Saya mengenal saudara Anjar Nugroho (AN) sejak di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Seperti biasa, di kampus putih tersebut, pada masa 90 an, banyak mahasiswa yang bergabung dalam kelompok studi diskusi. Saya mengikuti pertama kali dengan AN dalam kelompok diskusi Lingkar Pena. Tepatnya di serambi masjid kampus putih tersebut.
Makalah yang disajikan Anjar Nugroho dalam diskusi tersebut berjudul “Menyoal Pembaruan Pemikiran Islam.” Beliau membahas mulai pemikiran tokoh di Indonesia, seperti Ali Mukti, Harun Nasution, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafii dan Amien Rais, dan juga tokoh intelektual revolusi Islam Iran Ali Syariati, kemudian Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Asghar Ali, Hassan Hanafi, sampai juga dengan kajian mutakhir ulama Mesir yang sangat terkenal dengan bukunya an-Naqdu Al-‘Aqli Al-‘Arabiy atau kritik nalar Arab, Muhammed Abed Al Jabiri.
Dari sekian diskusi, salah satu hal yang sering ditekankan oleh Anjar Nugroho adalah, bahwa keterbelakangan dunia Islam disebabkan oleh kejumudan. Karena itu, sebagai mahasiswa, mana mungkin akan maju manakala mindset pemikiran kita tentang Islam berakar dari tradisi yang jumud? Kemajuan menuntut progresifitas dan lazim bergaul atas hal yang baru, tanpa meninggalkankan dimensi yang konstan, yaitu tauhid.
Diskusi kedua, adalah sama-sama menjadi peserta Taruna Melati Utama (TM U) Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (PP IRM) angkatan kedua pada tahun 1996 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Alumni TM U kedua ini luar biasa semua. Ada Raja Juli, Fathul Wahid, Enjang Tedy, Paryanto, Arif Jamali Muis, Rizal Kurniawan, Hilman Latief, Fathul Mufid, Islah, dan beberapa kawan kader dari seluruh Indonesia, yang tidak mungkin saya sebutkan semuanya.
Master of Training TM U tersebut adalah Tofan Agasta. Mentor diskusi kelompoknya pun luar biasa. Ada Hendar, Syamsuddin Ahmad, alm. Iman Nurdin, Izzul Muslimin, Asykuri, dan lain-lain.
Setelah itu, saya pun sempat satu kontrakan dengan AN selama satu tahun, di samping rel kereta api, daerah Sawit. AN ketua korkom Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan saya pengurus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Fakultas Syariah. Diskusi dan persinggungan dengan AN terus berlanjut.
Persentuhan ketiga, pada saat sama sama di Pimpinan Wilayah IRM DIY. Beliau menjadi Wakil Ketua. Ketuanya saat itu Paryanto Rahma. Meskipun sering terjadi dialektika yang cukup serius dengan PR, tapi AN memiliki tipikal intelektual murni yang biasa menerima logika kebenaran dari mana pun datangnya. Bukan orang yang kaku dalam mempertahankan argumentasi dan pendapat. Ciri intelektualismenya kental dalam perilakunya sejak dulu.
Persinggungan yang cukup intens dengan Anjar Nugroho sampai di PP IRM dan kelompok diskusi Gerjen. Saat itu kami bersama Muhlas Rowi, Tofan Agasta, Arif Budiman, Asykuri, Syamsuddin Ahmad, Arief Jamali Muis, Ali Audah, dan lain-lain.
Kedekatan dengan sungguh bukan sekedar kedekatan intelektual saja. Sampai pada saat mau menikah dengan istri beliau, Ummi Musyahidah, saya ikut menjadi supir rombongan IRM dari Jogja dengan sewa mobil Panter ke kampungnya yang ada di Purwokerto. Saya sambil bercanda, saat itu berseloroh ke AN. “Setelah ini ngajar di UMP dan membesarkan UMP,” ujar saya. Akhirnya ia menjadi rektor termuda di UMP.
Sekitar 2 tahun setelah mengajar di UMP, Anjar Nugroho mengundang saya untuk mengisi ospek mahasiswa UMP. Saat itu bersamaan juga dengan Abdul Mu’thi sebagai Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah. Lagi lagi ciri intelektualisme dan kesantunan AN masih sangat mengental. Setelah itu beberapa kali saya masih datang ke UMP, mulai sejak AN menjadi Wakil Dekan, dan yang terakhir kemudian Wakil Rektor. Saat itu beliau sangat bangga dengan riset Kelapa Kopyor andalan Fakultas Pertanian UMP. Sejak ia menjadi Rektor, saya belum pernah bersua kembali sampai akhirnya saya mendengar kabar duka tadi pagi.
Perjalanan yang luar biasa, dan mimpi dari pembaharuan pemikiran Islam tanpa bergaul dengan kemajuan adalah takhayul baru, dibuktikannya dengan keyakinan membangun UMP ke radius nasional dan internasional.
Selamat jalan Sahabatku, prestasi dan ukiran intelektualisme dicatat sebagai karya terindah di dunia dan akherat.
Jakarta, dalam terik matahari Desember 2020.
Editor : Yusuf