Setiap manusia lahir dengan pembawaan (bakat) masing-masing. Segenap potensi yang ia miliki akan tumbuh dan berkembang lewat proses habituasi di lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Tetapi struktur budaya yang feodal justru telah menimbun bakat-bakat seseorang sehingga sulit tumbuh dan berkembang. Sosok RA Kartini kurang lebih menampilkan karakter yang berusaha keluar dari jerat budaya feodal Jawa.
RA Kartini
Raden Ajeng (RA) Kartini lahir pada 21 April 1879 (28 Rabi’ulakhir 1808) dan wafat pada tanggal 17 Sepetember 1904 (7 Rajab 1834). Ia lahir dari keluarga ningrat, putri RMAA Sosroningrat, Bupati Jepara, yang tidak lain adalah putra Pangeran Ario Tjondronegoro IV, Bupati Demak. Ibunya, Mas Ajeng (MA) Ngasirah berasal dari kalangan rakyat biasa.
RMAA Sosroningrat menikah dengan MA Ngasirah pada tahun 1872 ketika masih berpangkat Wedana di Mayong. Menurut kesaksian Kartini, sang ayah menikah lagi pada 1875 dengan seorang putri bangsawan tinggi, yaitu RA Woerjan atau Moerjam, putri RAA Tjitrowikromo, Bupati Jepara sebelum Sosroningrat.
Konon, istri yang kedua diangkat menjadi garwa padmi (istri utama) atau “Raden Ayu” dan Gusti Putri yang keluar sebagai First Lady. Sedang MA Ngasirah mendapat kedudukan garwa ampil (bukan istri utama). Urusan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab MA Ngasirah. Beliau sangat keras dalam mendidik putra-putrinya, termasuk pendidikan agama.
Ayah Kartini memiliki pandangan yang progresif, mewarisi sikap ayahnya, sebagai Bupati Demak. Sebelum wafat, beliau telah meninggalkan pesan kepada putra-putrinya bahwa “tanpa pengetahuan kalian kelak tidak akan bahagia dan dinasti kita akan makin mundur.“ Semua anak-anaknya disekolahkan, baik putra maupun putri, meskipun ada perbedaan dalam tingkatan pendidikan.
Kartini dan saudara-saudaranya dimasukkan di Europese Lagere School sekalipun murid-murid di sekolah ini hampir semuanya anak-anak Indo-Belanda. Padahal, pada waktu itu, dalam tradisi masyarakat Jawa memandang tidak etis menyekolahkan anak-anak perempuan bersama-sama dengan laki-laki Indo-Belanda.
Masa Pingitan
Setelah nenyelesaikan sekolah di Europese Lagere School, Kartini tidak diperkenankan melanjukan sekolah ke HBS di Semarang seperti kakaknya yang laki-laki. Ia harus mengikuti tradisi Jawa bagi anak perempuan, yaitu memasuki masa pingitan. Pada tahun 1892, ketika berusia 12 tahun, ia memulai hidupnya dalam tembok pingitan. Inilah salah satu tradisi Jawa sebagai masa menunggu sampai tiba saatnya menikah.
Tentu ia sangat berat hati. Tetapi tradisi tersebut harus ia jalani juga pada masa itu. Kartini mengisi hari-hari dalam pingitan dengan membaca, merenungkan kondisi kaumnya serta adat feodal yang membelenggunya dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan tersebut ia kirimkan kepada teman-teman penanya di Batavia maupun negeri Belanda.
Dari kamar pingitan itulah, ia mulai mengerti adat feodal, poligami dan kawin paksa, kebodohan perempuan dan egoisme laki-laki yang merupakan sumber semua derita. Dari kamar itulah muncul pemikiran revolusioner, feminisme, dan nasionalisme yang kadang bernuansa religi dari gadis kecil yang ada di pedalaman Jawa ini.
Menikah
Kartini memutuskan untuk menikah bukan karena tekanan, tetapi keputusannya keluar dari kesadaran dan pertimbangan yang cermat. Ia yakin bila calon suaminya, Raden Mas Adipati Ario Djojodiningrat, Bupati Rembang, adalah seorang yang berpandangan modern meskipun seorang duda yang ditinggal wafat istrinya.
Kartini menikah pada tanggal 8 November 1903 di Jepara dengan upacara yang sangat sederhana tanpa pesta. Tiga hari kemudian, pada tanggal 11 Nopember 1903, ia diboyong ke Rembang untuk mengawali hidup baru sebagai istri dan ibu dari putra-putri suaminya dengan almarhum istri pertamanya.
Di sinilah sosok Kartini sebagai perempuan Jawa yang berusaha keluar dari jerat budaya feodal Jawa. Ia mengajukan syarat yang cukup progresif dan telah disetujui suaminya. Pertama, tidak akan diadakan upacara berlutut dan menyembah kaki mempelai pria. Kedua,ia akan bicara dalam bahasa Jawa Ngoko (kasar) dengan suaminya, untuk menunjukkan bahwa seorang istri itu sederajat serta saudara seperjuangan dari suaminya.
Di Rembang, belum banyak yang diperbuat Kartini untuk merealisasikan cita-citanya. Karena waktu yang merenggutnya. Ia hanya satu tahun menikmati impian kebebasannya di Rembang bersama suami dan anak-anak peninggalan almarhum istri pertama suaminya. Ia juga sempat mengajar gadis-gadis memasak. Pada tanggal 17 Sepetember 1904, ia wafat setelah melahirkan putra pertamanya, dengan meninggalkan idealisme kemandirian dan kebebasan.
Sumber: diadaptasi dari buku Pemikiran Keagamaan RA Kartini karya Dra Siti Aisyah, MAg
Editor: Arif