. Tiada lagi terbatas pada para guru sadja, djuga banjak para pemuda dari Kauman jang ikut berlatih. Jang sangat menarik kepada masjarakat ialah adanja barisan jang dipimpin oleh Bapak Sjarbini seorang pemuda jang telah tjukup mendapat latihan2 kemiliteran (militair Belanda), seorang pemuda bekas “onder-officer.” Tentu sadjlah segala gerak dan sikapnja sangat menarik dalam lingkungan pemuda jang memang sama haus kepada pimpinan kepradjuritan…”
Ketika Kepanduan HW dibentuk, gerakan nasionalisme di Turki sedang menggema, terutama melalui sosok Mustafa Kamal Pasha yang mendirikan partai Hizbul Wathan.[1] Sedangkan di tanah air, terutama di Surabaya, KH. Mas Mansur selain mendirikan organ pergerakan Nahdlatut Tujjar juga mendirikan Nahdlatul Wathan. Semangat ‘nasionalisme’ di kalangan umat Islam tengah menggelora pada waktu itu sehingga ungkapan “hubbul wathan minal iman” begitu populer yang menandai semangat baru dalam kehidupan berbangsa. Berkaitan dengan penamaan HW, sumber Djarnawi Hadikusuma menyebutkan:
Maka berdirilah kepanduan Muhammadiyah bernama “Hizbul Wathan” disingkat HW. Nama ini disesuaikan dengan nama partai nasional Mesir, “Hizbul Wathan” yang didirikan oleh Musthafa Kamal pada tahun 1894 dan sejiwa pula dengan ucapan hukama: “Mencintai tanah air adalah sebagian daripada iman.” (Hadikusuma, Aliran Pembaharuan, h. 82).
Dengan demikian, nilai dasar karakter yang dibangun dalam institusi kepanduan HW pada fase pembentukan adalah ‘semangat nasionalisme’ dan sekaligus ‘jiwa patriotisme’ sekalipun pada waktu itu bangsa ini belum berwujud negara-bangsa (nation-state). Semangat nasionalisme dalam HW berbeda dengan visi kepanduan yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi lain seperti Nationale Padvinders Organisatie (NPO) dan Nationale Padvinderij. HW adalah gerakan kepanduan di bawah organisasi Muhammadiyah yang mengusung visi Islam modernis sehingga kepanduan ini lebih kentara dengan ciri khas keislamannya.
Nasionalisme Muhammadiyah
Nama kepanduan HW semakin populer di masyarakat Yogyakarta sejak pertama kali didirikan. Muhammadiyah yang didirikan oleh para abdi dalem Kraton Yogyakarta (termasuk KH. Ahmad Dahlan berstatus sebagai abdi dalem yang mengemban fungsi sebagai khatib di masjid besar Kauman) tidak bisa lepas dari proses interaksi dengan struktur Kraton Yogyakarta.
Pada tanggal 30 Januari 1921, dalam rangka pengangkatan raja baru (Sri Sultan Hamengkubuwono VIII), KH. Ahmad Dahlan bersama Haji Hisyam, Haji Mochtar, Haji Fachrodin, Hadjid, Sjarbini, Damiri, dan lain-lain memimpin pasukan HW yang menyelenggarakan baris-berbaris dan serangkaian atraksi di Alun-alun Utara. Dalam show force kedua di ruang publik ini (1921), Djarnawi Hadikusuma menukil pidato/orasi Haji Fachrodin yang cukup fenomenal:
Pernah K.H. Fachruddin berpidato di hadapan sepasukan besar pandu H.W., “Tongkat yang sekarang ini ada dalam genggamanmu bersandar di bahumu, kemudian hari akan berobah menjadi senapan dan bedil.” Ternyata perkataan Fachruddin itu benar. Pada masa Jepang banyak anggauta H.W. memasuki Heiho dan tentara Pembela Tanah Air. Antara lain Muljadi Djojomartono, Yunus Anis, Kasman, dan Sudirman. Bahkan Sudirman ini akhirnya menjadi satu-satunya Panglima Besar tentara Republik Indonesia. (Hadikusuman, Aliran Pembaruan, h. 83).
Pernyataan Haji Fachrodin yang menegaskan bahwa tongkat yang dipanggul di bahu para anggota HW pada saatnya nanti akan menjadi ‘senapan dan bedil’ adalah penegasan dari analisis penulis terhadap salah satu motif pembentukan kepanduan ini yang merupakan fase ‘pra-revolusi fisik.’ Bahwa kepanduan ini dibentuk salah satu motifnya adalah dalam rangka mempersiapkan individu-individu terlatih dengan semangat nasionalisme dan patriotisme yang pada masanya nanti akan berjuang membela tanah air dalam medan pertempuran fisik.
Pada pembahasan fase puncak (masa kolonialisme Jepang hingga agresi militer Belanda), peran HW semakin nyata dalam pembentukan karakter generasi muda karena terbukti mampu melahirkan para tokoh yang berjiwa nasionalis dan patriotik.
Semangat nasionalisme dan patriotisme yang digali dari sejarah pendirian Kepanduan HW di Muhammadiyah sudah tidak diragukan lagi. Seiring dengan pertumbuhan kesadaran nasionalisme dan patriotisme, Muhammadiyah memiliki andil dalam proses pembentukan identitas bangsa Indonesia. Dalam proses menuju kemerdekaan, sebuah bangsa akan terus melakukan proses identifikasi diri. Sebuah dokumen penting cukup menyadarkan bangsa ini dan warga Muhammadiyah, bahwa sejak awal tahun 1925, Muhammadiyah telah menggunakan identitas ”Indonesia” untuk menyebut wilayah kekuasaan politik yang disebut Hindia-Nederland. Hal ini dapat ditemukan dalam halaman cover Majalah Soeara Moehammadijah Nomor 1 Tahun 1925.
[1] Hadikusuma, Aliran Pembaharuan, h. 82.
Editor: Nabhan