Tarikh

Menelusuri Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam

7 Mins read

Seorang yang menggeluti pemikiran terkhususnya pemikiran Islam adalah mereka  segolongan kaum elit yang mampu menganalisa dan mengabstraksikan fenomena sosial dan gejala lainnya yang berhubungan dengan kehidupan ini dengan kepandaian yang ia mereka miliki. Pun demikian pemikiran keagamaan Islam bukan merupakan sesuatu yang ajeg, karena ia akan selalu berkembang dan berubah sesuai dengan tuntunan zaman.

Secara multidisipliner yang ada, tipologi perkembangan pemikiran Islam dapat dilihat dari berkembangnya ilmu-ilmu humoniora Islam seperti; Fikih, Filsafat, Tauhid, Tasawuf, dan lain sebagainya.

Namun jika dirunut dari periode ‘waktu’ berkembangnya pemikiran Islam, maka pembagiaannya meliputi; periode pemikiran Islam Klasik, Skolastik, Modern, dan Kontemporer. Masing-masing periode juga mempunyai karakteristik berbeda-beda sesuai dengan problematika yang dihadapi.

Perkembangan Sejarah Pemikiran Islam Klasik

Jika dirunut, perkembangan sejarah pemikiran Islam klasik memang telah dimulai semenjak periode akhir abad ke-1 H hingga memasuki akhir abad ke-3 H, atau dengan kata lain pemikiran Islam klasik telah ada sejak masa Nabi Muhammad hidup hingga masa dinasti Abbasiyah.

Pada periode Nabi dan para sahabatnya budaya transformasi keilmuwan Islam yang dinamis dan inovatif sangat mengakar kuat. Ini bisa dilihat bagaimana pada masa itu ajaran Nabi telah mencakup pelbagai kaidah-kaidah universal dan hukum-hukum partikular yang bermuatan nilai ilmiah dan nantinya merupakan sebuah ilham bagi para fuqaha’ dalam menginterpretasikan pesan (baca-wahyu). Ini ditambah pula oleh kreatifitas para sahabat dalam berijtihad.

Perkembangan Ilmu Fikih

Sebagai sampel yaitu, perkembangan ilmu fikih yang telah ada semenjak Nabi hidup hingga pasca runtuhnya Baghdad (625H/1285M). Pada awal perkembangannya, fikih Islam lebih beraliran ‘pragmatis’ (amaly).

Pasca wafatnya Rasulullah saw, lahirlah tipologi penalaran para sahabat dalam berijtihad. Beberapa dari mereka ada yang berijtihad dengan metode analogi, pertimbangan kemaslahatan, ihtisan, sadz al-dzari’ah dan ada juga yang tekstual.

Paradigma penalaran ini semuanya dimaksudkan untuk dapat menginterpretasikan apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw. Salah satu contoh yang bisa kita ambil dalam permasalahan ijtihad sahabat adalah konsensus yang pernah dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khattab; “Bila ada yang berfatwa bahwa  (bagi  orang yang berhubungan biologis) tidak wajib mandi kalau tidak mengeluarkan sperma/ovum, akan aku pukul dia.”

Era Keemasan Fikih

Era keemasan fikih  atau ”ashr al-idzihar al-fiqh” terjadi pada periode Abbasiyah. Ini disebabkan oleh kebebasan dan perhatian intens yang diberikan khalifah demi berkembangnya fikih.

Sebut saja ketika khalifah al-Manshur berkuasa, bermuncullah madzhab-madzhab fikih termasuk di dalamnya pula keempat madzhab besar yang berkembang pesat hingga dewasa ini.  Memasuki abad ke 2-3H/8-9 M, berbagai aliran pemikiran atau madzhab mulai mengkristal dengan tokoh-tokohnya seperti Malik ibn Anas (wafat th. 179 H / 795 M), Abu Hanifah (wafat 150/767), al-Syafi’i (wafat 204/820) dan Ahmad ibn Hanbal (wafat th. 241/855).

Inilah salah satu cikal bakal pembentukan formulasi hukum Islam. Ironisnya, pasang surut perkembangan madzhab atau aliran tertentu tidak akan pernah lepas dari ada atau tidaknya intervensi kekuasaan yang hendak menformulasikan.

Sebagai sampel, bagaimana kita dapat melihat berkembangnya madzhab al-Syafi’I dengan pesat itu juga disebabkan oleh dukungan kekuasaan dari Shalahudin al-Ayyubi. Sebaliknya jika sebuah madzhab tidak mendapatkan dukungan dari sang penguasa maka sudah dapat diprediksi bahwa madzhab tersebut akan punah.

Seperti contohnya madzhab Sufyan al-Tawri (97-161 H), madzhab al-Auzai (88-158), Dawud al-Dhahiri (202-270) dan lain sebagainya.

Baca Juga  Semit-Arab: Bangsa Penutur Terbaik?

Perkembangan di Ranah Teologi

Pun demikian perkembangan yang terjadi dalam ranah teologi. Penyebab utama perdebatan yang terjadi dalam ranah teologi adalah disebabkan oleh banyaknya permasalahan teologi yang belum tereksplorasi secara gamblang pada masa hidup Nabi.

Hal ini tentunya menyebabkan perdebatan sengit dikalangan mutaklimin sehingga terpecah menjadi dua kubu, yaitu antara kubu rasionalism Mu’tazilah dengan Mutakalimin ekstrimis yang terdiri dari para penganut aliran tradisionalisme muslim ortodoks seperti Dahiriyyah, Mujassim, Jabariyyah, dan Ahlu Hadist.

Kubu pertama yaitu kubu yang selalu mendewakan kekuatan akal atau rasionalis yang muncul pertama kali di kota Basrah (Irak) pada abad ke-2 H, atau tepatnya pada masa kekuasaan khalifah Abdul Malik bin Marwan.

Pelopor Mu’tazilah adalah seorang penduduk Basrah yang bernama Washil bin Atha ‘al-Makhzumi al-Ghozzal (80 H-131 H), ia juga pernah tercatat sebagai salah satu dari murid Hasan al-Bashri.

Disebabkan oleh perbedaan pendapat antara Washil dengan sang Guru, akhirnya Washil bin ‘Athapun mengasingkan diri dari halaqoh sang Guru hingga akhirnya mendeklarasikan diri sebagai aliran mu’tazilah.

Jika Mu’tazilah terkenal sangat mendewakan rasionalitas akalnya maka ini lain halnya dengan golongan kedua yang lebih bersifat ektrem, sebab golongan ini benar-benar mengharamkan diskusi dan pendalaman dalam masalah akidah khususnya yang berhubungan dengan sam’iyyat dan ghoibiyyah.

Beberapa perdebatan sengitpun terjadi di antara kedua golongan tersebut terutama perdebatan mengenai permasalahan ‘af’alul ibad’. Untuk mengharmoniskan kedua kubu tersebut maka muncullah kubu yang dipelopori oleh al-Maturidi dan al-Asy’ari  yang mengklaim sebagai golongan Ahlu Sunah wal Jama’ah.

Inilah beberapa gambaran epistemologi yang berkembang pada masa pemikiran Islam klasik tanpa menafikan perkembangan epistimologi lain seperti tasawuf. Filsafat, sastra, sejarah dan lain sebagainya.

Geliat Keilmuan Islam Masa Skolastik.

Dalam sebuah karyanya “Cita Humanisme Islam”, George A. Maksidi menjabarkan bahwa munculnya gerakan skolastik disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya yaitu:

  1. Meletusnya perselisihan antar berbagai kekuatan agama yang saling bertentangan dan memuncak pada periode mihnah atau inkuisisi (abad ke-3 H/9M), lebih dari satu abad setelah lahirnya gerakan ilmu-ilmu humaniora.
  2. Usaha imam al-Syafi’I dalam membendung gerakan rasionalis Muktazilah dengan menerbitkan karya fenomenalnya ar-Risalah.

Adapun faktor lain yang memicu lahirnya gerakan skolastik adalah pengaruh dari filsafat Yunani terhadap pemikiran umat Islam. George A. Maksidi juga menjelaskan bahwa gerakan skolastik merupakan gerakan madzhab-madzhab, kelompok-kelompok dalam kajian hukum, yang terbentuk karena adanya pertentangan antara gerakan teologi hukum dan teologi kalam.

***

Pun demikian perkembangan keilmuwan Islam yang terjadi pada periode skolastik ini sejatinya  tidak mengalami banyak perbedaan dengan periode klasik. Dengan arti lain bahwa masa ini hanyalah merupakan era kodifikasi ilmu secara sistematis yang didukung oleh kekuatan para penguasa.

Jika pada masa klasik perkembangan keilmuwan Islam dapat berkembang dengan baik dan inovatif, maka sebaliknya pada masa skolastik ini perkembangan keilmuwan Islam justru mandeg atau mandul.

Sarjana-sarjana muslim pada masa ini tidak mampu untuk bereksplorasi secara kreatif  dalam usaha pengembangan keilmuwan. Mereka seolah-olah telah menyakini dan mengamini segala perumusan ilmu capaian sarjana klasik.

Bagi mereka apa-apa yang telah dicapai oleh sarjana klasik telah final dan tidak boleh di ganggu gugat lagi. Implikasinya, terjadilah pengkotakan masyarakat yang terkungkung dalam suatu madzhab tertentu.

Baca Juga  Mush'ab bin Umair: Duta Islam untuk Kota Madinah

Keterkungkungan madzhab ini terbukti dari beberapa karya yang dihasilkan oleh sarjana muslim di era itu yang hanya merupakan sebuah ajaran tautologis (pengulangan-pengulangan), pensyarahan-pensyarahan serta ta’liqot-ta’liqot dari perkatan ulama terdahulu. Ironisnya, budaya taklid buta pun menghegemoni masyarakat hingga ke titik nadir.

Era Kebangkitan Pemikiran Arab Islam (‘Ashru al-Nahdhoh)

Setelah sekian lama berada dalam budaya taklid dan kukungan sebuah madzhab, pemikiran Arab-Islam akhirnya mulai berkembang dan bangkit kembali terutama ketika ekspansi Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798.

Ekspansi yang dipimpin oleh Napoleon telah membawa unsur-unsur modernisme Barat ke Timur. Dus, runtuhnya kekhalifahan Ustmaniyyah di Istambul juga turut andil dalam kebangkitan pemikiran Arab. Penestrasi Barat yang dibawa oleh Napoleon telah mendesak dunia Arab untuk bisa menyesuaikan diri dengan modernitas.

Beberapa tokoh yang mempelopori kebangkitan pemikiran Arab, diantaranya yaitu, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Jamaludin al Afghani, Rifaat Thantawi dan lain sebagainya. Mereka adalah sekelompok pembaharu yang sangat menentang keras budaya taklid  buta yang semakin akut menjangkiti masyarakat.

Oleh sebab itu mereka mulai menggalangkan pembaharuan di setiap lini kehidupan sehingga tidak tertinggal dengan modernitas yang ada di Barat. Sebenarnya wacana pembaharuan agama (tajdid al-diny) yang mereka usung yaitu bagaimana agar agama bisa berjalan selaras sesuai dengan perkembangan realitas sosial.

Dus, bagaimana agar agama juga bisa menjadi “solusi” dengan keragaman problematika kekinian yang semakin kompleks. Berbagai karya-karya baru pun muncul untuk menjawab tantangan modernitas. Seperti Tafsir al-Manar, fiqh Sunah, dan lain sebagainya.

Perkembangan Pemikiran Arab Pasca Kebangkitan

Sejatinya perkembangan pemikiran Arab pasca kebangkitan (‘asr al-nahdlah) terbagi menjadi dua periode yang sangat tipis sekali perbedaannya, yaitu antara modern dan kontemporer.

Menurut Qunstantine Zurayq, kontemporer adalah sebuah masa yang dilahirkan oleh modernitas. Jika kontemporer adalah kekinian atau “kini”, sementara modern adalah “kini” yang sudah lewat tapi masih menyisakan citra modern.

Beberapa sejarawan mengatakan bahwa beberapa faktor yang memicu lahirnya pemikiran keislaman   kontemporer adalah kekalahan bangsa Arab oleh Israel tahun 1967. Kekalahan telak ini telah membuat bangsa Arab malu dan beramai-ramai mulai melakukan instropeksi diri.

Sebenarnya, agenda ataupun wacana yang diusung antara pemikiran  modern dan kontemporer adalah sama, diantaranya yaitu bagaimana agar umat  Islam bisa mengejar kemajuan yang telah dicapai oleh Barat dan bagaimana cara mengharmoniskan antara tradisional (baca-turost) dengan kemoderanan yang terjadi.

Perangkat Menganalisa Warisan Turots

Para pemikir-pemikir Islam pun mulai menawarkan berbagai perangkat untuk digunakan dalam menggali dan menganalisa warisan turost kita. Sebagai sample, proyek yang diusung oleh Jabiry, dalam magnum opusnya, Bunyah Aql al-Araby, disini Jabiry menegaskan agar bagaimana kita bisa menjadikan turost kita mu’ashiran lana wa mu’ashiran li nafsihi.

Berangkat dari sinilah Jabiry berpendapat bahwa epistemology pemikiran Arab Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga point penting yaitu ; Bayani (retoris), ‘Irfani (gnostik) dan Burhani (demonstrative). 

Jabiry berpendapat bahwa dalam rangka mengindepentdenkan pemikiran Arab Islam, maka langkah yang harus ditempuh adalah mendapuk ulang (dekonstruksi-rekonstruksi) epistimology dengan berlandaskan dari pemikiran klasik ataupun yang dinukil dari Eropa.  

Implikasinya pemikiran Arab Islam yang independent pun akan dapat kita lahirkan sesuai dengan kandungan serta kebenarannya sehingga kita bisa terlepas dari hegemoni pemikiran Barat. Tujuannya yaitu, bagaimana agar kita bisa mengembangkan pemikiran Islam sehingga kita bisa menemukan “mutiara” yang terdapat dalam turost kita tanpa harus menghilangkan identitasnya.

Baca Juga  Karena Wahyu Allah, Rasulullah Menikahi Zainab binti Jahsy

***

Selain Jabiry disana juga terdapat sederet pemikir progresif Islam lainnya seperti al-syeikh Yusuf Qordhowi, Muhammad Iqbal, Muhammad Imaroh dan masih banyak lagi.

Pisau analisa yang digunakan oleh mereka dalam mengembangkan turost pun bermacam-macam, seperti pendekatan antropologi, pendekatan Tradisionalis-Totalistik, Fenomenalogis dan lain sebagainya

Inilah beberapa peta pemikiran perkembangan pemikiran Islam dari mulai Pemikiran Klasik hingga kontemporer. Tak ayal lagi beragam perangkat dan tawaran pembaharuan yang ditawarkan oleh para pemikir Islam tersebut terkadang sampai membuat gesekan (clash) pemikiran dalam tubuh intern umat Islam.

Ditambah lagi dengan masuknya pengaruh Barat serta arus globalisasi dewasa ini. Di sisi lain ada pula beberapa kalangan yang masih terkesan rigid dan kaku dalam menghadapi modernitas dan pembaharuan-pembaharuan pemikiran Islam.

Bagaimana Sikap Kita?

Nah, bagaimana seharusnya kita bersikap? Bagaimana kita bisa menciptakan sikap yang ideal? Inilah pertanyaan kritis yang seharusnya kita sematkan ke diri kita masing-masing. Sebab maju mundurnya peradaban Islam merupakan tanggung jawab kita semua.

Nah, menghadapi pluralitas pemikiran Islam sendiri maka sikap yang seharusnya kita kedepankan yaitu, menggalangkan sikap inklusif atau keterbukaan dengan pelbagai corak pemikiran yang ada.

Adapun makna dari inklusif yakni, selayaknya kita tidak mendahulukan kesensitifan atau rasa alergi serta curiga yang berlebihan sehingga imbasnya kita tidak bisa memahami dengan baik apa dan bagaimana maksud pembaharuan yang ditawarkan oleh para pemikir Islam. Ini senada seirama dengan peribahasa yang berbunyi:

انظرما قال ولاتنظر من قال

Maka sudah saatnya kita tidak hanya melihat siapa yang mengatakan ataupun siapa yang menawarkan model pemikirannya namun kita juga harus mau melihat “apa dan bagaimana” konsep pemikiran yang ia tawarkan. Sikap inklusif disini juga harus kita barengi dengan perangkat lain yakni bersikap seilmiah mungkin dalam berargumentasi dan dalam pengambilan kesimpulan. Sikap ilmiah ini sebagai sebuah senjata untuk menfilter hal-hal yang memang tak layak kita terapkan dalam kemajuan yang berlandaskan worldview Islam. Dus, penilaian ilmiah yang kita kedepankan mampu melahirkan obyektifisme dalam mengambil kesimpulan terakhir.

***

Sikap inklusif juga akan melahirkan rasa tasamuh diantara kita karena dengan begitu kita tidak selalu merasa paling benar sebab seperti dengan apa yang diucapkan oleh Rasullullah saw, “bahwa sebuah kebenaran ada di setiap zaman dan tempat”.  Bahkan al-Imam as-Syatiby juga selalu menggalangkan akan cita humanisme global antar sesama golongan.

Pertanyaan terakhir yaitu “bagaimana kita bisa melahirkan sikap inklusi,ilmiah serta obyektif”? Jawaban yang paling tepat adalah dengan menyadari bahwa sebuah sikap tidak akan ada kecuali setelah kita berpikir kritis dan sebuah kekritisan juga tidak akan datangnya tanpa sebuah pemahaman yang baik, walhasil, pemahaman yang baik juga tidak akan datang dengan sendirinya namun ia akan lahir setelah kita membaca, mengkaji dan menganalisa semuanya tanpa adanya sebuah dikotomi.

النقد والنقد بعد الفهم والفهم بعدالقراءة  الموقوف بعد

Walakhir, penulis berharap dari tulisan sederhana ini mampu memberikan shock terapy serta mampu membangun kesadarn kolketif bagi kita Generasi  muslim Indonesia untuk mengibarkan panji-panji Islam dalam menyosong sebuah peradapan maju serta berkarakteristik luhur nan Islamis. Wallahu ‘alam.

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Staf Pengajar LPSI UAD Anggota Bid. Dakwah PPNA
Articles
Related posts
Tarikh

Ahli Dzimmah: Kelompok Non-Muslim yang Mendapat Perlindungan di Masa Khalifah Umar bin Khattab

2 Mins read
Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, Islam mengalami kejayaan yang berkilau. Khalifah Umar memainkan peran penting dalam proses memperluas penyebaran Islam….
Tarikh

Memahami Asal Usul Sholat dalam Islam

5 Mins read
Menyambut Isra Mi’raj bulan ini, saya sempatkan menulis sejarah singkat sholat dalam Islam, khususnya dari bacaan kitab Tarikh Al-Sholat fi Al-Islam, karya…
Tarikh

Menelusuri Dinamika Sastra dalam Sejarah Islam

3 Mins read
Dinamika sastra dalam sejarah Islam memang harus diakui telah memberikan inspirasi di kalangan pemikir, seniman, maupun ulama’. Estetika dari setiap karya pun,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *