Saat wacana hijab, cadar muncul kembali, saya jadi bersedih. Bagaimana mungkin wacana cadar, hijab, justru sering muncul dari kaum lelaki yang notabene tidak pernah memakai hijab, cadar atau sejenisnya?
Islam adalah agama yang feminin. Ia ada untuk memuliakan, dan mengangkat derajat perempuan. Pembelaan Islam terhadap kaum perempuan bukan hanya perkara hijab saja, tetapi juga pembatasan istri hanya empat dengan ketentuan, atau satu saja cukup.
Belum lagi keadilan Islam dalam wilayah domestik maupun non-domestik bagi kaum perempuan. Hijab hanyalah salah satu sisi namun sering ramai dibincangkan dan diperdebatkan. Dan anehnya, justru kaum lelaki yang sering melontarkan wacana atau gagasan tersebut.
Tidak tanggung-tanggung, Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam forum Tanwir IMM di NTB, menyatakan khawatir para IMMawati yang memakai cadar terjangkit pemahaman Islam yang berbeda dari Manhaj Muhammadiyah. Sebab bagi Muhammadiyah sendiri sudah jelas, cadar dianggap bukan wajib, sehingga cenderung tidak diperkenankan karena Islam tidak mewajibkan cadar.
Apa yang disampaikan Haedar Nasir tersebut mengundang kekhawatiran saya pribadi, mengapa di antara banyak kaum lelaki disana, tidak ada kaum perempuan (IMMawati) yang melakukan protes atau menginterupsi dan melontarkan gagasannya tentang cadar. Mengapa wacana cadar atau jilbab seolah hanya milik kaum lelaki?
Arabisasi
Dari semenjak saya kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), sampai sekarang, hampir belum saya temukan buku tentang jilbab atau cadar dari kaum IMMawati atau perempuan yang menyoroti perihal jilbab, maupun cadar.
Di sisi lain, memang belum ada satu kesepahaman yang disepakati tentang bagaimana aturan jilbab diterapkan di organisasi IMM Bidang IMMawati. Karena kajian dan penelitian soal jilbab ini hanya menjadi wacana yang hangat-hangat tahi ayam (sesekali muncul dan marak, lalu menghilang).
Kesepahaman dan kesepakatan ini menjadi penting mengingat identitas organisasi atau standar aturan organisasi mengaturnya. Saya sendiri menjadi maklum, dari kacamata orang dalam. Mereka tidak lekas menentukan apakah jilbab wajib bagi kaum IMMawati, cadar wajib bagi IMMawati, atau tidak karena “mereka” kaum perempuan ini cenderung menjadi makhluk kedua meminjam istilah dari Virginia Wolf.
Jangankan urusan memakai, mereka sendiri khawatir saat pacaran memakai jilbab jadi canggung dan serba kikuk kalau mereka mewajibkan jilbab. Pada aspek lain, kaum lelaki seolah terus memaksakan jilbab atau burqa harus dipakai karena untuk menghindari kekerasan seksual bagi kaum perempuan. Yang paling enak adalah wacana jilbab adalah serba Islam ala arab. Sehingga pedomannya ikutan perempuan Arab yang memakai cadar.
Inilah saya kira beberapa perdebatan dan silang sengkarut tentang jilbab hingga cadar yang kini justru mencuat kembali di kalangan Muhammadiyah. Sikap kekhawatiran Haedar sah sah saja, tapi alangkah lebih indah kalau yang menyuarakan justru kaum perempuan, IMMawati yang selaku objek sekaligus subjek dalam wacana cadar atau hijab ini.
Saya jadi ingat pemaparan Shereen El Feki dalam bukunya Sex dan Hijab. Pada buku itu, digambarkan bagaimana pergeseran wanita Arab maupun Mesir dalam memakai cadar. Banyak pula dari mereka memakai cadar dan memiliki komunitas yang kemudian mendobrak tatanan lama. Alhasil, hijab atau burqa tidak lagi cenderung ke syariat tetapi kepada gaya hidup.
Amatan Shereen sejalan dengan yang dialami di indonesia kini. Mereka para hijaber, sebutan untuk pemakai cadar, sering Kopi darat, nongkrong, dan membahas persoalan para pemakai cadar, hambatan, dan tantangannya.
Saya jadi ingat sekali dengan penututan kawan saya saat kuliah yang menuturkan kelakuan perempuan bercadar, seorang mahasiswi, kelakuannya seperti Nidah Kirani tokoh dalam buku novel Muhiddin M Dahlan yang bertajuk Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur.
Saya tidak akan menanggapi Pak Haedar maupun perdebatan bagaimana ketentuan atau manhaj IMMawati dalam berpakaian. Biarlah suara kaum perempuan, khususnya IMMawati ini muncul dan menentukan sendiri bagaimana mereka merdeka memperlakukan tubuh mereka.
Toh Islam sudah memberi batasan yang jelas, dan gamblang. Saya berharap besar kaum IMMawati sendiri yang bersuara dan menentukan sikapnya. Bukan kaum laki-laki yang meributkan dan memperpanjang perdebatan perkara jilbab maupun cadar.
Sudah waktunya Aisyiah, Nasyiatul Aisyiah, IMMawati menyuarakan kegelisahannya. Agar kita tidak mundur ke belakang, tetapi melangkah ke depan. Rasanya malu, dari dulu perdebatan soal hijab tak selesai-selesai. Sementara banyak persoalan yang jauh lebih penting. Mendingan bahas riset di IMMawati yang kian hari kian tenggelam. Tentu lebih seru!