Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita (Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Intellegence, Bloomsbury, Great Britain; Idem Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, 2001: 57).
Denny JA, dalam esai Sejarah Hasrat Berkuasa dan Hasrat Mencari Makna, yang menjelaskan: Peradaban baru ini sudah terlalu banyak agama. Membuat agama baru bukanlah solusi. \
Spiritualitas Baru
Yang diperlukan semata spiritualitas baru. Itu bukan agama, tapi gaya hidup yang bisa dijalankan oleh semua penganut agama, bahkan oleh mereka yang tak lagi percaya agama. Ia tidak berniat dan tak perlu menggantikan agama yang sudah ada.
Sebaliknya, spiritualitas baru itu membuat penganut agama lebih mendalam dan menghayati agama asalnya.
Menurut Denny JA, spiritualitas baru universal harus pula bersandar pada narasi paling mutakhir: Ilmu Pengetahuan. Spiritualitas baru itu tak lagi bersandar pada titah dari langit. Juga tidak bergantung pada renungan filsafat di belakang meja.
Spiritualitas baru itu haruslah hasil dari riset panjang yang empiris. Kita sebut spiritualitas baru itu dengan aneka nama: The Science of Wellbeing, atau Panduan Hidup Bahagia (Happiness).
Apapun pandangan tentang makna spiritualitas baru, menurut saya (penulis), esensi spiritualitas baru adalah memadukan kecerdasan imani (SQ), kecerdasan ilmi (IQ), dan kecerdasan amali (PQ).
Tiga serangkai imani-ilmi-amali merupakan tatanan yang terrefleksi dari lapisan pertama, yakni al-nafs al-ammarah bi al-su’ (hewani) dan yang kedua, al-nafs al-lawwamah (manusiawi) menuju lapisan yang ketiga, yakni al-nafs al-mutha’innah (Ilahi).
Menurut Absar Ahmad, al-nafs al-mutha’innah atau “jiwa yang tenang”, yang menunjuk pola hidup “jiwa” yang di dalamnya pergolakan nafsu-nafsu telah ditenangkan dan agitasi pemikiran dan konsep-konsep ditenangkan, ditentramkan, dan didamaikan.
Dimensi “jiwa” secara lebih umum disebut qalb, “hati”. Qalb adalah salah satu istilah teknis sufisme yang paling penting. Ia tak lain adalah apa yang telah disebut sebagai inti spiritual manusia cahaya, sebagai sebuah organ-organ lembut esoteris untuk memahami aspek-aspek esoteris fenomena.
Qalb adalah organ supraindra (spiritual) kongnisi yang melalui aktivitas lazim dikenal sebagai pengalaman mistis. Menurut teori “jiwa” sufi, qalb yang merupakan lapisan ketiga, adalah pintu dimensi wujud Tuhan.
Ia pada hakikatnya bersifat bercahaya, dan dunia yang dibukakan oleh aktivitas qalb secara ontologis membentuk ranah pusat antara dunia alam Cahaya Tuhan yang suci dan alam kegelapan materi di bawah kekuasaan setan (Ansari (ed), 2003: 25-26).
Pesan Langit tentang Spiritualitas Baru
Dari konteks pemahaman di atas, spirtualitas baru sesungguhnya tatanan kehidupan spiritual yang meneguhkan autentisitas diri kita sebagai manusia rohani. Ada bebarapa pesan langit yang patut menjadi kontemplasi kita dalam memasuki spiritualitas baru era new normal, yakni:
Pertama, ilmu dan hikmah adalah anugerah supaya manusia mengambil ibrah (pelajaran) dari setiap derap kehidupannya di bumi-Nya. Sebagaimana firman Sang Maha Cinta Agung:
“Allah menganugerahkan Al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakal–lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah {2}: 269)
Kedua, kesadaran ilmi merupakan kepribadian yang memiliki derajat yang tinggi. Seperti firman Sang Maha Cinta Agung:
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah {58}: 11).
***
Ketiga, teologi ilmu menjadi spirit gerakan keilmuan dalam membaca, meneliti, menelaah, dan menggali ilmu, pengetahuan, sains, teknologi dan seni (ipteks). Sebagaimana firman Sang Maha Cinta Agung:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, (1) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.(2) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah,(3) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,(4) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(5)” (QS. Al-‘Alaq {96}: 1-5).
Keempat, hati (rohani) dengan jiwa tenang (al-nafs al-muthma’inah) sebagai autentisitas diri yang menggerakkan kesadaran imani-ilmi-amali. Seperti peringatan Sang Maha Cinta Agung:
“…mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf {7}: 179)
Kelima, memfungsikan peran kongnitif hati dalam laku hidup spiritualitas baru. Sebagaimana firman Sang Maha Cinta Agung:
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj {22}: 46)
Spiritualitas Baru Peneguh Autentisitas Diri
Dari uraian di atas, dapat diambil konklusinya, bahwa spiritualitas baru merupakan era peneguhan autentisitas diri manusia. Untuk mewujudkannya adalah dengan ilmu dan hikmah serta mengambil pelajaran, kesadaran ilmi menjadi posisi tertinggi, teologi ilmu menjadi spirit dalam meraih keunggulan ipteks, hati sebagai penggerak kesadaran imani-ilmi-amali, dan memfungsikan peran kongnitif hati dalam laku hidup.
Dari semua hal di atas, yang sangat penting adalah sikap dan karakter warga bangsa dalam spiritualitas baru era new normal. Intinya adalah karakter. Seperti kata (Stephen R. Covery, “Taburlah gagasan, petiklah perbuatan. Taburlah perbuatan, petiklah kebiasaan. Taburlah kebiasaan, petiklah karakter. Taburlah karakter, petiklah nasib.” Semoga bangsa Indonesia siap dengan spiritualitas baru sebagai wujud meneguhkan autentisitas diri era new normal. Wallahua’lam bishshawab.
Editor: Yahya FR