Liputan tempo.co (12 November 2012) tentang sosok Jenderal Soedirman sembilan tahun silam memang sangat menohok. “Soedirman, Sang Jenderal Klenik,” demikian salah satu judul tulisan yang membuat saya mengernyitkan dahi. Ada juga tulisan, “Cerita Kesaktian Soedirman,” dan “Soedirman dan Keris Penolak Mortir,” yang semakin membuat saya penasaran. Dari sekian tulisan tentang Soedirman atau Pak Dirman yang secara khusus diulas dalam tempo.co seakan-akan (penulis ataupun reporter) media online ini hendak menyajikan narasi baru tentang sang Bapak Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini.
Berarti, penulis atau reporter media online ini adalah seorang revisionis—memperbarui narasi historis lama dengan perspektif baru berdasarkan temuan sumber atau data sejarah baru. Benarkan demikian?
***
Sejarah memang memiliki banyak perspektif, tergantung bagaimana cara menginterpretasikan data historis dan kepentingan apa di balik proses penyusunan narasinya. Ditambah lagi saat ini era jurnalistik online yang membutuhkan trik agar tulisan menarik perhatian netizen (jurnalisme klikbait?). Maka segalanya menjadi semakin kompleks dan rumit. Satu Masalah tidak cukup dijawab dengan satu jawaban, karena banyak variable yang saling terkait. Seperti klaim jurnalistik, “Soedirman, Sang Jenderal Klenik,” jelas tidak cukup dibantah dengan satu jawaban saja.
Di sini, saya ingin mencoba menjawab klaim-klaim miring dari para penulis atau reporter tempo.co yang tampaknya sengaja menyajikan ‘narasi aneh’ tentang sosok Pak Dirman yang berlatar belakang Muhammadiyah itu. Dimulai dengan cara melacak bagaimana proses penafsiran data-data historis, verifikasi sumber-sumber yang kurang kredibel, problem sejarah lisan (oral history), dan menghubungkan antara beberapa variable yang terkait dengan klaim-klaim miring tersebut.
Tafsir Historis dan Problem Sejarah Lisan
Ambisi tempo.co menghadirkan narasi baru tentang Jenderal Soedirman tampak ketika publikasi beberapa hasil liputan tidak merujuk pada hasil penelitian yang mutakhir. Hasil penelusuran online diketahui publikasi tempo.co tertanggal 12 November 2012. Sedangkan hasil kajian ilmiah terbaru tentang tokoh yang dimaksud justru tidak menjadi rujukan, yaitu karya (disertasi) Sardiman A.M., Panglima Besar Jenderal Soedirman Kader Muhammadiyah yang terbit tahun 2000.
Justru, penulis atau reporter media ini lebih banyak menggunakan sumber-sumber sekunder dari hasil penelusuran biografi tokoh-tokoh lain (dokumentasi), seperti catatan Moh. Roem, Tjokropranolo, dan lain-lain. Ada juga penggunaan sumber primer dalam bentuk data lisan (oral history), seperti hasil wawancara dengan Mohamad Teguh, anak bungsu Pak Dirman. Tetapi saya menggarisbawahi, sumber ini perlu verifikasi lebih ketat.
Dengan menggunakan sumber-sumber yang disisir dari catatan dan biografi tokoh lain, tampaknya proses penyusunan narasi historis lebih menggunakan peristiwa-peristiwa partikular yang unik atau disebut fragmen sejarah. Sah-sah saja metode penulisan sejarah semacam ini. Perlu dicatat, narasi sejarah harus singkron dengan data sejarah. Proses penyusunan narasi menggunakan metode interpretasi yang tepat.
***
Masalahnya yang paling sering dijumpai dalam proses penulisan sejarah adalah ketika penyusun atau penulis tidak memiliki wawasan atau informasi yang memadai tentang objek yang sedang ditulis sehingga terjadi kekeliruan dalam menafsirkan data sejarah. Seperti tokoh Pak Dirman yang membawa senjata keris, apakah dapat dijadikan sebagai indikator bahwa beliau seorang penganut klenik? Tentu ini sebuah reduksi data sejarah yang kelewat sederhana dan dangkal.
Saat ini telah terjadi perkembangan metode penulisan sejarah, sehingga disiplin ilmu sejarah tidak cukup berdiri sendiri, melainkan butuh disiplin ilmu lain untuk melengkapinya (interdisiplin). Dalam konteks ini, perlu diingat bahwa peristiwa-peristiwa kecil dalam bentuk fragmen tidak dapat direduksi secara general, apalagi sampai menghasilkan klaim teoritis, “Sang Jenderal Klenik.” Ini jelas sebuah kecerobohan.
Sejarah lisan memang menjadi pilihan akhir ketika sumber-sumber tertulis tidak ditemukan. Seperti hasil wawancara dengan Mohamad Teguh, anak bungsu Pak Dirman. Catatan saya, penggunaan sumber ini mesti diverifikasi secara ketat mengingat sang sumber informasi mendapatkan data dalam bentuk cerita dari sang ibunya, jadi tidak mendengar dan melihat langsung apa yang dikatakan oleh sang ayah. Mohamad Teguh sendiri masih bayi, kira-kira berumur 2 bulan ketika Pak Dirman wafat. Nah, proses transmisi informasi tentang karakter dan perilaku sang ayah diperoleh Teguh lewat sang ibu. Di sini ada problem besar ketika bahasa dipakai untuk menjelaskan karakter, apalagi kondisi keyakinan seseorang.
Kepribadian Soedirman
Satu hal yang membuat saya heran, para reporter dan penulis tempo.co sama-sama menggunakan sumber informan Mohamad Teguh seperti halnya penelitian Sardiman yang juga menggunakan sumber informan anak bungsu Pak Dirman ini. Tetapi dalam penelitian Sardiman tidak dijumpai narasi-narasi miring seperti yang dipublis oleh tempo.co. Memang Pak Dirman adalah sosok yang dilahirkan dari keluarga miskin yang kemudian diangkat sebagai anak asuh oleh R. Cokrosunaryo, seorang priyayi yang dekat dengan para aktivis organisasi Boedi Oetomo (Sardiman, 2000: 9-16).
Karakter dan perilaku Soedirman kecil memang telah dibina dengan nilai-nilai keislaman dan budaya Jawa, terutama berkaitan dengan filosofi hidup. Ia mengaji dan belajar agama kepada KH Qahar (Cilacap), Pak Saidun, R. Moh. Kolil Marto Saputro, sehingga mengenal agama Islam dengan baik. Sosoknya dikenal baik sebagai pribadi yang penuh sopan santun (unggah ungguh) dan taat beribadah.
Sampai kemudian Pak Dirman belajar secara formal di Hollandsch Inlandsch School (HIS) dan MULO Wiworotomo. Nah, selama di MULO Wiworotomo inilah, dalam penelitian Sardiman, sosok Soedirman muda mulai mengenal kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah yang saat itu memang sudah sangat populer mengimbangi gerakan kepanduan milik pemerintah kolonial.
Dengan merujuk pada informan Moh. Samingan, adik kandung Soedirman, penelitian Sardiman berhasil menjelaskan bagaimana watak/karakter dan perilaku sang tokoh semasa muda hingga dewasa. Ia dikenal sebagai pribadi yang percaya diri, santun, jujur, dan saleh. Soedirman rajin berpuasa sunnah, menunaikan shalat malam, dan ia memang jarang tidur sebelum jam 12 malam. Kesederhanaan Soedirman dengan kebiasaan tidur di lantai beralaskan tikar, tidak di atas tempat tidur pada umumnya. Lelaku prihatin telah dijalani sejak muda sehingga membentuk watak atau kepribadiannya.
Jenderal Soedirman Kader Muhammadiyah
Selain aktif dan menjadi pengurus Kepanduan Hizbul Wathan Muhammadiyah, Soedirman juga aktif di organisasi otonom Pemuda Muhammadiyah. Sardiman menyuguhkan narasi dialog antara Soedirman dengan Hardjomartono, kawan aktivis Muhammadiyah di Cilacap, tentang pilihan hidup jihad. “Kamu harus berjuang melawan setiap bentuk kebatilan dan berjuang memajukan Islam,” jawab Soedirman.
Selain aktif sebagai Pandu Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah, Soedirman juga seorang guru kemuhammadiyahan dan muballigh Muhammadiyah. Inilah variable kunci bagi penulis untuk membantah reduksi data historis secara miring tentang sosok Soedirman yang ditulis oleh para penulis dan reporter tempo.co. Seorang guru kemuhammadiyahan jelas mengajarkan akidah Islamiyah yang murni (tauhid), tidak menaruh kepercayaan kepada sesuatu selain Allah SWT, apalagi hanya sebilah keris atau cincin batu akik. Hasil penelitian Sardiman (h. 95) berhasil mengungkap materi tabligh yang sering disampaikan Soedirman dengan pokok ajaran kemurnian akidah Islamiyah, yaitu tauhid.
Jika kemudian terdapat tafsir historis berbau klenik bahwa Pak Dirman memiliki pusaka, jimat, atau memiliki kesaktian (daya linuwih), maka yang demikian adalah problem mendasar dari sumber sejarah lisan (oral history). Seandainya proses melacak keotentikan pesan dalam fragmen-fragmen riwayat hidup Soedirman menggunakan metode seperti dalam ‘ulumul hadits, baik hadits riwayah maupun hadits dirayah, tentu problem oral history bakal terkuak secara lebih jernih.
***
Sayangnya, metode oral history memang terlalu longgar mengingat objek dan subjek yang diteliti bukan termasuk bagian dari sesuatu yang sakral seperti ajaran agama. Sosok Soedirman sendiri juga bukan manusia suci, sehingga fragmen-fragmen historis tentang riwayat hidupnya sekalipun hanya menggunakan sumber informan yang tidak valid pun masih bisa dipakai.
Termasuk klaim Pak Dirman sebagai “Penganut Aliran Kejawen Sumarah” sebenarnya harus dibuktikan dengan sumber selain sejarah lisan. Sebab, dalam penelitian Sardiman memang disebutkan bahwa selama menetap di Yogyakarta setelah Soedirman terpilih sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (sekarang Tentara Nasional Indonesia), sebagai kader Muhammadiyah, ia memang selalu aktif shalat di masjid agung Yogyakarta dan mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. Seperti jama’ah pengajian Fathul Asrar wa Miftahussa’adah (FAMS), Sumarah Ngalah, Taqwimuddin, dan lain-lain. Perkumpulan pengajian rutin tersebut merupakan hasil rintisan sang pendiri Muhammadiyah, yakni KH Ahmad Dahlan.
Kembali pada tesis di awal tulisan ini. Apakah para reporter atau penulis tempo.co ketika mengulas karakter dan perilaku Pak Dirman, terutama berkaitan dengan keyakinan yang berafiliasi dengan aliran Kejawen, dapat memenuhi kriteria sebagai para revisionis? Saya hanya ingin menjawab singkat di sini bahwa kriteria revisionisme sejarah masih terlalu jauh. []