Oleh: M Husnaini
Inilah buku yang secara tuntas mengupas berbagai persoalan terkait tarawih. Mengingat tarawih adalah salah satu ibadah yang sering mengundang perdebatan, maka kaum awam dapat menjadikan buku ini sebagai pedoman. Bagi kaum terdidik, buku ini sangat membantu dalam memahamkan umat tentang bagaimana praktik tarawih sesuai tuntunan Rasulullah.
Ditulis oleh guru besar hukum Islam sekaligus Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, jelas buku ini sangat berbobot. Sebanyak 260 literatur rujukannya adalah karya-karya ulama kredibel dan berbahasa Arab. Dalam penulisan buku 456 halaman ini, penulis juga melakukan kajian mendalam menyangkut nas-nas Al-Qur’an dan hadis shahih. Dihindari penggunaan Maktabah Syamilah, karena memang mengidap sejumlah kelemahan data.
Seperti dituturkan penulis, istilah tarawih memang tidak dikenal pada zaman Rasulullah. Semua hadis yang ada hanya menyebut qiyam Ramadan dan terkadang salat bulan Ramadhan. Istilah tarawih juga belum muncul pada kitab-kitab ulama abad ke-2 H, semisal Al-Muwatta’ karya Imam Malik atau Al-Umm karya Imam Syafi’i. Istilah tarawih baru ditemukan dalam karya ulama abad ke-4 atau ke-5 H, misalnya As-Sunan Al-Kubra karya Imam Baihaqi.
Tarawih merupakan bentuk plural dari tarwihah, yang berarti istirahat pada setiap selesai empat rakaat salat sunah di malam Ramadhan itu. Istirahat-istirahat di antara rangkaian empat rakaat itulah yang disebut tarawih. Satu tarawih adalah empat rakaat, baik dikerjakan dengan satu atau dua salam. Istilah itu lalu mengalami perkembangan makna. Kitab-kitab abad ke-4 H dan seterusnya, memaknai tarawih sebagai keseluruhan salat di malam Ramadhan. Bahkan, masyarakat kita memaknai tarawih sebagai keseluruhan salat di malam Ramadhan, termasuk witir.
Penulis telah berhasil menyajikan hadis-hadis tentang tarawih secara kritis. Rasulullah sendiri memang tidak selalu mengerjakan tarawih bersama sahabat, karena khawatir tarawih dianggap wajib, namun beliau sangat menganjurkan agar tarawih dikerjakan secara berjamaah. Dalam hadis shahih dari Abu Dzar, Rasulullah bersabda, “Sungguh barang siapa yang mengerjakan qiyam Ramadhan bersama imam hingga selesai, ditetapkan baginya pahala satu malam”.
Menurut penelusuran penulis, ada 10 ragam rakaat tarawih. Dari semua ragam rakaat itu, yang paling sesuai dengan praktik Rasulullah adalah 11 rakaat, termasuk 3 rakaat witir. Yang lainnya hanya hasil ijtihad ulama atau tradisi marjuh alias tidak kuat dasarnya. Penulis juga membantah pendapat bahwa hadis Aisyah tentang 11 rakaat salat malam Rasulullah itu adalah dalil witir.
Karena, yang ditanyakan Abu Salamah kepada Aisyah di situ adalah tentang salat malam Rasulullah. Jadi, jawaban Aisyah jelas tidak hanya tentang rakaat witir, tetapi keseluruhan salat Rasulullah, termasuk witir. Terhadap hadis Aisyah yang lain bahwa Rasulullah mengerjakan salat malam pada Ramadhan dan selainnya 13 rakaat, itu karena dengan menghitung salat sunah fajar 2 rakaat. Jadi, salat malamnya sendiri tetap 11 rakaat.
Bagaimana dengan hadis Ibnu Abbas tentang tarawih 20 rakaat? Penulis menyatakan, hadis itu sangat lemah, bahkan mungkar. Kelemahannya terletak pada Abu Syaibah Ibrahim bin Usman Al-Absi Al-Kufi. Sejumlah ulama juga melemahkan hadis itu, seperti Az-Zaila’i dalam Nasb Ar-Rayah, As-Sayuti dalam Al-Hawi li Al-Fatawa, Al-Mubarakfuri dalam Tuhfat Al-Ahwazi, Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari, dan lainnya.
Tarawih 20 rakaat juga bukan ijma’ ulama. Adanya 10 ragam rakaat tarawih di atas jelas membuktikan ketiadaan konsensus itu. Apalagi, atsar yang menyatakan bahwa tarawih di zaman Umar bin Khattab yang katanya dikerjakan 20 rakaat itu juga tidak disepakati keshahihannya. Bahkan, Imam Malik dalam Al-Muwatta’ dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Musannaf jelas meriwayatkan atsar bahwa Khalifah Umar memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari untuk mengimami qiyam Ramadan 11 rakaat, termasuk witir, bukan 20 rakaat.
Benar dalam Shahih Bukhari diriwayatkan, Umar bin Khattab mengatakan tentang tarawih, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini, dan tarawih yang dikerjakan saat mereka sedang tidur itu lebih utama”. Namun, penulis meluruskan, yang dimaksud oleh Umar bin Khattab sebagai sebaik-baik bid’ah dalam riwayat itu bukan tarawih 20 rakaat, melainkan usahanya mengumpulkan jamaah tarawih di bawah satu imam. Maksud bid’ah di situ juga bukan dalam arti syar’i, melainkan dalam makna leksikal, yakni pembaruan kebijakan.
Akhirnya, kehadiran buku ini layak disambut. Terdiri dari enam bab, namun Bab I, Bab II, dan Bab III adalah pokok bahasan. Tiga bab selanjutnya hanya tambahan, seperti Bab IV yang berisi terjemahan tulisan As-Sayuti dan Bab V terjemahan tulisan Al-Mubarakfuri. Bagi yang tidak punya banyak waktu longgar atau tidak suka pembahasan panjang, silakan langsung membaca ringkasan umum agar segera menemukan kesimpulan dari seluruh pembahasan buku ini. Selamat membaca.