Feature

Sulitnya Mengabaikan Perbedaan Muhammadiyah-NU

3 Mins read

Sejak kuliah, saya memang tidak suka dengan pengkotak-kotakan. Karena itu, ketika ada dana, saya, berencana memasuki semua organisasi kampus saat kuliah di IAIN (UIN) Sunan Kalijaga. Sayangnya, hanya ada tiga organisasi yang saya bisa ikuti pelatihan kadernya, yaitu IMM, HMI (Insan Cita), dan PMII. KAMMI dan HMI-MPO belum sempat saya ikuti karena merasa kecapean mengikuti semuanya dengan maraton hanya menyisakan jeda beberapa hari.

Namun, setelah mengikuti semua pelatihan kader itu, saya diingatkan oleh teman, kalau ragam organisasi itu adalah gerakan ideologis. Apa yang saya lakukan dengan memasuki semua pelatihan kader tersebut keluar dari pakem yang selama ini terjadi. Jadi saya diminta nggak boleh asal masuk.

Alasan Pragmatis

Mendengarkan masukan teman itu, saya pun terpaksa aktif di intra kampus, masuk organisasi diskusi dan wacana yang bernama Kelompok Studi Ilmu Pendidikan, yang bisa meminimalisasi pertarungan ideologi kampus. Saya sebut demikian, karena semua yang aktif di KSIP dalam angkatan saya tidak ada yang mau menjadi ketua. Masing-masing telah aktif di organisasi ekstra dan menjadi pimpinan, hanya saya yang tidak memiliki induk organisasi kampus secara kuat seperti mereka. Karena itu, dengan terpaksa, saya dipilih untuk menjadi Ketua KSIP yang langsung dijemput dari kamar indekos saya. 

Meskipun begitu, saya masih memiliki ikatan primordial, selalu ditarik dan kemudian memposisikan diri di IMM Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Selepas S1 dan sempat dua tahun mengajar di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, saya lalu kuliah di kampus Katholik, Universitas Sanata Darma, Magister Ilmu Religi dan Budaya. Alasannya sepele, pilihan saya ini memungut SPP paling murah saat itu, yang saya kalkulasikan bisa saya bayar sendiri.

Baca Juga  Merawat Amanat Kemerdekaan

Sebenarnya, keinginan terbesar saya ya sebagai masuk jurusan kebanggaan anak UIN/IAIN, yaitu pascarsarjana CRCS UGM. Sayangnya, saya enggak punya SK Dosen bodong yang menunjukkan bahwa saya mengajar di sebuah kampus. Untuk mendapatkan SK Dosen bodong ini, saya sudah mengusahakan secara maksimal dengan menggunakan jaringan Muhammadiyah dengan menjadi asisten dosen pengganti juga dari seorang ustaz senior di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, yaitu kampus Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah yang berada di Wates, Kulon Progo.

Sayangnya, saya hanya mendapatkan SK dari kampus, bukan yayasan. Sementara untuk mendapatkan SK dari Yayasan, saya harus meminta izin dari ranting Muhammadiyah sampai Wilayah. Duh, jadi enggak banget sekadar mau bohong kalau begitu.  

Di balik itu, justru alasan pragmatis inilah pengetahuan ilmu sosial saya dibentuk dan menjadi dasar perspektif saya saat ini. Setelah selesai S2 dan kerja di dua NGO HAM serta belum ada yang tertarik untuk diajak menikah, saya mendapatkan beasiswa Nippon Foundation untuk kuliah di dua kampus; Ateneo Dengan Manila, kampus Katholik yang terpandang di Filipina dan University for Peace, Costa Rica.

Daya Praktis Beragama

Belajar dan hidup dengan nilai Katholik setidaknya membuat saya mengerti ritual sekaligus ibadahnya sekaligus belajar membangun empati dari dalam. Saat kuliah ini, justru saya mendapatkan jodoh di Jakarta, tepatnya teman waktu Aliyah yang berbeda pondok pesantren. Istri saya kuliah di Ali Ma’sum Krapyak dan saya di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Kami bertemu di Pemandian Tamansari.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa nikahnya dengan santri NU? Begitu juga dengan istri saya, mengapa dengan orang Muhammadiyah, Mu’allimin pula? Madrasah yang selama ini jadi musuh bebuyutan pondok pesantren Ali Ma’sum dalam lomba tahunan 4 bahasa. Kalau saya alasannya jelas, banyak ditolak alumnus Mu’allimat. Saat itu, prioritasnya tentang siapa yang mau menerima saya saja.

Baca Juga  Isra' Mi'raj: Peristiwa Dahsyat di Luar Nalar Manusia

Saat membesarkan Alesha dan Ziki, kami tidak pernah bersitegang apakah nanti sekolahnya di basis NU atau Muhammadiyah. Yang kami pikirkan adalah mana yang paling dekat rumah sekaligus bagus menurut amatan dari observasi para tetangga. Kami pun menyekolahkan Alesha di SD ITU yang memiliki basis PKS. Begitu pun dengan Ziki nantinya. Kami percaya bahwasanya setiap institusi selalu punya logika pasar yang harus dipertimbangkan sehingga ideologi corak Islam tertentu harus bernegosiasi dengan keragaman para wali murid yang menyekolahkan anak-anaknya.

Apakah saya dan istri melampaui sekat Muhammadiyah dan NU? Sulit untuk ngomong gitu, wong kami seringkali juga berantem mengenai banyak hal meskipun enggak pernah ngomong harus NU atau Muhammadiyah. Yang kami omongkan biasanya yang memang saling ngerti saja. Namun, yang perlu kami tekankan, perbedaan itu dan juga pertengkaran itu biasa saja. Bukan untuk mempertegas. Yang terpenting adalah tujuan akhirnya.

Di sini, sekali lagi, beragama bagi saya dan istri adalah melihat kemampuan daya praktisnya yang memungkinkan kami bisa punya waktu luang untuk ngobrol dan membicarakan banyak hal, termasuk drakor terbaru. Kalau enggak begini, bisa sulit ke depannya kan? Apalagi hidup rumah tangga persoalannya bukan hanya itu.

Melampaui Perbedaan Muhammadiyah-NU

Pertanyaannya, apakah memungkinkan dua organisasi besar ini bisa melampaui perbedaannya masing-masing seperti layaknya rumah tangga yang saya bangun? Sulit! Karena mereka memiliki prosedur, ideologi dan agensi yang menjaga kedua organisasi tersebut. Kedua organisasi ini selalu memiliki standar ganda cara mereka melihat masing-masing.

Hubungan personal saling bersahabat bisa saja dibangun dan itu bisa sangat harmonis, karena ada daya praktis yang ingin dicapai. Jika tidak memiliki daya praktisnya masing-masing, jangan berusaha untuk menyamakan hal yang berbeda dan kemudian merayakannya seolah baik-baik saja.

Baca Juga  Kisah Seorang Buruh Setrika yang Ketiban Rezeki Saat Muktamar Muhammadiyah ke-48

Di sini, mengenal dan tahu perbedaan masing-masing itu penting sebagai bagian dari relasi sosial. Dengan cara ini, memungkinkan kita memiliki semacam takaran untuk bersikap. Dari sini, kemampuan untuk melakukan perdamaian dan toleransi sangat mungkin bisa dilakukan. Sebab, jika kita membayangkan irisan-irisan kesamaan, sementara kenyataannya banyak perbedaannya, kondisi ini bisa menciptakan krisis sosial dan bom waktu di tengah kemampuan predator politik mencari ruang mendapatkan keuntungan.

Editor: Nabhan

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds