Tengah malam pada tanggal 20 Mei 1919, bencana besar datang dari Blitar, Jawa Timur. Letusan dahsyat Gunung Kelud telah merusak perumahan penduduk di kota Blitar. Diperkirakan letusan gunung terdahsyat di awal abad ke-20 tersebut telah menelan korban 5.000 orang. Begitu dahsyatnya letusan gunung Kelud sampai terdengar di Kalimantan. Hujan abu yang lebat mencapai Pulau Bali. Demikian seperti dilansir www.bbc.com (2014). Respon pemerintah dan masyarakat pribumi atas bencana alam yang sangat dahsyat tersebut sangat beragam. Di Yogyakarta, sebuah comite dibentuk dalam rangka menggalang dana, bantuan logistik, dan medis untuk menolong para korban bencana letusan gunung Kelud di Blitar. Steun Comite Keloed bekerjasama dengan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) Muhammadiyah pada tahun 1919 berhasil menghimpun dana dari masyarakat, bantuan logistik, tenaga medis dan obat-obatan yang akan dikirim ke Blitar.
Steun Comite Keloed dan PKO
Dalam “Verslag openbare vergadering P.K.O.” (lihat Soewara Moehammadijah October 1923 Tahooen 4) dilaporkan bahwa Hoofdbestur Muhammadiyah Bagian PKO telah menggelar rapat (vergadering) di Lodge Malioboro (sekarang Gedung Agung) pada tanggal 25 Agustus 1923. Rapat dihadiri 500 orang. Mewakili pemerintah kolonial dr. Offringa dan dr. John. Beberapa tokoh Tionghoa disebutkan turut hadir dalam rapat tersebut. Adapun para jurnalis media massa yang hadir seperti utusan Soerabaia Handelsblad, Boedi Oetomo, Pewarta Soerabaia, Sin Po, Perniagaan, Djawa Tengah, Bintang Islam, Soewara Moehammadijah, dan Centraal Tiong Hwa. Selebihnya, peserta vergadering adalah para anggota dan pengurus Muhammadiyah, terutama dari Bagian PKO.
Haji Syujak, voorzitter PKO, berpidato menerangkan asas gerakan. “Perkoempoelan P.K.O. itoe bahagian Moehammadijah jang berdasarkan agama Islam. Dalam agama Islam adalah lima perkara koeadjiban, lain dari pada itoe masih ada poela jang kita kaoem Islam haroes mengerdjakan itoe, seperti jang terseboet dalam soerat Ma’oen, itoelah jang mendjadi sendi perkoempoelan P.K.O.”
Setelah menyampaikan asas gerakan, Haji Syujak mengisahkan awal mula terbentuk gerakan PKO Muhammadiyah. Salah satu penanda yang dapat digunakan untuk melacak sejarah berdirinya PKO adalah peristiwa letusan Gunung Kelud pada tahun 1919, tepatnya pada tanggal 20 Mei. Dampak letusan Gunung Kelud pada tahun 1919 begitu parah sehingga menelan banyak korban. Selain korban nyawa, hampir seluruh gedung dan rumah penduduk di kota Blitar mengalami kerusakan parah. Dengan spirit teologi al-Ma’un, Haji Syujak dan pengurus Bagian PKO menggalang dana dan kebutuhan logistik serta peralatan medis untuk menolong korban bencana alam tersebut.
Sebagaimana dikisahkan oleh Haji Syujak, Bagian PKO bekerjasama dengan Steun Comite Keloed yang berhasil menghimpun dana yang cukup untuk dikirimkan ke Blitar. Tidak hanya itu, kolaborasi Bagian PKO dengan Steun Comite Keloed juga berhasil mengumpulkan sumbangan logistik, obat-obatan, dan berhasil membentuk tim medis yang akan dikirim ke Jawa Timur. Meskipun tidak disebutkan berapa besar dana yang berhasil dihimpun, juga apa saja sumbangan logistik yang telah disiapkan, tetapi kolaborasi antara Bagian PKO dengan Steun Comite Keloed dapat dikatakan sukses.
Perlu dicatat, menurut versi bbc.com., letusan Gunung Kelud pada 20 Mei 1919 merupakan bencana terdahyat di awal abad ke-20. Dampak kerusakan yang begitu parah dan korban yang sangat banyak telah menarik simpati dan juga empati dari kaum bumiputra di berbagai daerah. Konon, bantuan kemanusiaan mengalir dari berbagai daerah, bahkan dari luar pulau Jawa. Karena sudah banyak bantuan kemanusiaan yang mengalir ke Blitar, seperti yang dikisahkan Haji Syujak, maka bantuan kemanusiaan yang berhasil dihimpun oleh Bagian PKO dan Steun Comite Keloed tidak jadi didistribusikan. Resident Yogyakarta menyarankan agar bantuan kemanusiaan tersebut untuk menolong kesusahan penduduk di Yogyakarta. Karena terikat oleh kebijakan ini, maka maksud utama memberikan bantuan kemanusiaan kepada para korban letusan Gunung Kelud tidak pernah terwujud.
Namun pasca peristiwa ini, Bagian PKO kembali menyusun program-program strategis berikutnya, seperti penyelenggaraan pasar malam (penggalangan dana), menolong dan mengurus orang mati yang terlantar di rumah dan di jalan, mengatur distribusi zakat, dan mendirikan poliklinik. Seorang dokter berkebangsaan Belanda menaruh simpati kepada usaha yang dilakukan Bagian PKO Muhammadiyah. Dialah dokter Royen yang menyatakan bersedia bergabung ketika Haji Syujak dan kawan-kawan mendirikan Poliklinik. Dokter Royen inilah yang sedianya akan diangkat sebagai dokter pertama di Poliklinik PKO Muhammadiyah. Namun atas permintaan Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, dokter Royen diangkat sebagai Hofarts, sehingga tidak jadi bergabung di Poliklinik PKO Muhammadiyah. Tetapi pada tahun 1923, seorang dokter bumiputra bernama Somowidagdo menyatakan bergabung dan menjadi dokter pertama di Poliklinik PKO Muhammadiyah.
Embrio MDMC
Membaca sejarah PKO versi “Verslag openbare vergadering P.K.O.” yang dimuat di Soewara Moehammadijah edisi Oktober 1923 memberi banyak informasi baru, terutama berkaitan dengan sejarah dan dasar-dasar gerakan PKO, serta program pertama bantuan kemanusiaan dan penanggulangan bencana alam. Jika saat ini Muhammadiyah telah memiliki Lembaga Penanggulangan Bencana (dibentuk 2007) yang pada muktamar 2010 dikukuhkan menjadi Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC), maka sebenarnya program ini memiliki matarantai yang nyaris terputus ketika Bagian PKO berkolaborasi dengan Steun Comite Keloed pada tahun 1919 untuk menggalang dana kemanusiaan bagi korban bencana alam di Blitar. Meskipun peran mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi kebencanaan pasca pembubaran Steun Comite Keloed tetap dilaksanakan oleh Bagian PKO, terutama lewat peran Poliklinik PKO (sekarang RS PKU Muhammadiyah), tetapi dalam praktiknya tidak secara maksimal.
Steun Comite Keloed dan PKO merupakan embrio bagi gerakan MDMC saat ini. Ketika MDMC merumuskan visi “berkembangnya fungsi dan system penanggulangan bencana yang unggul dan berbasis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) sehingga mampu meningkatkan kualitas dan kemajuan hidup masyarakat yang sadar dan tangguh terhadap bencana serta mampu memulihkan korban bencana secara cepat dan bermartabat” (lihat www.mdmc.or.id), maka catatan sejarah di atas telah mengokohkan dan sekaligus memantapkan pondasi gerakan ini. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa para pengurus MDMC saat ini adalah ‘anak-anak revolusi’ al-Ma’un yang hadir di era millennial.