Fikih

Memasak Tugas Siapa: Istri, Suami, atau Koki?

5 Mins read

Seperti biasa, tiap Selasa jam 23.15 terdengar suara seseorang sedang menggoreng dari kompleks rumah yang beradu dapur. Itulah Shanti, istri seorang koki restaurant hotel berbintang di daerah Sudirman-Thamrin. Ia akan memasak kala suaminya tiba di rumah. Saya pernah bertanya, apakah suaminya pernah memasak di rumah. Shanti menjawab ‘nggak pernah bu, masak kodrat istri kan’.

Kisah Shanti bisa jadi mewakili para perempuan di kompleks saya, atau bahkan jutaan perempuan seluruh dunia, bahwa memasak dianggap ‘kodrat’ istri/perempuan. Kodrat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sesuatu yang tidak bisa ditentang manusia, karena pemberian Tuhan.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menjelaskan kodrat, dibawa manusia sejak lahir, tidak bisa diubah, dan melekat pada jiwa seseorang. Misalnya warna kulit, bentuk mata, jenis kelamin, serta warna atau bentuk rambut. Selain itu, kewarganegaran juga dianggap kodrat. Karena seseorang tidak bisa memilih atau memesan pada Tuhan dilahirkan sebagai warga Asia, Arab, Afrika, Austarlia, atau Amerika.

Galibnya, memasak, mengasuh anak, melayani seluruh anggota keluarga, termasuk melayani kebutuhan biologis suami dianggap kodrat perempuan/istri. Berambut panjang, tegas, penyayang, lembut, baik hati, emosional, dan sifat-sifat lainnya juga dikategorikan kodrat. Sehingga kodrat bukan hanya mengalami perluasan makna tetapi juga kesalahan signifikan.

Perempuan Memasak di Rumah vs Laki-laki Memasak di Restaurant/Hotel Mewah

Menghabiskan waktu lebih kurang tiga jam di dapur untuk menyajikan tiga atau empat menu hidangan, seorang istri/ibu akan menerima upah nol rupiah. Bandingkan bila di restaurant atau hotel berbintang, seorang koki laki-laki bisa mendapatkan upah sekurang-kurangnya dua juta atau lebih untuk waktu yang sama.

Mengapa ada jurang upah yang besar, bila makanan yang dimasak sama dan waktu yang dihabiskan juga sama? Mengapa ada penghargaan yang berbeda antara perempuan di dapur rumah tangga dengan laki-laki di dapur restaurant?

Sekalipun perempuan diberi peran memasak di dapur, Ironinya, industri restoran atau perhotelan relatif tertutup bagi koki perempuan. Madame Brassart berkata ‘There is one other class but you will not like it. It’s for professional which you will never be, I’m sure. All men,’ pada Julia Child (pakar kuliner legendaris Amerika Serikat), dalam sebuah film adaptasi kisah nyata tentang seorang koki berjudul ‘Julie & Julia’ (2009).

Baca Juga  Apakah Perceraian di Luar Pengadilan Sah Secara Hukum?

Apa yang diungkapkan Brassart bahwa koki dapur hanya laki-laki adalah stereotype koki hanya domain laki-laki dan sangat menguntungkan laki-laki. Ia akan mendapatkan akses, pelatihan, dan  keuntungan finansial (David Knoke dan Yoshito Ishio, The Gender Gap in Company Job Training, 1998). Di sisi lain, situasi ini sangat merugikan perempuan.

Harus diakui, koki perempuan mengalami tantangan yang jauh lebih berat daripada koki laki-laki. Terkonfirmasi pula melalui ‘A Fine Line’, film dokumentar penyabet banyak penghargaan tahun 2018, mengisahkan kehidupan koki perempuan yang rentan menghadapi diskriminasi, mengagungkan maskulinitas, dan pelecehan seksual/kekerasan seksual.

Minimnya penghargaan dan dukungan pada koki perempuan juga nampak dalam liputan Time Magazine’s (Nomor 18, 2013), ketika membahas ‘The Gods of Foods’ hanya menampilkan tiga koki laki-laki dalam sampul depannya dan tidak satupun melibatkan koki perempuan dalam liputannya.

Time Magazine’s berkontribusi menghapuskan sejarah koki perempuan di dunia. Padahal, di belahan dunia lainnya, kisah perempuan yang menjadi koki dan menemukan ragam obat-obatan melalui makanan sudah ada. Mereka adalah para perempuan koki istana, yang mengabdi pada Dinasti Joseon di Korea tahun 1392-1897.

Meruntuhkan Stereotype

Jumlah koki perempuan di sebuah negara, rata-rata dua hingga tujuh persen saja. Tak mengherankan, hasil sejumlah penelitian yang mengurai tentang koki menarasikan, pertama, ada anggapan perempuan lebih sensitive secara emosional sehingga tidak mampu menghadapi tekanan tinggi di dapur, apalagi bila tamu (restaurant) sedang ramai atau pesanan beragam.

Kedua, asumsi jam kerja yang panjang, minimal 10 jam sehari. Ketiga, di dapur harus memiliki tenaga kuat, harus bisa mengangkat panci berisi air penuh, angkat gas, atau wajan besar. Keempat, di dapur harus disiplin, penuh loyalitas, tepat waktu, berdedikasi, bahkan terkadang berbudaya militer.

Di sisi lain, koki perempuan diimajinasikan selain harus mampu memenuhi empat kreteria di atas, yang tidak hanya pandai memasak, ahli di dapur, tetapi juga harus cantik, bertubuh seksi, dan menarik.

Baca Juga  Pertama dalam Sejarah, PBNU Libatkan Perempuan dalam Struktur Kepengurusan

Tenaga kuat, siap bekerja di bawah tekanan, pintar memasak, cantik, seksi, ataupun stereotype lainnya adalah bias gender yang berpunggungan, dilekatkan pada koki perempuan. Kondisi ini mencerminkan beban ganda yang harus dipikul koki perempuan. Koki laki-laki tidak dituntut ganteng atau bertubuh atletis/sixpack. Itu yang disebutkan Mansour Fakih dalam ‘Analisa Gender dan Transformasi Sosial’ sebagai diskriminasi.

Salah satu bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan dan menyebabkan terhalanginya perempuan mendapatkan pekerjaan ataupun upah yang sama untuk tanggung jawab dan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, sebagai koki.

Ganteng, cantik, cerdas, rajin, teliti, kuat, tahan banting, lemah lembut, didefinikan Kamla Bhasin dalam ‘Understanding Gender’, sebagai gender atau peran sosial. Sejatinya semua hal itu bisa dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan, tergantung kebiasaan dan latihan. Seorang atlit perempuan angkat besi, jauh lebih kuat daripada koki laki-laki yang mengangkat panci berisi air.

Perintah Islam: Memasak Itu Bisa Laki-laki dan Perempuan

Islam memperlakukan perempuan dan laki-laki setara. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَهٌنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْف

Dan hak mereka semisal kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah[2]: 228)

Adapun bias gender, diskriminasi, dan stereotype hadir dalam alam bawah sadar manusia. Terus-menerus dilestarikan melalui budaya dan adat setempat, bahkan mendapatkan legitimasi melalui agama.

Itu sebabnya, mari kembali pada ajaran agama yang sesungguhnya, tentang tanggung jawab rumah tangga yang dipikul bersama, suami-istri. Karena, situasi bias gender ini sangat merugikan perempuan dan juga laki-laki. Bayangkan bila koki (laki-lakipun) harus dituntut angkat tabung gas besar atau panci besar kedua tangan, maka tenaga akan sia-sia terbuang. Bisa menggunakan troli, bukan?.

Demikian pula memasak di dapur. Karena tidak pernah dihitung dengan nilai uang, maka pekerjaan memasak di dapur dianggap tidak bernilai, tidak berharga. Padahal, memesan makanan di luar rumah saja harga yang dibayar bisa mahal tiga kali lipat daripada memasak di rumah sendiri.

Dalam sebuah hadist, ‘Aisyah radhiallahu‘anha menceritakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu‘alaihi wa sallam mengerjakan pekerjaan rumah. Termasuk, membantu mengangkat ember dan menjahit bajunya sendiri.

Baca Juga  Apakah Haram Orang Muslim Masuk Gereja?

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

Urwah berkata kepada Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ia bersamamu (di rumahmu)?”, Aisyah berkata, “Ia melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember (HR Ibnu Hibban).

Hadis di atas mengajarkan pada kita, bahwa pekerjaan domestik/rumah tangga, harus dilakukan bersama suami-istri. Nabi saw ikut melakukan kerja-kerja domestik dan membantu istrinya di dapur seperti mengangkat ember atau menumbuk gandum untuk dimasak.

Bila Nabi saw sudah mengajarkan, maka dalam situasi korona (covid 19), work from home saat ini, dan belum jelas kapan berakhirnya. Tentu pekerjaan memasak akan lebih banyak dilakukan daripada bukan situasi korona.

Berdiam di rumah, menimbulkan rasa lapar dan keinginan untuk mengunyah makanan terus-menerus. Bila laki-laki/suami tidak membantu istri memasak, maka beban gender perempuan/istri berlipat-lipat. Perempuan/istri mengalami kelelahan amat sangat, juga tingkat stress yang meningkat. Padahal menjaga stamina tubuh dan menekan stress menjadi nihil adalah cara agar imun tubuh bisa baik sebagai salah satu cara menangkal korona.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

‘Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istrimu (HR At-Tirmidzi As-Shahihah No. 284).

Sebagaimana pesan Nabi Muhammad saw agar berbuat baik pada istri. Kiranya, kita harus mulai merubah diskriminasi gender yang merugikan perempuan. Anekdot bahwa ibu bekerja sejak matahari terbit hingga mata bapak terbenam harus mulai sirna mulai saat ini.

Jika tidak, korona hanya memberikan sejarah kelam. Padahal, bila menggunakan kacamata gender, korona akan memberikan hikmah perubahan sikap dan cara pandang yang menghormati perempuan. Bila kita mau mengubah sikap. Semoga.

Editor: Yahya FR
Avatar
12 posts

About author
Ketua Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan ITB Ahmad Dahlan Jakarta I Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) I Anggota LHKP PP Muhammadiyah I Penulis Buku Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *