Spiritualitas agama tidak hanya kepatuhan pada doktrin dan dogma agama yang dianut; spiritualitas agama bukan sekedar merapalkan ritual ibadah yang dikhusyukkan pada Tuhan oleh penganut agama; spiritualitas agama tidak hanya asesoris lahiriah sebagai pertanda menjadi muallaf dan telah masuk fase ‘hijrah’; dan spiritualitas agama bukan sekedar bangga dengan agama yang baru dianut, mencela agama lama yang dipeluk dahulunya, mengagungkan simbol, dan membuat narasi permusuhan dengan yang tidak sehaluan.
Spiritualitas Agama, Spiritualitas Kemanusiaan
Dimensi spiritual agama ini tidak mungkin dapat dimasuki, jika yang ditonjolkan dalam keberagamaan adalah ritus atau simbol. Kedudukan ritus atau simbol (tak lebih) merupakan medium untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta. Maka yang dipentingkan, bagaimana batas-batas simbolik dapat terlampaui dalam proses keberagamaan. Dengan pertanyaan ini tidak dimaksudkan bahwa ritus atau simbol tidak penting. Sekedar mempertegas pernyataan semula, ritus merupakan badan, sedangkan dalam badan ada jiwa. Itulah spiritualitas agama (Arifin, 2000: 7).
Menurut Syamsul Arifin, esensi kepuasan dalam beragama manakala dalam diri seseorang, pertama, merasakan kehadiran dan “kemanunggalan” dengan Realitas yang Mutlak (Ultimate Reality), yaitu Tuhan. Tuhan merupakan puncak pengalaman keberagamaan.
Oleh Rudolf Otto, seorang ahli studi agama fenomenologis, pengalaman ini dirumuskan sebagai mysterium fascinas et tremendum, pengalaman misterius yang mempesona namun sekaligus menakutkan. Disebut misterius, karena hanya dapat dirasakan namun tak mungkin dijelaskan. Pengalaman yang unik dan istimewa, yang dapat menggetarkan hati, mendatangkan pesona dan kebahagiaan yang luar biasa. Dan kedua, apabila keberagamaan itu menumbuhkan kepekaan pada nilai-nilai kemanusiaan (Arifin, 2000: 7).
Kepekaan pada nilai kemanusiaan bukan sekadar menangis melihat penderitaan kaum dhuafa; kepedulian tidak hanya mengeluarkan tutur kata simpati saja pada kaum termarginalkan; dan keberpihakkan bukan sekedar menyuarakan kepedihan para mustadha’afin. Esensi kepekaan kemanusiaan adalah ketika ikut merasakan bagaimana sesungguhnya menjadi dhuafa, wong cilik, kaum termarginal, orang pinggiran, marhen, jelata, dan para mustadha’afin lainnya. Dari merasakan suka cita dan duka cita mereka, kita akan memiliki sikap welas asih, empati dan karakter peduli serta solidaritas kemanusiaan universal.
Proses Memanusiakan Manusia
Apabila ditelusuri lebih dalam, sesungguhnya hidup di dunia ini merupakan sebuah proses memanusiakan manusia (insaniyyatul insan). Ketika proses dan usaha memanusiakan manusia itu telah berhasil dilakukan, tentu kita memiliki karakter hanif (cinta kebaikan dan rindu kebenaran).
Mungkin ada yang kurang tepat dari ungkapan: “Mencari Tuhan yang hilang”, dan “Para pencari Tuhan.” Ungkapan tersebut benar apabila yang menganggap Tuhan berada di luar dirinya. Ia akan “Mencari Tuhan yang hilang” pada pada simbol syahadat, salat, puasa dan haji, sehingga simbol rukun Islam dianggap kesempurnaan dalam berislam. Pemahaman literal-simbolistik ini sering memunculkan polemik simbol tulisan bendera, tas, topi dan asesoris yang berlogo syahadat. Pembelaan simbolistik dianggap membela Tuhan.
Sedangkan “Para pencari Tuhan” adalah sikap memisahkan keberadaan Tuhan sebelum ‘hijrah’ atau meniadakan eksistensi Tuhan, karena pernah bergumul dalam kemaksiatan, dan menganggap Tuhan perlu dicari kembali, karena sebelumnya Tuhan dihilangkan esensinya.
Sejauh Mana Spiritualitas Kemanusiaan Kita?
Untuk melihat sejauhmana spiritualitas kemanusiaan kita selama ini, barangkali firman Allah Swt dalam hadits qudsi menyatakan:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah Saw, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla kelak di hari kiamat akan berfirman, “Wahai anak cucu Adam, Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku”, ada yang berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana kami menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam”, Allah berfirman, “Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya hambaku yang bernama Fulan sakit, dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya jika kamu menjenguknya, engkau akan mendapati-Ku didekatnya.”
Wahai anak cucu Adam, Aku meminta makanan kepadamu, namun kamu tidak memberiku makanan kepada-Ku”, ada yang berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana kami dapat memberi makan kepada-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah Swt berfirman, “Tidaklah engkau tahu, sesungguhnya hanbaku Fulan meminta makan, dan kemudian kalian tidak memberinya makan? Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberinya makanan, benar-benar akan kau dapati perbuatan itu di sisi-Ku.”
Wahai anak cucu Adam, Aku meminta minum kepadamu, namun engkau tidak memberi-Ku minum”, ada yang berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana kami memberi minum kepada-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah Swt berfirman, “Seorang hambaku yang bernama Fulan meminta minum kepadamu, namun tidak engkau beri minum, tidakkah engkau tahu, seandainya memberi minum kepadanya, benar-benar akan kau dapati (pahala) amal itu di sisi-ku.” (HQR. Muslim)
***
Hadits qudsi di atas sangat jelas sekali, bahwa Tuhan sesungguhnya tidak hanya berada pada simbol ritus dalam rukun Islam saja. Akan tetapi, Tuhan berada pada sisi kemanusiaan para dhuafa, wong cilik, kaum termarginal, orang pinggiran, marhen, jelata, dan para mustadha’afin lainnya.
Mereka ‘bersabung’ nyawa mengais rezeki, mereka bertaruh hidup-mati mencari sesuap nasi penghilang lapar, dan seteguk air menghilangkan haus dan dahaga, dan merekapun dicuri suaranya dalam setiap lima tahun pada pilkades, pilkada, dan pilres serta pilleg. Yang ironis adalah ketika hak mereka di sunat “oknum” aparat, ketika jatah mereka diembat dengan membuat SPJ fiktif, dan lebih sadis lagi adalah, ketika mereka mendapat perilaku kasar dengan cela, caci dan tamparan saat menuntut hak mereka yang belum ditunaikan “oknum” aparat.
Dari kenyataan di atas, beragama tidak cukup sengan simbolik-formalitas saja. Simbol dan formalitas agama dalam dogma, doktrin dan ritus hanyalah badan lahiriah. Sedangkan esensi beragama sesungguhnya adalah kedekatan dengan Tuhan dan kepekaan pada nilai-nilai kemanusiaan. Apabila hal itu dapat dilakukan, berarti kita sudah masuk kepada spiritualitas agama.
Spiritualitas agama berwujud spiritualitas kemanusiaan, dan dalam spiritualitas kemanusiaanlah manusia menemui Tuhan yang hilang. Karena Tuhan; jauh tidak berjarak dan dekat tak teraba. Mari beragama dan berkemanusiaan. Wallahua’lam bishshawab.
Editor: Nabhan