Menurut Anwar G. Chejne (1996), masa peradaban bangsa Arab dibagi menjadi dua, yaitu klasik (500-1798 M) dan modern (1798-sekarang). Periode klasik dibagi menjadi masa Islam (500-611), Umayyah (622-750), Abbasiyah (750-1258), dan masa kemunduran (1258-1798). Periode modern dibedakan berdasarkan tokoh dan wilayah, yakni Mesir, Afrika Utara, dan Bulan Sabit (Syiria dan Lebanon).
Sedangkan menurut Syauqi Dhaif (1910-2005), periodesasi perkembangan ilmu nahwu klasik (688-1789) dibedakan berdasarkan karakteristik, yaitu Basrah, Kufah, Baghdad, Andalusia, dan Mesir. Kemudian ilmu nahwu modern (1789-sekarang). Menurutnya, Abu al-Aswad ad-Duali merupakan tokoh peletakan batu pertama ilmu nahwu yang berasal dari kota Basrah.
Keahlian Berbahasa Orang Arab
Pada dasarnya, orang Arab mempunyai dua keahlian berbahasa Arab, yaitu bahasa dialek dan bahasa fasih. Bahasa dialek digunakan sebagai percakapan sehari-hari dengan keluarga maupun untuk berinteraksi dalam perdagangan.
Bahasa fasih digunakan sebagai kehormatan. Pada masa Umar bin Khattab, bangsa Arab berhasil melakukan ekspansi ke berbagai daerah non Arab.
Kemudian, pada masa Ali bin Abi Thalib, wilayah kekuasaan Islam semakin luas. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang terpengaruh dalam berbahasa Arab. Sehingga terjadi lahn (kesalahan) dalam berbahasa, termasuk dalam melafazkan Al-Qur’an dan hadis.
Hal itu membuat khalifah semakin khawatir akan keindahan dan gagahnya bahasa Arab menjadi hilang. Kemudian, Ali bin Abi Thalib memerintahkan muridnya, Abu al-Aswad ad-Duali, untuk menyusun ilmu nahwu.
Perkembangan Ilmu Nahwu Klasik
Abu al-Aswad ad-Duali (603-688) merupakan ulama kelahiran Basrah-Irak yang menjadi pelopor ilmu nahwu pertama. Awalnya, ilmu nahwu disusun sederhana dan aplikatif. Namun seiring perkembangan keilmuan, nahwu menjelma menjadi ilmu tersendiri yang kompleks, bahkan membentuk komunitas-komunitas akademik nahwu yang disebut “Madrasah”.
Pertama, Madrasah Basrah merupakan madrasah pertama yang membuat istilah nahwiyah yang digunakan sampai sekarang. Para linguis Basrah dalam mengembangkan ilmu nahwu menggunakan metode qiyas, ta’lil, ta’wil, sima’ dan riwayah yang menghasilkan teori ‘Amil.
Periode ini dimulai sejak masa Abu Aswad. Namun, karakteristik Basrah muncul ketika masa Imam Khalil (718-789), Sibawaih (760-796), dan linguis termasyhur pada masa ini al-Mubarrid (w. 898).
Kedua, Madrasah Kufah, yaitu komunitas pakar nahwu yang berada di Kufah, kota terbesar kedua setelah Basrah di Irak. Inisiator madrasah ini adalah Abu Ja’far ar-Ruwa’asi (w. 804). Namun, mulai terlihat jati dirinya pada masa Abu Bakr Muhammad ibn Qasim al-Anbari (w. 884) dan Sa’lab (903).
Pada masa ini Basrah telah mencapai rivalnya, sehingga terjadi perdebatan antara Basrah (panglima nahwu besarnya Imam Sibawaih) dengan Kufah (panglima nahwunya Imam al-Kisa’I), menghasilkan ilmu baru yaitu “Ilmu Sharf”.
Selanjutnya, Madrasah Baghdad, yang berusaha menjadi penengah antara Basrah dan Kufah. Madrasah ini muncul ketika para linguis Baghdad belajar nahwu kepada Sa’lab (Kufah) dan al-Mubarrid (Basrah).
Pada awalnya, Baghdad lebih condong ke Kufah dengan tokoh-tokohnya, yakni Ibnu Kaisan (w. 843), Ibnu Syuqair (w. 927), dan Ibnu al-Khayat (w. 932). Namun, generasi selanjutnya mulai masa az-Zujani (948) sampai masa az-Zamakhsyari (1074-1143), Baghdad lebih condong ke Basrah.
Selain membandingkan, mengevaluasi, dan mengembangkan kaidah-kaidah sebelumnya, Baghdad memiliki metode sendiri, yaitu ijma’, istihsan, dan istishab, serta menyesuaikan realitas Arab.
Pakar linguistik menyebut masa ini dengan masa “Penyempurna”. Karena Imam al-Ru’asi telah meletakan dasar-dasar ilmu Sharf, kemudian Imam al-Mazini (Bagdad) mengembangkan secara progresif sehingga saat ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dengan ilmu nahwu.
Masa Keemasan Ilmu Nahwu
Keempat, Madrasah Andalusia merupakan masa keemasan ilmu nahwu pada khalifah Umayyah II (755-1031). Dimulai dari Khalifah Abdurrahman al-Nashir, seorang gubernur Andalusia, mengutus Abu Ali al-Qali untuk mengembangkan pengetahuannya di bidang hadis, bahasa, sastra, nahwu, dan sharf.
Karangan kitab al-Qali antara lain al-Amali, al-Mamdud wa al-Maqsur, al-Ibil wa Nitajuha, Hily al-Insan, Fa’alta wa Af’alta, tafsir Mu’allaqat al-Sab, dan al-Bari’ fi al-Lughah.
Selain itu, al-Qali mempunyai dua murid yaitu Ibnu Quthiyah dan Abu Bakar al-Zubaidiy. Ibnu Quthiyah adalah seorang ahli bahasa, penyair, sejarawan, dan pengarang kitab nahwu berjudul al-Af’al. Sedangkan, Abu Bakar merupakan seorang pakar nahwu dan pengarang kitab Mukhtashar al-‘Ain.
Kemudian, masih banyak ulama nahwu Andalusia, seperti al-Syalubaini, Ibnu Kharuf, Ibnu ‘Ushfur, dan Ibnu Malik, pengarang kitab Alfiyah Ibnu Malik, sebuah karya paling fenomenal dalam ilmu nahwu.
Dapat dilihat bahwa awal pelopor nahwu di Andalusia ialah Abu Ali al-Qali. Namun, disebutkan oleh Ahmad Amin, bahwa semua ahli nahwu sejak al-Qali, masih taqlid pada nahwu Sibawaih. Karena Khalil al-Farahidi beserta muridnya Sibawaih telah meletakkan pilar-pilar nahwu yang kokoh dan sulit digoyahkan. Namun, Ibnu Madha al-Qurthubiy berusaha menggoyahkannya.
Ibnu Mada ingin mengembalikan nahwu Masyriq dan menolak ta’wil yang sudah using. Hal itu dinyatakan dengan mengarang kitab al-Musyriq fi al-Nahwu, Tanzih al-Qur’an ‘Amma la Yaliqu bil Bayan, dan al-Radd ‘Ala al-Nuhat. Berisi bantahan nahwu Sibawaih dan anjuran menyusun Nahwu Jadid.
Selanjutnya, Madrasah Mesir, merupakan pewaris dari perdebatan dan kompleksitas nahwu Basrah, Kufah, Baghdad, dan Andalusia, sampai pada era modern.
Perkembangan Ilmu Nahwu Modern
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, para linguis saling berlomba-lomba mengembangkan disiplin ilmu nahwu. Sampai pada masanya nahwu mengalami analomi, karena berada pada puncak paradigma keilmuan.
Istilah dari Thomas Kuhn (w. 1996), mengalami “krisis nahwu” disebabkan nahwu yang dihasilkan adalah demi kepentingan ilmu itu sendiri, bahkan nahwu menjadi “momok” ilmu yang rumit dan sulit dipahami. Sedangkan, tujuan awal diciptakan nahwu untuk mempermudah memahami bahasa Arab.
Pada dasarnya, 1258-1798 nahwu cenderung mengalami kemunduran. Sehingga, para linguis modern, seperti Ibrahim Mustafa (1888-1962), Abbas Hassan (1890-1978), Mahdi al Makhzumi (1919-1993), al Jawari (1898-1924), Syauqi Dhoif (1910-2005), dan Tammam Hassan (1918-2011) memperbarui nahwu klasik dan menyusun nahwu modern.
Mereka menganggap nahwu klasik menghasilkan nahwu ‘ilmi. Nahwu ‘ilmi adalah nahwu yang diciptakan untuk kepentingan ilmu itu sendiri sebagai pembelajaran orang yang konsentrasi di bidang nahwu. Oleh karena itu, mereka menyusun nahwu jadid agar mudah dipelajari, yang disebut nahwu tathbiqi-ta’limi.
Model-model Nahwu Modern
Ada beberapa model nahwu modern.
Pertama, model madrasi yaitu model studi nahwu berdasarkan kaidah-kaidah nahwu klasik demi kepentingan pembelajaran bahasa Arab. Kritik model ini terhadap nahwu klasik pada sistematika penyusunan bab.
Kedua, zahiriyyah yaitu model pembaruan nahwu modern yang dikembangkan linguis empiris untuk kepentingan pembelajaran bahasa Arab, dengan menggunakan metode sima’i (istiqara’). Tokoh dari model ini adalah Ibnu Mada dan Abu Hayyan.
Ketiga, model tajdidiyah fi ad-dars an-nahwi jadid, yaitu model yang menggunakan teori fungsional. Mendahulukan kepentingan nahwu dan penerapan dalam tekstual agar mudah dipahami oleh pemula. Tokohnya antara lain Ibnu Rusyd (1126-1198), al-Jurjani (1009-1078), dan Ibnu Khaldun (1332-1406).
Editor: Lely N