Inspiring

Sutarni Hadji Ali: Pendidikan Humanis dan Ekonomi Perempuan

6 Mins read

Sejak dekade 1990an, perkembangan Aisyiyah di Sulawesi Utara (Sulut) diperantarai dan didominasi oleh kelompok guru. Dra. Hj. Sutarni Hadji Ali merupakan salah satu di antaranya. Ia tumbuh sebagai seorang guru perempuan beretnis Jawa-Tondano yang sangat kental dengan kultur Jawa tradisional, kemudian menjadi pemimpin organsasi perempuan modern dalam konteks masyarakat minoritas muslim.

Sutarni mengafirmasi corak dan watak dakwah Aisyiyah berbasis pendidikan dan ekonomi di Sulut. Sutarni merupakan bagian penting dalam satu skema dakwah perempuan berkemajuan yang sadar terhadap tantangan modernisasi, ketimpangan kesejahteraan dan Islam sebagai solusi sosial-ekonomi.

Perempuan “Jawa-Tondano”

Sutarni lahir dari keluarga etnis Jawa-Tondano atau biasa dikenal dengan istilah Jaton, pada tanggal 17 Agustus 1962 di Kampung Reksonegoro, Tibawa, Gorontalo. Ayahnya bernama H. Saad Hadji Ali dikenal dengan panggilan sehari-hari “tua wangko” yang artinya “kakek berbadan tinggi”, seorang imam agama untuk komunitas muslim Jaton. Sedangkan Ibunya bernama Hj. Rahmah Kai, dipanggil “tua oki” yang artinya “nenek kecil”. Orang tua Sutarni bekerja sebagai petani, pekebun, pengembala, pedagang dan juga sekaligus wirausahawan angkutan umum di Reksonegoro.

Saad Hadji Ali termasuk petani dan penggembala awal yang membuka pemukiman di Reksonegoro. Apa saja ditekuni oleh orang tuanya supaya sembilan anak-anak mereka sukses dalam bidang pendidikan. Dengan berbagai cara, mereka dibiayai hingga tamat bersekolah dan masuk perguruan tinggi. Sutarni pernah mengenang bahwa bakda shubuh, sang Ibu akan membangunkan anak-anaknya minum kopi dari bekas gelas dan ampas yang diminum ibunya. Hal itu dilakukan karena kehidupan masih begitu sulit. Teh, kopi dan gula masih terbatas. Jadi supaya anak-anak tetap bisa minum “wedang”, dipakailah kopi bekas tadi.

Setelah selesai menamatkan masa bersekolah dasar di Reksonegoro dan sekolah menengah pertama di Isimu, Sutarni pindah bersekolah ke Girian, Kota Bitung. Ia sebetulnya sempat mengenyam sekolah menengah atas di Tibawa tapi sang Ibu khawatir Sutarni keburu dipinang orang sebagaimana kebiasaan lumrah saat itu. Sang Ibu mengirim Sutarni pindah ke Girian tinggal bersama kakaknya bernama Suparti Hadji Ali dan kakak iparnya Hasyim Kyai Demak, dan seorang kakak laki-laki bernama Ibrahim Hadji Ali. Sutarni dikenal sebagai adik yang rajin dan ulet oleh kakak-kakaknya.

Saban pagi hari, ia membantu memasak dan mengerjakan urusan rumah tangga. Studi sekolah menengah atas Sutarni berjalan lancar dan sukses. Ia termasuk siswa berprestasi dan direkomendasikan guru-gurunya untuk melanjutkan studi hingga perguruan tinggi. Maka pada tahun 1981 ia pindah ke Manado. Sutarni kuliah di IKIP Manado (sekarang UNIMA, Universitas Negeri Manado) jurusan IPS Ekonomi Koperasi. Di Manado, ia tinggal lagi bersama kakak-kakaknya, sempat berpindah-pindah dari Kampung Kapal Sandar, Ketang Baru, Lorong Pencak dan Maasing, sebelum akhirnya tinggal di Wawonasa. 

Baca Juga  Mbah Guru Ishaq: Dedikasi Mengajar Hingga Melampaui Batas Usia

Menikah dan Berkenalan dengan Aisyiyah-Muhammadiyah

Haji Yusuf Polapa, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Utara dekade 70an bersahabat dekat dengan H. Saad Hadji Ali, ayah Sutarni. Haji Yusuf Polapa inilah yang kemudian akan mewakili anak angkatnya, Drs. H. M. S. Anwar Sandiah untuk melamar Sutarni. Pada tanggal 19 Juli tahun 1987, Sutarni menikah dengan Anwar Sandiah, yang waktu itu sudah menjadi Sekretaris PWM. Pernikahan ini makin mengeratkan hubungan antara Sutarni dan Aisyiyah-Muhammadiyah. Selain karena suaminya merupakan pengurus PWM dan mantan Ketua Wilayah Pemuda Muhammadiyah, juga karena akhirnya perjuangan dakwah Sutarni berlabuh bersama dengan Aisyiyah.

Sutarni aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan bebarengan oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah di bawah kepemimpinan Ibu Mudzakir Paneo, Ketua PDA Manado. Sejak tahun 1992, Sutarni mulai bersentuhan dengan kegiatan Aisyiyah-Muhammadiyah. Sebetulnya, pada tahun 1987, Sutarni diterima menjadi PNS guru di SMA Negeri 1 Limboto. Tapi atas permintaan suami, pada tahun 1991 Sutarni memutuskan untuk pindah ke Manado, dan akhirnya mengajar di SMA Muhammadiyah Manado yang waktu itu terletak di Kampung Islam Tuminting. Selama kurang lebih sepuluh tahun, sebelum akhirnya sekolah itu pindah ke Ternate Tanjung Wonasa, Sutarni menjadi guru hingga memimpin sebagai kepala sekolah.

Kerukunan Wanita Islam (KWI)

Aisyiyah memang menjadi organisasi perempuan yang dikenal Sutarni. Tapi ada kisah unik lain berkenaan dengan aktivitas dakwah Sutarni, yakni ketika ia ditunjuk menjadi ketua Kerukunan Wanita Islam (KWI) Singkil. Tahun 1998, Sutarni bersama suami pindah ke Wonasa Kapleng karena tempat tinggal sebelumnya di Wonasa Tengah sering dilanda banjir bandang setiap musim penghujan tiba.

Waktu itu, Sutarni sudah punya tiga orang anak, satu orang putri yang dirawat oleh kakaknya Ibrahim Hadji Ali dan Jaleha Melangi di kampung Maasing serta dua orang anak laki-laki yang dia besarkan di rumah. Banjir yang selalu datang tiap tahun itu, menenggelamkan rumah hingga setidaknya dua meter. Bersama Suami, Sutarni memutuskan pindah ke dataran lebih tinggi di kawasan bukit yang kini dikenal dengan nama Wonasa Kapleng.

Ketika Sutarni tiba dan tinggal di Wonasa Kapleng, ia ditunjuk menjadi ketua KWI. Ini adalah organsisasi yang dihidup-hidupi Sutarni hingga ia wafat pada tahun 2020. Berbeda dengan Aisyiyah, KWI merupakan organisasi yang dibentuk secara mandiri oleh jamaah ibu-ibu pengajian Masjid Nurul Iman Kecematan Singkil. Organisasi ini bersifat sangat lokal yang bertujuan menjadi ruang kehidupan sosial perempuan muslim di Kota Manado.

Sejak Sutarni ditunjuk menjadi ketua pada tahun 1998, hingga tahun 2020, ia tidak pernah diizinkan oleh jamaah untuk mengundurkan diri sebagai ketua. Beberapa kali atas alasan regenerasi, Sutarni berusaha untuk mengundurkan diri sebagai ketua, tapi tidak pernah diizinkan oleh jamaah. Sutarni yang terbiasa dengan pola organisasi Aisyiyah yang menekankan perkaderan, menganggap bahwa pergantian kepemimpinan harus dilakukan. Seorang jamaah di forum program kerja KWI berujar, “Biar Ibu (Sutarni) saja yang jadi ketua, kami semua sudah sepakat”.

Baca Juga  Belajar Memaafkan dari Buya Hamka

Terpilih Menjadi Ketua PWA Sulut

Pada Musyawarah Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Sulut tahun 2005 di Belang, Minahasa Tenggara, Sutarni terpilih menjadi ketua wilayah. Proses pemilihan itu sempat berlangsung lama karena Sutarni menolak menjadi ketua. Sutarni merasa dia belum siap memimpin organisasi perempuan ini. “Ini amanahnya berat, sungguh saya merasa belum sanggup” begitu kata Sutarni kala itu.

Sementara itu, calon ketua PWA dengan suara terbanyak yakni Ibu Tuti Otoluwa menolak dipilih menjadi ketua. Begitu pula dengan sepuh Aisyiyah yang sangat dihormati, Dr. Hj. Nining Otoluwa sudah tidak bisa lagi menjabat sebagai ketua karena sudah dua periode berturut, 2000-2005 dan 2005-2010. Sutarni tampaknya memang berat mengambil amanah besar ini karena disekelilingnya ada banyak senior yang dianggapnya lebih pantas menjadi teladan.

Sutarni juga merasa khawatir jika pemilihan dirinya disebabkan oleh faktor suaminya yang sebelumnya menjabat Ketua PWM. Memang antara Sutarni dan suaminya ada kesepakatan untuk tidak pernah menggunakan jabatan sebagai batu loncatan. “Semuanya harus alami dan berdasarkan prinsip kolektif kolegial dalam Muhammadiyah” begitu penjelasan Anwar Sandiah suatu waktu ketika ada pengurus PWA yang meminta supaya Sutarni diperbolehkan menjadi ketua PWA. Sutarni akhirnya menerima amanah menjadi ketua PWA ketika Ibu Sis Amali dan Ibu Harasa Pakaya, senior di PWA membujuknya menjadi ketua. 

Sebelum menjadi ketua PWA, Sutarni merupakan ketua Majelis Dikdasemen PWA bersama sekretaris Ibu Masmulia Gusti pada periode 2005-2010. Sutarni bisa dibilang belajar secara otodidak bagaimana menjadi kader Aisyiyah. Ia belajar dari suaminya dan juga melalui bacaan-bacaan yang tersedia di perpustakaan rumah. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Sutarni sebetulnya tumbuh dalam kultur keagamaan etnis Jaton yang agak berbeda dengan praktik Muhammadiyah. Tapi itu tidak menjadi masalah bagi Sutarni.

Pendidikan Humanis dan Ekonomi Perempuan

Sepanjang hidupnya Sutarni membaktikan diri untuk dua hal penting. Pertama ia mencurahkan hidupnya memajukan lembaga pendidikan. Kedua, merintis program ekonomi simpan-pinjam dengan model koperasi perempuan. Bagi Sutarni pendidikan adalah akses mencegah ketimpangan sosial dan ekonomi semakin memburuk di masyarakat. Pada waktu Sutarni tiba di Manado, ia menyaksikan sendiri besarnya angka putus sekolah anak-anak. Terutama keluarga-keluarga buruh pabrik pala dan plastik, pekerja informal seperti tukang dan pedagang musiman di pasar.

Berulang kali ia berupaya memasukkan anak-anak dari latar belakang keluarga tersebut ke sekolah-sekolah Muhammadiyah. Di hadapan orang tua calon murid, ia menegaskan bahwa dirinya-lah yang akan menjadi jaminan andaikata mereka kesulitan membayar uang sekolah. “Tidak perlu khawatir, asal mau sekolah itu sudah bagus, masalah biaya belakangan, jangan sampai si anak tidak sekolah” ujar Sutarni meyakinkan seorang kepala rumah tangga yang sehari-hari menjadi pedagang kecil di pasar kota.

Baca Juga  Ketika Djazman Al-Kindi dan Amien Rais Beda Pandangan Politik

Pada lain waktu pula, Sutarni harus meyakinkan anak-anak muridnya supaya tidak malu ke sekolah hanya karena tidak membayar uang pangkal sekolah (SPP). Bukan sekali dua kali Sutarni harus membujuk bahkan menjemput sendiri muridnya yang tiba-tiba tidak masuk sekolah karena belum membayar biaya pendidikan. Sutarni membujuk dengan berkata, “Orang tua kalian bayar atau tidak, kalian harus tetap sekolah, tidak perlu malu dan takut”. Sutarni memang sangat peduli pada masa depan generasi berikutnya. Ia selalu mewanti-wanti bahwa generasi yang kurang terdidik adalah tanggungjawab orang-orang terdidik. Tidak boleh membiarkan adalah seorang anak pun yang tidak bersekolah. “Setidaknya, dengan modal sekolah ia bisa mengakses pekerjaan lebih banyak” begitu kata Sutarni.

Bagaimana Sutarni menambal keuangan sekolah yang harus mensubsidi uang pangkal siswa? Sutarni melakukan beragam cara, mulai dengan mengajukan bantuan pemerintah hingga merogoh kantongnya sendiri. Bukan perkara mudah bagi seorang guru berkorban sebegitu banyaknya. Tapi Sutarni berkeyakinan apa yang dilakukannya pantas dan tepat. Ia tidak gentar dan takut dengan kekurangan apapun. Prinsip Sutarni dalam pendidikan adalah “menjadikan orang” murid-muridnya.

Setelah purna dari amanah menjadi ketua PWA, Sutarni mulai merintis pengajian jamaah di rumahnya. Pengajian ini sebetulnya adalah gabungan jamaah Aisyiyah tingkat kelurahan dan ibu-ibu KWI. Beberapa anggota KWI ada yang menjadi aktifis Aisyiyah. Ketika Sutarni mengelola pengajian ini mereka membuat koperasi supaya Aisyiyah Ranting Singkil bisa membeli sebidang tanah untuk melanjutkan pembangunan PAUD yang selama ini menggunakan teras depan rumah Sutarni. Pada tahun 2019, niat itu tercapai. Berawal dari ekonomi jamaah perempuan, mereka berhasil membeli sebidang tanah. Praktik koperasi juga dirancang oleh Sutarni supaya ibu-ibu jamaah punya sarana simpan-pinjam selain dari kas arisan KWI.

Ketahanan ekonomi jamaah perempuan bagi Sutarni sangat penting. Sistem sosial yang makin liberal membuat perempuan kesulitan mengakses simpan-pinjam yang aman. Apalagi serangan tawaran investasi bodong dan rentenir sudah banyak menelan korban.

Menabung di Bank juga belum tentu aksesibel dan cocok dengan pola pendapatan keluarga menengah ke bawah. Jadi melalui koperasi, Sutarni berharap keluarga-keluarga ini mampu menjaga ekosistem kehidupan domestik mereka masing-masing. Setidaknya di kala keluarga sakit atau untuk keperluan hajatan mereka tidak perlu berhutang. Tentu, juga untuk kebutuhan pendidikan anak-anak.

Sakit dan Wafat

Sejak akhir tahun 2018, Sutarni mengalami sakit di bagian perut, dada dan punggung belakang. Selama merasakan sakit, Sutarni tetap berusaha mengajar dan beraktifitas sebagaimana biasanya. Apalagi ia masih dipercaya menjadi Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah yang sudah diembannya sejak tahun 2004.

Aktivitas di Aisyiyah juga sudah berkurang meski masih tetap menyelenggarakan pengajian rutin Pimpinan Ranting Aisyiyah Singkil (PRA) setiap (PRA) kamis malam. Bulan Ramadhan tahun 2019, kondisi fisik Sutarni mulai terasa menurun, dan puncaknya ketika ia dioperasi pada tanggal 9 Desember 2019. Sutarni menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 22 Februari 2020 pukul 03.47 setelah menjalani perawatan selama beberapa hari di Rumah Sakit Malalayang Prof. Dr. Kandouw.

Editor: Yahya FR
50 posts

About author
Penggiat Rumah Baca Komunitas (RBK), Yogyakarta. Mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds