Sukidi Mulyadi, adalah kader Muhammadiyah yang berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul The Gradual Qur’an: Views of Early Muslim Commentators di kampus terbaik dunia, Universitas Harvard Amerika Serikat. Tapi, sebentar. Sebelum bicara sosok Sukidi Mulyadi, saya ingin cerita dulu.
Beberapa bulan lalu Rabu, 30 Desember 2020, saya mengadakan “Temu Penulis Muda Muhammadiyah” yang diikuti oleh 30 penulis secara daring. Kegiatan ini ‘agak spesial’. Pertama, dalam rangka refleksi akhir tahun 2020 untuk merebut narasi Islam di ruang digital. Kedua, kegiatan ini dihadiri oleh Pak Haedar Nashir, Ketum Muhammadiyah, untuk memberikan motivasi kepada para penulis milenial.
Rencananya, setelah sesi Pak Haedar, acara ini akan dilanjutkan oleh motivasi dari penulis senior Pradana Boy ZTF, Fajar Riza Ul-Haq, dan Rita Pranawati. Di luar dugaan, ternyata di forum Zoom itu, ada Mas Sukidi yang hadir tepat waktu. Mas Fajar yang mengajak beliau supaya forum temu penulis tambah spesial.
Nah, menariknya, forum tersebut adalah forum Zoom yang pertama kali diikuti Mas Sukidi. Sejak pulang dari Amerika, sekitar September 2020, banyak sekali undangan untuk menjadi pembicara dari berbagai kampus, tokoh, NGO, namun tak satupun yang ia penuhi. Tapi di forum tersebut malah hadir. Dari situlah saya pertama kali mengenal dan melihat serta ngobrol langsung dengan sosok yang bernama Sukidi.
Di forum tersebut ngobrol lumayan panjang. Peserta pun antusias. Banyak pertanyaan yang diajukan oleh peserta seputar “budaya intelektual”. Saya sangat shock waktu itu. Awalnya saya begitu menggebu-gebu mengawali pembicaraan untuk merebut narasi di dunia digital. Respons Mas Sukidi di luar dugaan: beliau sama sekali tidak tertarik dengan agenda memenangkan narasi di website maupun media sosial.
***
Kurang lebih dia mengatakan, “Tidak apa-apa kita kalah, intelektual bukan untuk menang-menangan”. Yang pada intinya, dia menjelaskan panjang lebar tentang pentingnya sikap rendah hati, ketulusan, dan sikap asketisme intelektual. Akhirnya, obrolan pun panjang hingga larut malam, dan peserta pun merasa mendapatkan pencerahan dan siraman rohani untuk meluruskan niat sebagai seorang penulis intelektual yang zuhud dan tawadhu’.
Salah satu peserta diskusi, Mas David Krisna Alka, menawarkan kepada Mas Sukidi untuk dibikinkan akun medsos: beliau menolaknya. Beliau tidak butuh medsos dan tidak ingin dikenal orang. Di sesi akhir pun sepertinya masih ingin Mas Sukidi masih membatasi yang tidak ingin diundang-undang di berbagai forum.
Selang seminggu, saya pun memberanikan diri untuk menghubungi beliau lewat WatshApp. Dengan membuka percakapan tentang tulisan beliau yang dimuat di Suara Muhammadiyah. Beliaupun mengingat saya dan bertanya, “Apa sampeyan sing dadi moderator kemarin ya?” Ternyata sejak itu, beliau menyimpan nomor saya dan kita sering ngobol via WA. Bahkan, tak jarang status WA saya pun dikomentari. Hahaha.
Dari obrolan, ada nasihat penting yang diberikan kepada saya. Beliau meminta saya membaca kutipan dari Bill Gates:
“Of all the things I’ve learned from Warren, the most important thing might be what friendship is all about. As Warren himself put it a few years ago when we spoke with some college students, “You will move in the direction of the people that you associate with. So it’s important to associate with people that are better than yourself. The friends you have will form you as you go through life. Make some good friends, keep them for the rest of your life, but have them be people that you admire as well as like.”
Intinya, beliau ingin meynatakan ke saya, “Jika anda ingin jadi intelektual, pilihlah sahabat yang benar!”. Kita akan bergerak ke arah orang-orang yang bergaul dengan kita. Jadi, penting untuk bergaul dengan orang-orang yang lebih baik dari kita. Teman-teman yang kira miliki akan membentuk kita saat Anda menjalani hidup. Dan saya beruntung diberikan kesempatan bergaul dengan Mas Sukidi, sosok intelektual berkelas.
***
Tidak hanya chatting via WA, saya pun bisa ngobrol via telpon untuk sekadar bincang-bincang. Dan menariknya, saya pernah ditelpon gara-gara membaca artikel beliau untuk memberikan pesan penting di balik tulisan beliau. Jadi intinya, saya tidak menyangka bisa akrab dengan manusia langka, sahabat Gus Ulil (Ulil Abshar Abdalah) ini.
Meskipun Mas Sukidi, tidak mau saya masukkan di WA Group, tetapi paling tidak beliau sudah mulai mau nongol di Youtube. Unik memang. Biasanya orang tidak mau dimasukkan WA Group, alasannya karena kebanyakan group. Tapi Mas Sukidi alasannya karena tidak pernah ikut WA Group. Wkwkw.
Pertama kali mulai nongol di Youtube JIB Post, dan terahir di Channel Youtube Habib Husein Ja’far. Lumayan yang nonton ribuan. Di video itu, beliau mengaku ke Harvard karena tercerahkan oleh pikiran-pikiran Cak Nur. Saya japri beliau, bahwa saya waktu S1 juga tercerahkan oleh Cak Nur, makanya saya menulis skripsi tentang Cak Nur. Beliaupun merespons sangat positif.
Bagi saya, Mas Sukidi adalah sosok sarjana. Dia bukan ustaz, kiai, aktivis, ataupun muballigh. Ia menghadirkan Islam sebagai kajian ilmiah. Islam sebagai ilmu. Menariknya, dia adalah lulusan Harvard, Amerika, Barat, tetapi tidak ‘terbaratkan’. Dia tidak menjelaskan Islam sebagai kajian obyektif ala orientalis atau orang Barat dalam menjelaskan kajian Islam.
Lihat saja tulisan-tulisannya di Suara Muhammadiyah, dia tidak menjelaskan Al-Qur’an teori-teori Barat, maupun terpengaruh teori-teori besar seperti “gerak ganda” Fazlur Rahman. Akan tetapi Mas Sukidi berhasil menjelaskan makna Al-Qur’an dengan kerangka tradisi Islam, bukan kerangka teori besar maupun teori Barat. Ia hanya menjelaskan data, dan membuat data teks itu menjelaskan dirinya sendiri.
Itulah sekilas Mas Sukidi yang baru saja saya kenal. Pembawaan yang kalem, rendah hati, penuh respek, dan adem, serta kadang-kadang humoris di luar dugaan. Semoga orangnya nggak marah membaca tulisan ini. Hehe.
Editor: Yahya FR