Tanggal 22 Juni 75 tahun silam, lahir suatu konsensus bersama. Suatu kesepakatan yang memiliki dua-tiga sebutan. “Perjanjian Luhur” kata sebagian orang. “Rumusan Pancasila Pertama” kata sebagian yang lain. “Gentlement Agreement” kata seorang penerjemah. Dan “Piagam Jakarta” kata hampir semua orang.
Barangkali, sebagian orang mungkin akan heran, mengapa konsensus ini juga disebut dengan “Rumusan Pancasila Pertama”?. Tidak salah orang yang menyebutnya. Sebab, rumusannya pun sebelas-dua belas sama dengan Pancasila. Bedanya hanya tujuh kata.
Kalau Pancasila di sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sementara Pancasila rumusan pertama berbunyi “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Para Pemeluknya”. Untuk mempermudah, kita sebut saja konsensus ini sesuai pemahaman orang banyak, “Piagam Jakarta”.
Perbedaan Piagam Jakarta dengan Pancasila, bagi sebagian orang terletak pada diksi dan muatannya. Sementara yang lain beranggapan perbedaan ada pada diksinya, materi muatan antara keduanya sama.
Tetapi, tentu perbedaan pendapat keduanya jelas bertabrakan satu sama lain. Bagi sebagian orang, “Ketuhanan Yang Maha Esa” muatannya jelas berbeda dengan “Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam Bagi Para Pemeluknya”. Namun, yang pasti kedua golongan sama-sama memiliki dasar yang kuat.
Golongan yang menganggap kedua muatannya berbeda biasanya mengartikan sila pertama dari Pancasila hanya dengan kebebasan beragama dan beribadah. Sementara golongan yang menyamakan kedua muatannya, tentu masih beranggapan bahwa syari’at Islam tetap bisa hidup di bumi pertiwi. Tulisan ini hendak mengulas sedikit soal sejarah Piagam Jakarta dan mengapa ada anggapan yang menyamakan materi muatan keduanya.
Sejarah Lahirnya Piagam Jakarta
Piagam Jakarta lahir ketika dua golongan besar dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yakni golongan sekular dengan golongan Islam berdebat keras tiada henti soal dasar negara. Keduanya sama-sama teguh berpendirian. Golongan sekular dengan negara sekulernya, dan golongan Islam dengan negara berdasar Islamnya.
Abdul Kahar Muzakkir, seorang tokoh Muhammadiyah, dengan menggebrak meja mengatakan, “Supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka sampai kepada Pasal di dalam Undang-Undang Dasar itu, yang menyebut-nyebut agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali. jangan ada hal itu!”.
Pernyataan Abdul Kahar Muzakkir tersebut disetutujui oleh tokoh Muhamamdiyah yang lain, Ki Bagus Hadikusumo, “Tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi. Kalau ideologi Islam tidak diterima, jadi negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral”, katanya.
Soekarno, akhirnya sampai membujuk golongan sekular sembari mengatakan, “Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan tawaran ini kepada tanah air dan bangsa kita”, ujar Soekarno.
Singkat kata, perdebatan sengit itu berakhir dengan kompromi antara kedua golongan, dan lahirlah Piagam Jakarta yang memiliki tujuh kata berbeda dari Pancasila. Dan, ditambah ketentuan “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”.
Kesepakatan itu juga disetujui oleh salah satu pemimpin golongan Nasrani, A.A. Maramis. Kepada Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Maramis mengatakan setuju 200% terhadap usul Muzakkir agar di negara baru nanti orang-orang Islam berkewajiban menjalankan syari’at Islam.
Setelah perjalanan panjang menuju proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, esoknya, 18 Agustus, munculah ujian pertama umat Islam di Republik yang baru lahir. Ujian tersebut berupa ultimatum: ultimatum pertama dari umat Kristen bagian Timur, terhadap Republik yang baru berumur 24 jam itu.
Polemik Ultimatum
Ultimatum tersebut ialah ancaman. Ancaman untuk mendirikan negara sendiri apabila tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak dihapus, dan ketentuan mengenai “Presiden harus beragama Islam” tidak dicabut. Ancaman tersebut diketahui pertama kali oleh salah satu pahlawan Proklamasi kita: Bung Hatta.
Bung Hatta awalnya menolak. Menurutnya, Piagam Jakarta telah disepakati oleh semua golongan, termasuk golongan Nasrani. Namun, ketakutan akan pecahnya kesatuan dan persatuan membuat Hatta menyetujui usul tersebut, kemudian disampaikan pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus.
Usul perubahan dasar negara tersebut mendapat tantangan dari Ki Bagus Hadikusumo, yang teguh pendirian mempertahankan tujuh kata. Betapa teguhnya pendirian Ki Bagus, sampai-sampai Soekarno dan Hatta segan untuk menghadapinya.
Soekarno kemudian meminta Kasman Singodimedjo, yang sesama tokoh Muhammadiyah dengan Ki Bagus, untuk membujuk Ki Bagus supaya mau melepas tujuh kata. Tentu Kasman tidak langsung menuruti Soekarno. Kasman menolak, tetapi setelah mengingat keberadaan Jepang yang masih di Indonesia, dan sekutu yang hendak berlabuh di Indonesia, Kasman akhirnya setuju juga.
Janji Soekarno dan Sidang Konstituante
Selain itu, Kasman juga setuju karena janji Soekarno. Bahwa Soekarno berjanji dalam waktu enam bulan, akan dibentuk suatu majelis yang akan kembali membahas soal dasar negara. Akhirnya, dengan bahasa Jawa halus, Kasman membujuk Ki Bagus dengan iming-iming janji Soekarno. Setelah itu, Ki Bagus pun dengan berat hati menyetujuinya, dan terjadilah salah satu peristiwa besar dalam sejarah Indonesia: dihapusnya Piagam Jakarta.
Mengomentari peristiwa tersebut, M. Natsir mengingatkan umat Islam, “Menyambut hari Proklamasi 17 Agustus kita betahmid. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus kita beristighfar. Insya Allah, umat Islam tidak akan lupa”.
Kurang lebih 10 Tahun kemudian, tepatnya setelah Pemilu pertama tahun 1955, baru diadakan Majelis Konstituante. Konstituante ialah Majelis yang bertugas menyusun Undang-Undang Dasar. Dalam majelis tersebut, terdapat tiga dasar negara yang diajukan: Islam, Pancasila, dan Sosial-ekonomi.
Dalam Konstituante itulah fraksi Islam dengan gigih memperjuangkan Islam, sembari menagih janji Soekarno pada Kasman dahulu, meskipun Ki Bagus telah berpulang. Perdebatan soal dasar negara berlangsung sengit, sama halnya dengan pembahasan ketika rapat BPUPKI dahulu.
Dengan sengitnya perdebatan, Soekarno, yang mengamati Konstituante dengan seksama, kemudian menganggap Konstituante telah gagal. Kegagalan tersebut dianggap Soekarno karena lamanya Konstituante bersidang.
Hingga akhirnya Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959, yang membuat UUD Tahun 1945 menjadi Konstitusi lagi. Dekrit dikeluarkan, Konstituante dibubarkan. Dekrit tersebut salah satunya berisi, “Piagam Jakarta menjiwai UUD Tahun 1945”. “Apa yang dimaksud dengan ketentuan tersebut?”, Pertanyaan tersebut dilontarkan kepada Perdana Menteri Djuanda oleh anggota DPR, Achmad Sjaichu, dari Partai NU.
Djuanda kemudian menjawab, bahwa ketentuan tersebut tentu berpengaruh pada UUD 1945. Itu berarti, tetap dapat dibuat peraturan perundang-undang yang sesuai dengan syari’at Islam. Mengomentari hal tersebut, Ahmad Syafii Maarif menyimpulkan, bahwa sekalipun hanya secara implisit namun gagasan untuk dapat menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya tidak dimatikan.
Demikianlah sebab adanya anggapan yang menyamakan muatan Pancasila dengan Piagam Jakarta. Dan, pilihan untuk mengikuti golongan yang membedakan atau menyamakan, ada pada hak para pembaca. Selamat hari lahir Piagam Jakarta!
Sumber:
Artawijaya. 2014. Belajar dari Partai Masyumi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Hakiem, Lukman. 2019. Biografi Mohammad Natsir, Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Maarif, Ahmad Syafii. 2017. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara. Bandung: Mizan.
Editor: Yusuf R Y