Feature

Soekarno Muda: Gelorakan Spirit Berpikir dalam Islam

7 Mins read

Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi baru-baru ini mendeklarasikan Jaringan Kota/Kabupaten Tapak Sejarah Bung Karno atau Jaket Bung Karno. Deklarasi itu bersama 22 Kabupaten/Kota yang merupakan napak tilas sejarah hidup Soekarno sejak lahir di Surabaya pada tahun 1901 sampai meninggal dunia di Jakarta tahun 1970.

Kabupaten/kota yang terkait dengan tapak sejarah Bapak Bangsa, Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia itu, di antaranya, Kabupaten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, dan Kota Padang, Sumatera Barat.

***

Dalam buku Bung Karno dan Kehidupan Berpikir Dalam Islam karya Solichin Salam (1964) diceritakan, dengan dibuangnya Soekarno oleh pemerintah kolonial Belanda ke Ende merupakan permulaan zaman baru dalam sejarah hidupnya. Sejak berada dalam pembuangan inilah, semakin kuat hasrat dan keinginan Soekarno untuk mempelajari agama Islam dengan jalan membaca buku-buku tentang Islam baik yang ditulis oleh orientalisten Barat maupun sarjana-sarjana Islam sendiri dalam berbagai bahasa. 

Selama di Ende, Soekarno rajin membaca buku-buku Islam dan korespondensi dengan Ustad A. Hassan atau termasyhur dengan nama Tuan A. Hassan Bandung, seorang ulama modernis dan tokoh organisasi Persatuan Islam (Persis). Surat menyurat antara keduanya berlangsung sejak 1 Desember 1934 hingga 17 Oktober 1936.

Menurut catatan Solichin Salam, di dalam surat-surat Soekarno tertuang isi hati dan jiwanya tentang agama Islam dan umat Islam di Indonesia yang pada waktu itu diliputi kebekuan dan kekolotan. Surat-surat tersebut; pertama tertanggal 1 Desember 1934, kedua 25 Januari 1935, ketiga 26 Maret 1935, keempat 17 Juli 1935, kelima 15 September 1935, keenam 25 Oktober 1935, ketujuh 14 Desember 1935, kedelapan 22 Februari 1936, kesembilan 22 April 1936, kesepuluh 12 Juni 1936, kesebelas 18 Agustus 1936, dan kedua belas tertanggal 17 Oktober 1936.

***

Surat-surat di atas dihimpun dan diterbitkan oleh A. Hassan dengan judul, “Surat-Surat Islam Dari Ende” (Persatuan Islam – Bandung: 1936). Adapun Di Bawah Bendera Revolusi hanya menghimpun surat-surat Soekarno yang ditujukan kepada A. Hassan.

Salah satu surat Soekarno No 1 tertanggal Ende, 1 Desember 1984 kepada Ustad  A. Hassan Bandung, berbunyi sebagai berikut:

Assalamu’alaikum,

Jikalau saudara-saudara memperkenankan, saya minta saudara mengasih hadiah kepada saya buku-buku yang tersebut di bawah ini:

1 Pengajaran Shalat, 1 Utusan Wahabi, 1 Al-Muchtar, 1 Debat Talqien,  1 Al-Burhan compleet, 1 Al-Jawahir.

Kemudian daripada itu,  jika saudara-saudara ada sedia, saya minta sebuah risalah yang membicarakan soal “sayyid”. Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal-soal yang beribu-ribu kali lebih besar dan lebih sulit daripada soal “sayyid” itu, maka tokoh menurut keyakinan saya, salah satu kecelakaan Islam zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasan-alasan kaum “sayyid”, misalnya mereka punya brosur “Bukti Kebenaran”, saya sudah baca, tetapi tak bisa meyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal suatu “aristokrasi Islam”.  Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu, adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya sesuatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu, melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan!

Sebelum dan sesudahnya terima itu buku-buku, yang saya tunggu-tunggu benar, saya mengucapkan beribu-ribu terima kasih. Wassalam, Soekarno.

***

Dalam surat yang lain, Soekarno menulis:

Baca Juga  Millenial di Pusaran Islamofobia

“Di Endeh sendiri tak ada seorang pun yang bisa saya tanyai, karena semuanya memang kurang pengetahuan (seperti biasa), dan ….. kolot bin kolot. Semuanya hanya mentaqlied saja zonder tahu sendiri apa-apa yang pokok; ada satu dua yang berpengetahuan sedikit, di Endeh ada seorang sayyid yang sedikit terpelajar, tetapi tak dapat memuaskan saya, karena pengetahuannya tak keluar sedikit pun dari kitab fiqih, dependent, unfree, taqlid. Quran dan Api Islam seakan-akan mati, karena kitab fiqih itulah yang mereka jadikan pedoman hidup, bukan kalam Ilahi sendiri. Ya, kalau difikirkan dalam-dalam, maka kitab fiqih kitab fiqih itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo Ruh dan Semangat Islam.”

Soekarno yang berpikir kritis menyoroti keadaan dunia Islam di masa itu, “Bila kita melihat jalannya history Islam, maka tampaklah disitu akibatnya taqlied itu sebagai satu garis ke bawah, garis decline, sampai sekarang. Bahwa dunia Islam adalah mati geniusnya, semenjak ada anggapan, bahwa mustahil ada mujtahid yang bisa melebihi imam yang empat, en dus harus mentaqlied saja kepada tiap-tiap kiyai atau ulama dari sesuatu mazhab yang empat itu.” ungkapnya.

Kegiatan missionaris dan dakwah Islam tak luput dari perhatian Soekarno selama pengasingan di Ende. Berikut petikan penuturannya kepada A. Hassan, “Tuan tahu, bahwa pulau Flores itu ada pulau missi yang mereka sangat banggakan….Saya sendiri melihat, bagaimana mereka bekerja mati-matian buat mengembangkan mereka punya agama di Flores…… Tapi kita, kenapa kita malas, kenapa kita teledor, kenapa kita tak mau kerja, kenapa kita tak mau giat? Kenapa misalnya di Flores tiada seorangpun mubaligh Islam dari sesuatu perhimpunan Islam yang ternama (misalnya Muhammadiyah) buat mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir? Misi di dalam beberapa tahun sahaja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores, tapi berapa banyak orang kafir yang bisa dihela oleh Islam di Flores itu?”

***

Soekarno dikirimi buku-buku dan majalah Islam oleh A. Hassan yang dikenal sebagai ulama pendidik yang sangat pemurah, penulis Tafsir Al-Qur’an dan penerbit majalah-majalah Islam ternama di masa itu.

Dalam suratnya kepada A. Hassan di Bandung, tertanggal Endeh, 26 Maret 1935, Soekarno mengutarakan,

“Assalamu’alaikum wr.wb. Tuan punya kiriman pos paket telah tiba di tangan saya, seminggu yang lalu. Karena terpaksa menunggu kapal, baru ini harilah saya bisa menyampaikan kepada Tuan terima kasih kami laki-isteri serta anak. Biji jambu mede menjadi “ganyeman” seisi rumah; di Endeh ada juga jambu mede, tapi varieteit “liar”, rasanya tak nyaman. Maklum, belum ada orang yang menanam varieteit yang baik. Oleh karena itu , maka jambu mede itu menjadikan pesta. Saya punya mulut sendiri tak berhenti-henti mengunyah! Buku yang tuan kiriman itu segera saya baca. Terutama “Soal-Jawab” adalah suatu kumpulan jawahir-jawahir. Banyak yang semula kurang terang, kini lebih terang. Alhamdullilah!  Saya belum ada Bukhari dan Muslim yang bisa dibaca. Betulkah belum ada Bukhari Inggris? Saya pentingkan sekali mempelajari hadis, oleh karena saya tuliskan sedikit di dalam salah satu surat saya yang terdahulu, dunia Islam menjadi mundur oleh karena banyak orang “jalankan” hadis yang dhaif dan yang palsu. Karena hadis-hadis yang demikian itulah, maka agama Islam menjadi diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketahayulan, bid’ah, anti rasionalisme, dll. Padahal tak ada agama yang lebih rasional dan simplistic daripada Islam. Saya ada sangkakan keras bahwa rantai taqlied yang merantai ruh dan semangat Islam dan yang merantaikan pintu-pintu bab el-Ijthihad, antara lain, ialah hasilnya hadis-hadis yang dhaif dan palsu itu. Kekolotan dan kekonservativan-pun dari situ datangnya. Karena itu adalah saya punya keyakinan yang dalam, bahwa kita tak boleh menghasilkan harga yang mutlak kepada hadis. Walaupun menurut penyelia dikatakan Shahieh. Human reports (berita yang datang dari manusia) tak absolute, absolute hanyalah kalam Ilahi. Benar atau tidaknya pendapat saya ini? Di dalam daftar buku, saya baca Tuan ada sedia “Jawahirul-Bukhari”. Kalau Tuan tiada keberatan, saya minta buku itu, niscaya di situ banyak pengetahuan pula yang saya bisa ambil.  Dan kalau Tuan tidak keberatan pula, saya minta “keterangan hadis mi’raj”. Sebab, saya mau bandingkan dengan saya punya pendapat sendiri, dan dengan pendapat Essad Bey, yang di dalam salah satu bukunya ada mengasih gambaran tentang kejadian ini. Menurut keyakinan saya, tak cukuplah orang menafsirkan mi’raj itu dengan percaya saja, yakni dengan mengecualikan keterangan “akal”. Padahal keterangan yang rasional di sini ada. Siapa kenal sedikit ilmu psikologi dan parapsikologi, ia bisa mengasih keterangan yang rasionalitis itu. Kenapa suatu hal harus “dighaibkan” kalau akal bisa menerangkan? Saya ada keinginan pesan dari Eropa, kalau Allah mengabulkannya dan saya punya mbakyu suka membantu uang harganya, bukunya Ameer Alie “The Spirit Of Islam”. Baikkah buku ini atau tidak? Dan dimana uitgevernya ?  Tuan, kebaikan budi Tuan kepada saya, hanya sayalah yang merasai betul harganya, saya kembalikan lagi kepada Tuhan. Alhamdulillah, segala puji kepada-Nya. Dalam pada itu, kepada Tuan 1.000 kali terima kasih. Wassalam, Soekarno.”

***

Sebelum meninggalkan pulau Flores, Soekarno sempat menanam pohon kokara, yaitu sejenis pohon yang berdaun lima. Di kemudian hari pohon tersebut diberi nama “pohon Pancasila”. Selama pengasingan di Ende yang merupakan “penjara terbuka”, konon Soekarno merenungkan butir-butir mutiara kebangsaan yang menjadi pokok-pokok pikiran Pancasila. Sebagai kawasan bersejarah, di Ende kini terdapat monumen patung Soekarno dalam posisi duduk menghadap laut di bawah pohon sukun.

Baca Juga  Dalam Politik Kekuasaan: Muhammadiyah Belum Berserikat, Tapi Masih Bergerombol

Rumah pengasingan yang dahulu ditempati oleh Soekarno bersama istrinya Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami dan ibu Amsi (mertuanya) telah dijadikan situs sejarah. Adapun pohon sukun yang ada sekarang ditanam tahun 1981 setelah pohon sukun yang menjadi kenangan Soekarno di Ende tumbang tahun 1960. Soekarno menjalani hukuman pengasingan sebagai tahanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda di Ende mulai 1934 sampai 1938.

***

Selanjutnya pada 1938 Soekarno dibuang ke Bengkulu, Sumatera Selatan, yang di masa itu bernama Bengkulen. Selama dalam pembuangan di Bengkulu itu ia aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan menjadi Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Daerah Bengkulu.

Pada masa pendudukan Jepang, sebagaimana ditulis oleh Dr. Audrey Kahin dalam buku Perjuangan Kemerdekaan: Sumatera Barat Dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945 – 1950 (terjemahan Mestika Zed dkk, tanpa tahun), ketika Jepang sampai di Padang, Soekarno telah dipindahkan oleh Belanda ke Padang dari Bengkulu, dimana dia sebelumnya telah ditawan Belanda sejak tahun 1938. Dia dilaporkan sebagai penganjur utama berdirinya Komite Rakyat di Sumatera Barat. Selama dua bulan berada di Padang, Soekarno telah bertindak sebagai juru bicara bagi pemimpin-pemimpin di Sumatera Barat dalam perundingan dengan Jepang.    

Soekarno tinggal di kota Padang, tepatnya di alamat Jalan Ahmad Yani No 12 Padang. Selama di Sumatera Barat, Soekarno berinteraksi dengan ulama dan tokoh setempat, di antaranya ulama Syekh Abbas Abdullah dan Syekh Mustafa Abdullah, Pendiri Madrasah Darul Funun Padang Japang, Payakumbuh. Ulama besar Minangkabau lainnya yang dikagumi bahkan Soekarno dianggap sebagai anak angkatnya di Jakarta ialah Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka).

***

Prof. Dr. Hamka dalam buku Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama Di Sumatera (Penerbit Umminda Jakarta, cetakan keempat, 1982) menceritakan ketika Presiden Soekarno mengunjungi Maninjau Sumatera Barat tahun 1948, beliau berpidato di depan beribu-ribu rakyat yang menyambutnya, “Saya adalah anak kehormatan orang Maninjau! Saya adalah anak angkatnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah!”

Baca Juga  Cogitu Ego Mu: Kamu Bertanya Maka Kamu Jahat

Syekh Dr. H.A. Karim Amrullah tidak sempat menyaksikan Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia. Ayah Buya Hamka meninggal dua bulan sebelum Proklamasi. Ia memberikan nasihat sebagai pegangan bagi Soekarno dan para pemimpin umumnya agar menjadi contoh tentang kesederhanaan sehingga tidak terjadi kesenjangan yang mencolok dengan rakyat, “Janganlah terlalu mewah, Karno! Kalau hidup pemimpin terlalu mewah, segan rakyat mendekati!” pesannya kepada Soekarno sebagaimana dituturkan Buya Hamka.

***

Soekarno muda aktif menulis artikel-artikel tentang kebangsaan dan Islam yang dimuat di majalah. Dalam kurun waktu 1938/40-an Majalah Pandji Islam di Medan memuat polemik intelektual yang sangat berbobot antara Soekarno dengan tokoh pemikir muslim asal Minangkabau yakni Mohammad Natsir mengenai memudakan pengertian Islam dan hubungan Agama dengan Negara. Tulisan Natsir menanggapi tulisan Soekarno dihimpun dalam buku Capita Selecta, penyunting D.P. Sati Alimin. Semangat Soekarno yang menggelorakan kehidupan berpikir dalam Islam dan kesadaran kebangsaan perlu dihayati oleh segenap generasi penerus.

Soekarno adalah pencetus dasar falsafah negara Pancasila pada tahun 1945. Soekarno yang lahir 6 Juni 1901 dan meninggal 21 Juni 1970 adalah Bapak Bangsa dan Pemimpin Utama Bangsa Indonesia, di samping Mohammad Hatta.

Sewaktu mengunjungi makam Bung Karno di Blitar Jawa Timur beberapa tahun lalu, di depan pusara tempat peristirahatan terakhir jasadnya setelah berdoa, saya berkata dalam hati, “Terima kasih Bung Karno atas segala perjuangan dan pengorbanan Bung yang tak ternilai untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia dari penjajahan. Semoga Allah Swt menerimanya dan mengampuni segala kesalahan dan kekhilafan Bung sebagai manusia biasa. Semoga perjalanan hidup Bung, kejayaan dan kejatuhan Bung sebagai pemimpin negara, jadi pelajaran berharga bagi seluruh generasi bangsa.”

Editor: Soleh

M Fuad Nasar
15 posts

About author
Akitivis zakat. Penulis buku Fiqh Zakat Indonesia yang diterbitkan BAZNAS tahun 2015. Anggota Tim Editor Buku Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra (2015/2016)
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds