Perspektif

Menolak Stigma Negatif Kepada Nakes

4 Mins read

Betapa saya terkejut mendengar celotehan teman saya, yang juga berprofesi sebagai seorang perawat di salah satu Rumah Sakit di Surabaya. “Apa yang salah coba, kenapa perawat dan tenaga kesehatan lainnya dianggap paling bersalah sehingga harus mengalami penolakan dan pengasingan di rumah mereka sendiri?”, begitulah celotehannya saat bercengkrama dengan saya tempo lalu.

Mendengar coletehan tersebut, lalu saya membaca kabar berita di beberapa media online, tentang adanya penolakan masyarakat kepada perawat dan tenaga kesehatan lainnya, saat mereka pulang ke rumah. Peristiwa ini dikabarkan telah terjadi di beberapa daerah, bahkan dari pengakuan salah seorang perawat, dia kerap kali mendapat stigma negatif dan sindiran dari masyarakat setempat dimana mereka tinggal.

Menyikapi peristiwa tersebut yang belakangan ini terjadi, kalau boleh jujur sebetulnya tenaga kesehatan yang paling rentan mengalami perlakuan diskriminasi adalah perawat. Saya katakan demikian, karena peran perawat sering kali tidak nampak pada publik. Padahal, mereka tengah berjibaku berkorban 24 jam merawat pasien di Rumah Sakit, yang tentu paling beresiko terinfeksi covid-19.

Contoh lain misalkan media Tempo merilis hasil survey Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia pada tanggal (11/04/2020). Dikatakan bahwa 140 perawat pernah dipermalukan oleh orang lain karena bekerja sebagai perawat yang menangani pasien covid-19. Dan 135 perawat pernah diminta meninggalkan tempat tinggalnya, data tersebut menunjukkan betapa perawat sangat rentan mendapatkan perlakuan diskriminasi dari masyarakat, duh gusti betapa ironis bukan.

Begitu juga nasib paling naas, terjadinya penolakan jenazah seorang perawat, yang hendak dikebumikan di Yogyakarta. Tempo hari, begitu ramai diperbincangkan di media sosial, sebagian warganet merasa prihatin dan menyesalkan peristiwa tersebut.

Sebagian yang lain juga, mendukung adanya upaya penolakan tersebut, lantaran takut tertulari oleh virus dari jenazah yang hendak disemayamkan, sehingga pemakaman jenazah sempat tertunda dan pada akhirnya dikebumikan di tempat lain.

Baca Juga  Pemaksaan Vaksinasi, Wajib Dilakukan!
***

Rasanya kok tidak adil, perawat yang berkorban di garda paling depan. Namun paling rentan mengalami stigma dan diskriminasi, saya kira media juga harus fair dalam menyajikan berita berdasarkan bukti. Sehingga, paling tidak dapat meredam berita yang justru merugikan perawat. Stigma dan diskriminsi harus segera diakhiri, agar tidak menimbulkan persoalan lebih rumit di kemudian hari.

Menurut saya, ada beberapa sebab yang cukup kuat mengapa stigma negatif dan diskriminasi terjadi di tengah masyarakat. Beberapa di antaranya; kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang cara penularan covid-19, bagaimana media membentuk dan melaporkan epidemic/wabah, karakteristik penyakit yang mudah menular, serta adanya prasangka dan rasa takut yang berlebihan.

Saya akui memang pemberitaan di media sosial, televisi, maupun grup WhatsApp, dan lain-lain. Apalagi di tengah maraknya berita hoax yang beredar saat ini, kerap menimbulkan perasaan panic, khawatir, dan paranoid atau ketakutan masyarakat awam yang berlebihan terhadap penularan covid-19. Hal ini kemudian menimbulkan respon dari masyarakat, di mana respon yang terjadi adalah berupa stigma negatif dan diskriminasi kepada tenaga kesehatan.          

Sejak mewabahnya virus corona di tanah air, banyak diberitakan oleh media mengenai terbatasnya ketersediaan alat pelindung diri/ APD di beberapa rumah sakit. Juga sempat diberitakan tenaga kesehatan yang sedang menggunakan APD seadanya.

Namun pada saat yang sama, pemberitaan demikian telah merubah persepsi dan pemahaman masyarakat tentang penanganan pasien covid. Sehingga, timbul anggapan bahwa tenaga kesehatan yang merawat pasien di rumah sakit harus dijauhi. Karena mereka khawatir tenaga kesehatan membawa virus saat pulang ke rumah mereka.

***

Kejadian ini sayangat disayangkan, padahal tidak semua pasien yang dirawat adalah pasien covid. kita semua harus percaya bahwa setiap rumah sakit mempunyai ruangan khusus yang digunakan untuk menangani dan merawat pasien covid. Di Indonesia, hanya sejumlah rumah sakit tertentu saja yang ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan pasien covid. Demikian juga di Surabaya hanya beberapa rumah sakit tertentu saja yang digunakan dalam penanganan pasien covid.

Baca Juga  Sudut Pandang Ahli Tahqiq Terhadap Nabi dan Rasul

Saya menduga terkait pemberitaan di media social, tenaga kesehatan yang hanya menggunakan APD apaadanya tersebut, karena keterbatasan alat, adalah tenaga kesehatan yang bukan sedang merawat pasien covid, dan saya meyakini bahwa semua tenaga kesehatan pasti akan melaksanakan SOP dengan baik, lebih-lebih ketika mereka sedang merawat pasien covid.

Seharusnya stigma negative dan diskriminasi tidak sampai terjadi, bilamana masyarakat mengerti, walaupun tenaga kesehatan sedang merawat pasien covid, namun tidak serta merta mereka kontak secara langsung, tanpa menggunakan APD yang lengkap, sehingga kecil kemungkinan terpapar oleh virus tersebut, oleh karena itu masyarakat tidak perlu khawatir mengenai masalah ini, mari kita bantu pemerintah agar tidak timbul masalah lain akibat wabah virus ini. Media harus membantu menyebar luaskan berita baik semacam ini, untuk kembali meyakinkan seluruh masyarakat.

Demikian juga pemerintah harus betul-betul memperhatikan dampak psikologis yang terjadi di tengah masyarakat, sebagai dampak dari mewabahnya virus corona, disamping itu, jika perlu pemerintah harus turun ke tingkat RT, untuk menjelaskan dan memastikan, sehingga tidak timbul kembali peristiwa penolakan dan pengasingan kepada tenaga kesehatan seperti belakangan ini terjadi.

Pada saat seperti ini masyarakat harus diberikan informasi yang tepat, mengenai bagaimana penanganan pasien covid, serta jelaskan kepada mereka, bahwa tenaga kesehatan ketika pulang ke rumah, mereka sudah dalam keadaan bersih, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir, walaupun tinggal dalam satu kompleks perumahan dengan tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit.

***

Pada kesempatan ini, saya ingin berpesan dan mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan ini, sehingga tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit, bisa dengan tenang bekerja menunaikan tugas dengan baik, tanpa ada masalah yang mengganggu psikolgis mereka, serta tidak timbul perasaan khawatir mengenai peristiwa penolakan dan pengasingan oleh masyarakat saat mereka kembali ke rumah.

Baca Juga  Sudahkah Perempuan Berkemajuan?

Saya juga ingin katakan bahwa masalah stigma negative dan diskriminasi bukanlah persoalan sepeleh, sudah cukup banyak contoh misalkan pada pasien TB dan HIV, mereka sering mengalami masalah ini, dan mengakibatkan kondisi kesehatan mereka semakin menurun, demikian juga pada masalah covid sekarang ini, tenaga kesehatan yang berada di garis terdepan sangat beresiko tinggi terinfeksi virus tersebut, bila kondisi psikologis mereka terganggu maka system kekebalan tubuh merkea pun juga akan menurun, sehingga mejadi mudah terinfeksi covid-19.

Di samping itu, bila stigma negatif terus terjadi pada mereka, akan semakin mempersulit dalam upaya mendeteksi orang yang terinfeksi covid-19. Karena mereka akan merasa takut dan khawatir. Jika mereka memeriksakan kondisi penyakit yang dialami, akan mendapat perlakukan diskriminasi. Semacam dikucilkan dan diasingkan oleh orang lain. Sehingga upaya untuk memutus rantai penularan juga akan sangat sulit dan pasti akan semakin banyak lagi jumlah korban yang terinfeksi.

Maka saya mengajak kepada seluruh masyarakat untuk memberi dukungan moral kepada tenaga kesehatan, dengan cara tidak menstigma dan mendiskriminasi mereka. Sehingga upaya perang melawan covid-19 dapat berhasil.

Mari kita lindungi tenaga kesehatan, agar mereka dapat menjalankan tugas mulia ini, berjuang di garda terdepan, serta menghargai mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ikhlas menolong sesama untuk memenuhi bakti kepada negeri dan mengharap ridho Allah SWT semata. Semoga wabah covid-19 segera berlalu.

Editor: Yahya FR
Avatar
1 posts

About author
Nurse
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *