Feature

Suku Boti: Penjaga Alam NTT

3 Mins read

Oleh: Abie Dhimas Al Qoni Fatarrudin*

Masyarakat adat memiliki peranan penting dalam menjaga lingkungan hidup di Indonesia. Memiliki hukum, sistem tata sosial, politik dan identitas tersendiri dibandingkan dengan masyarakat lain di Indonesia. Masyarakat adat melaksanakan budaya leluhur yang sudah turun temurun ada.Selain itu, mereka cenderung lebih mandiri dalam persoalan ekonomi. Mereka adalah masyarakat adat Suku Boti. Salah satu suku yang berada di Indonesia.

Boti adalah sebuah suku sekaligus kerajaan berasal dari Nusa Tenggara Timur, tepatnya di pulau Timor. Suku ini bertempat tinggal di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Letaknya berada di pegunungan dan untuk mencapainya membutuhkan kesabaran serta keahlian dalam mengemudi.

Jalan berkelok dan sempit dengan tikungan tajam menjadi tantangan tersendiri untuk mencapai daerah yang ditinggali Suku Boti. Selama perjalanan pemandangan pegunungan akan menyapa siapapun yang lewat.

Masyarakat Suku Boti dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa dawan. Wilayah Boti dibagi menjadi dua bagian, yaitu boti dalam dan boti luar. Boti dalam merupakan wilayah tempat tinggal bagi orang-orang yang masih memegang tradisi serta kepercayaan nenek moyang.

Sedangkan boti luar, tempat tinggal bagi mereka pemeluk agama pemerintah dan bersekolah formal. Pembagian wilayah ini sebagai penegasan terhadap kepercayaan atau agama yang dianut oleh masyarakat boti. Raja membebaskan masyarakatnya memilih memeluk agama pemerintah atau tidak.

Tradisi Suku Boti

Istana kerajaan berada di wilayah boti dalam, tempat dimana raja tinggal dan menerima tamu dari luar. Ketika ada tamu dari luar berkunjung, raja akan menyambutnya dengan sebuah tradisi yang dinamakan natoni.

Tradisi ini digunakan untuk menyampaikan pesan kepada khalayak umum lewat lisan dengan bahasa dawan sebagai pengantarnya. Setelah melalui natoni, tamu akan disuguhkan sirih pinang sebagai simbol persahabatan.

Baca Juga  Debat Muhammadiyin vs Nahdliyin Satu Dasawarsa Silam

Tamu harus memakan sirih pinang yang diberikan agar tuan rumah percaya dan tidak curiga. Tamu yang datang tidak hanya berasal dari dalam negeri, namun juga ada dari luar negeri.

Menurut sang raja, masyarakat boti tidak diperkenankan untuk menerima bantuan dari luar. Karena bantuan yang diterima akan membuat masyarakat menjadi malas bekerja dan tidak produktif lagi.

Baca Juga: Corak Islam “Ponorogo”

Kehidupan masyarakat boti jauh dari keramaian kota, selain letaknya diatas pegunungan, mereka juga menolak adanya modernitas. Tidak akan dijumpai listrik atau teknologi komunikasi apalagi internet didalam wilayah kerajaan atau boti dalam.

Tidak heran jika suku boti masih dianggap tradisional oleh kalangan orang-orang modern. Mereka sangat menjaga sekali lingkungan hidup yang mereka tinggali.

Sebagian besar pekerjaan masyarakat suku boti adalah bercocok tanam atau bertani. Mereka masih menggunakan pupuk organik yang berasal dari hewan ternak untuk menyuburkan tanamannya. Selain bercocok tanam, perempuan suku boti bekerja sebagai penenun kain. Benang untuk menenun kain berasal dari kapas hasil dari menanam sendiri. Kain tenun yang dihasilkan bertahan lama dan tidak mudah pudar warnanya.

Masyarakat boti sangat menghormati alam sebagai tempat yang memberikan mereka kehidupan. Alam harus dijaga sekaligus dilestarikan agar tidak rusak. Kerusakan alam dapat menimbulkan kerugian besar bagi kehidupan manusia. Hal itu sejalan dengan kepercayaan Suku Boti sebagai bentuk harmoni antara alam dengan manusia. Kepercayaan itu kemudian diturunkan dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari. Kepercayaan bagi Suku Boti dianggap sebagai pandangan hidup yang mempengaruhi cara berpikir serta bertindak.

Suku Boti Penjaga Alam NTT

Cara hidup suku boti bagi masyarakat modern saat ini sangatlah tidak mungkin untuk bisa diterapkan. Kehidupan tanpa teknologi dan masih mengandalkan alam, sepertinya terlalu sulit untuk diaplikasikan.

Baca Juga  Gibran dan al-Fatih: Adakah Kesamaan antara Keduanya?

Modernitas mengharuskan manusia untuk bisa bersaing dan mengandalkan teknologi sebagai alat pendukungnya. Kehidupan modern membuat manusia seolah bergantung kepada teknologi dan tidak bisa mandiri. Namun, itu semua hanyalah anggapan-anggapan saja.

Menjadi manusia tradisional ditengah modernitas sangatlah bisa dilakukan. Khususnya dalam menghadapi krisis lingkungan hidup saat ini. Tradisional disini memiliki arti tetap memegang adat yang berlaku.

Ada sebuah pelajaran yang bisa dipetik dari mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan. Mencontoh sebuah tingkah laku manusia tidak harus sesuai dengan lifestyle-nya secara total. Dalam hal ini, pelajaran dari Suku Boti adalah bagaimana cara memandang dan bersikap terhadap alam.

Cara pandang manusia terhadap alam melahirkan sikap dalam memperlakukan alam sesuai dengan keyakinan atau kepercayaan. Permasalahan lingkungan yang hari ini terjadi, diakibatkan oleh pandangan manusia terhadap alam sebagai suatu objek eksploitasi.

Alam ditempatkan sebagai objek, lalu pusat atau pengendalinya adalah manusia. Implikasi dari itu semua, manusia menjadi seolah berkuasa atas alam. Seharusnya alam dan manusia dipandang sebagai makhluk yang setara dan sama.

Sikap tradisional suku boti patut ditiru oleh masyarakat modern dalam melihat alam sebagai kesatuan kehidupan sekaligus sahabat. Pandangan terhadap alam harus dirubah terlebih dahulu sebelum menuju pada sikap dan tindakan.

Karena manusia dalam bersikap ditentukan oleh pandangan dan dari sikap tersebut melahirkan sebuah tindakan. Suku Boti mencontohkan sikap saling hormat terhadap alam dan sederhana dalam menjalani kehidupan ini.

Kesederhaan hidup itu timbul akibat dari sikap terhadap alam yang membuat mereka tidak suka berlebih-lebihan.

*Ketua Bidang SPM IMM PC Ar Fakhruddin Kota Yogyakarta 

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds