Perspektif

Setiap Muslim, Pada Akhirnya Adalah Muhammadiyah

3 Mins read

Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Begitulah bunyi hadis yang cukup populer di telinga masyarakat.

Jika boleh untuk meminjam redaksi hadis tersebut, setiap muslim di Indonesia terlahir dalam keadaan NU. Maka orang tua atau lingkungannya yang menjadikannya menjadi Muhammadiyah, Salafi, Al Irsyad, dan lain-lain.

Itulah yang penulis tangkap saat membaca tulisan Nurbani Yusuf di IBTimes.ID yang berjudul “Setiap Muslim Pada Dasarnya Adalah NU”. Tulisan tersebut mendapatkan beragam respon dari yang biasa saja sampai yang cukup keras.

Kita sudah mafhum, Nurbani Yusuf adalah kader Muhammadiyah sekaligus budayawan yang pikiran-pikirannya senantiasa nyentrik dan kadang tidak umum. Pikiran-pikirannya rutin ditulis di dinding facebook yang bersangkutan.

Jika Nurbani Yusuf membuat tesis bahwa setiap muslim di Indonesia pada dasarnya adalah NU, penulis mencoba membuat tesis baru bahwa setiap muslim di Indonesia pada akhirnya adalah Muhammadiyah.

Memang pada dasarnya muslim di Indonesia adalah NU, karena amalan NU lah yang dominan di Indonesia. Kita harus pahami dulu, bahwa NU di sini bukanlah NU organisatoris. Namun, paham dan pemikiran NU yang sudah menyebar sebelum organisasi NU lahir.

Paham yang disebut juga ahlu sunnah wal jamaah, oleh KH. Hasyim Asy’ari, didefinisikan sebagai bermazhab Syafii dalam fikih, bersekte Asy’ari/Maturidi dalam akidah, dan mengikuti Al-Ghazali/Junaid Al Baghdadi dalam tasawuf.

NU pun Akan Me-Muhammadiyah Pada Waktunya

Saat masih belia, penulis diajarkan usholli sebelum memulai salat, Allahu Akbar Kabiiraa sebagai doa iftitah, subhana rabbiyal azhim dan subhana rabbiyal a’la sebagai bacaan rukuk dan sujud. Itu pengajaran yang diterima penulis di Taman Pendidikan Al Quran.

Setelah masuk pesantren Muhammadiyah, barulah penulis tak lagi membaca usholli, mengganti Allahu Akbar Kabira dengan Allahumma Baid Bainii, mengganti subhana rabbiyal azhim dan subhana rabbiyal a’laa dengan subhanaka Allahumma rabbanaa wa bihamdika Allahummaghfirlii.

Artinya, penulis pun pernah merasakan menjadi NU sebelum menjadi Muhammadiyah seperti sekarang. Namun sadarkah kita, bahwa pada akhirnya setiap muslim di Indonesia akan menjadi Muhammadiyah pada akhirnya?

Baca Juga  Minu Ae Petu dan Sambut Baru: Gema Toleransi dari Ende

Mari kita lakukan kilas balik terlebih dahulu. KH. Ahmad Dahlan pernah dikecam karena menggunakan kompas untuk membetulkan arah kiblat. Hari ini, setiap muslim menerima arah kiblat yang dihitung dengan kompas dan teknologi. Berarti muslim hari ini sudah menjadi Muhammadiyah.

Zaman dahulu, KH. Ahmad Dahlan pernah dicibir karena menggunakan kursi dan meja dalam ruang belajar. Hal ini dianggap meniru Belanda. Sementara, pesantren belajar dengan cara duduk di surau atau masjid. Hari ini, setiap pesantren NU sudah menggunakan meja dan kursi sebagai salah satu sarana pembelajaran. Berarti pesantren-pesantren NU sudah menjadi Muhammadiyah.

Jika dahulu Muhammadiyah memelopori berdirinya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, maka hari ini NU pun tak mau kalah. Tak hanya mendirikan pesantren, NU juga membuat sekolah-sekolah formal dan perguruan tinggi. Bahkan, Universitas NU sudah berdiri dimana-mana. Hal ini menunjukkan NU sudah jadi Muhammadiyah.

Umat Islam di Indonesia Juga Akan Me-Muhammadiyah

Pada masa lalu salat Idul Fitri dan Idul Adha mayoritas dilaksanakan di masjid. Alasannya karena khawatir najis jika dilaksanakan di lapangan. Sekarang sebaliknya, mayoritas melaksanakan salat ‘Idain di lapangan. Di masjid hanya apabila ada halangan seperti hujan. Yang memelopori salat ‘Ied di lapangan adalah Muhammadiyah. Berarti mayoritas muslim hari ini adalah Muhammadiyah.

Dahulu, khutbah Jumat hanya dengan bahasa Arab. Muhammadiyah kemudian menganjurkan khutbah Jumat dengan Bahasa Indonesia atau bahasa daerah. Sekarang, mayoritas khutbah Jumat dengan bahasa daerah atau Bahasa Indonesia. Sedikit yang hanya menggunakan bahasa Arab. Artinya, mayoritas umat Islam sudah jadi Muhammadiyah.

Dahulu memakai celana panjang dan jas bagi laki-laki adalah bentuk tasyabbuh terhadap penjajah. Yang Islami, adalah memakai gamis dan sorban. Para pimpinan Muhammadiyah tak segan menggunakan pakaian ala Jawa atau Belanda dengan tidak meninggalkan gamis dan sorban. Walau dengan risiko kembali dicibir sebagai Kristen Putih, atau Kristen berbaju Islam.

Baca Juga  Jangan Jadi Muhammadiyah Terserah!

Hari ini sudah tak ada lagi umat Islam yang menganggap bahwa berpakaian ala barat atau Jawa adalah bentuk tasyabbuh. Kita sepakat bahwa tasyabbuh berlaku hanya bagi simbol sakral dalam suatu agama, misalnya memakai salib. Artinya, mayoritas umat Islam sekarang sudah menjadi Muhammadiyah.

Dahulu umat Islam masih menggunakan pengobatan tradisional saat ditimpa penyakit. Datang penjajah membawa pengobatan modern, lalu berdirilah klinik dan rumah sakit untuk penduduk. Pribumi dari kalangan Priyayi ada yang berkesempatan sekolah di STOVIA misalnya dr. Cipto Mangunkusumo.

Kyai Dahlan tak segan bergaul dengan Budi Utomo. Beliau membawa gagasan yang baik dari Budi Utomo untuk diterapkan dalam gerakan Muhammadiyah. Di bawah pimpinan Kyai Syuja’ berdirilah Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem.

Dibuatlah klinik Muhammadiyah yang kemudian menjadi rumah sakit PKU Muhammadiyah. Hari ini selain Muhammadiyah, banyak kita lihat yayasan-yayasan berbasis Islam yang membuat rumah sakit. Umat Islam berbondong-bondong berobat ke rumah sakit, tak lagi ke dukun atau tabib. Artinya umat Islam sudah menjadi Muhammadiyah.

Muhammadiyah Mengalir dalam Darah Setiap Muslim Indonesia

Ada banyak lagi hal lain yang menunjukkan bahwa muslim Indonesia adalah Muhammadiyah. Jadi,  tak perlu risau dan minder menjadi Muhammadiyah. Karena ajaran Muhammadiyah sebenarnya sudah mengalir dalam darah setiap muslim di Indonesia baik disadari atau tidak.

Mari kita bayangkan, Indonesia dan umat Islam tanpa Muhammadiyah. Mungkin transisi untuk menerima modernitas akan berlangsung lebih lama dan lebih alot. Kita bersyukur bahwa Muhammadiyah menjadi salah satu katalisator pembangunan bangsa. Tinggal langkah Muhammadiyah tak boleh berhenti. Jangan terjebak dalam romantisisme sejarah. Mari tetap gempitakan gerakan Muhammadiyah di abad kedua.

.

Editor: Yahya Fathur R
Related posts
Perspektif

Indonesia Berkemakmuran, Kemakmuran untuk Semua

4 Mins read
Menyongsong Milad ke-112 tahun ini, Muhammadiyah mengambil tajuk “Menghadirkan Kemakmuran untuk Semua”, tema yang sama juga akan digunakan sebagai identitas acara Tanwir…
Perspektif

Refleksi Milad ke-112 Muhammadiyah: Sudahkah Dakwah Muhammadiyah Wujudkan Kemakmuran?

3 Mins read
Beberapa hari yang lalu, ketika ibadah Jumat, saya kembali menerima Buletin Jumat Kaffah. Hal ini membawa saya pada kenangan belasan tahun silam…
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds