Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Belakangan ini, hermeneutika juga digunakak untuk tafsir Al-Qur’an.
Dalam kehidupan masyarakat Muslim, Al-Qur’an menempati posisi yang sangat penting sebagai pegangan atau pedoman hidup. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Namun pada penerapannya, kita semua perlu metodologi untuk dapat memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Metodologi tersebut sudah lama dipecahkan masalahnya oleh ulama-ulama terdahulu dengan mengeluarkan tafsir-tafsir Al-Qur’an.
Tafsir Al-Qur’an
Tafsir dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membantu memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan metode dan aturan terntentu. Menurut Abdurrahman Al-Baghdadi, menafsirkan Al-Qur’an haruslah dengan cara yang sesuai dengan Al-Qur’an itu sendiri yaitu dengan cara yang tekstual bukan kontekstual, lalu kita juga harus mempelajari secara garis besar sehingga maksud yang dikemukakan oleh Al-Qur’an itu jelas.
Selain itu kita juga harus memahami dari segi lafadz dan maknanya sesuai dengan ketentuan bahasa Arab dan keterangan Rasulullah. Karena Al-Qur’an adalah risalah Illahiah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, maka orang tidak akan mungkin dapat memahami semua isinya secara benar kecuali melalui apa yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad dalam As-Sunnah.
Lalu kita harus memahami juga setiap ide dan setiap hukum yang terkandung di dalamnya dan mengetahui tujuan yang dimaksud oleh kata-katanya. Selain itu kita perlu memahami kisah-kisah sejarah di dalam Al-Qur’an atau berita tentang berbagai umat manusia pada zaman dulu yang bersumber dari Rasulullah. Standar ketentuan ini yang kemudian melahirkan tafsir Al-Qur’an yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.
Seiring dengan gencarnya gerakan musuh-musuh Islam, pergeseran pemahaman mengenai tafsir Al-Qur’an telah berubah. Makna tafsir Al-Qur’an yang ada sekarang ini diyakini telah dipolitisasi untuk tujuan ideologis dan politik. Politisasi makna Al-Qur’an melahirkan sikap otoritarianistik yang lahir dari pergumulan antara wahyu Tuhan dan realitas sosial-politik.
Adanya penafsiran terhadap Al-Qur’an melahirkan seperangkat doktrin, ajaran, humum serta ideologi-ideologi, baik yang murni bersifat agamis, maupun sekedar legitimisasi politis.
Konsep Hermeneutika
Lahirnya berbagai produk interpretasi yang tidak lagi sesuai dengan tuntutan nilai-nilai modernitas seperti demokrasi, HAM, kesetaraan gender dan pluralisme semakin mendesak digunakannya metode baru yang mampu melampaui metode tafsir yang selama ini dipakai. Paradigma interpretasi baru yang akhir-akhir ini ditawarkan adalah metodologi hermeneutika.
Menurut Nashr Hamid Abu Zayd sebagai cendekiawan muslim terkenal, dia berpendapat bahwa konsep hermeneutika ini menyatakan bahwa bahasa Al-Quran dijembatani oleh bahasa manusia, yang berupa bahasa Arab, untuk kemudian dapat dipahami oleh manusia.
Tujuan dari hermeneutika ini adalah untuk menyelaraskan dan mengkontekstualisasikanya ke dalam kehidupan masyarakat sekarang. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi masyarakat sekarang jauh berubah dan berbeda jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat ketika Al-Qur’an turun. Sehingga, prinsip-prinsip universal yang terkandung dalam Al-Qur’an harus ditafsirkan secara partikular dengan pendekatan kontekstual (hermeneutika).
Konsep hermeneutika ini sudah marak digaungkan oleh ulama-ulama besar di Indonesia contohnya beberapa Perguruan Tinggi Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, UIN Bandung, dan UIN Yogyakarta telah menetapkan hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir Hadits. Sangat disayangkan ketika produk ilmu sendiri diabaikan dan produk orang lain digunakan.
Istilah hermeneutika ini sebenarnya merujuk pada tradisi Yunani untuk menerjemahkan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani ini akhirnya hermeneutika berkembang menjadi metodologi penafsiran Bibel yang selanjutnya berkembang lagi menjadi metode penafsiran secara umum.
Bibel yang sifatnya sebagai teks manusiawi sangat mungkin untuk dapat diterima dengan metode hermeneutika. Namun sangat berbeda dengan Al-Qur’an yang bersifat otentik sehingga Islam memang bukan dinamika sejarah. Islam telah sempurna dari awal. Dan Islam tidak berubah sejalan dengan perkembangan sejarah.
Ketidakcocokan
Jika ketidakcocokan ini dipaksa untuk diterapkan, maka yang terjadi adalah penyelewengan terhadap ajaran Islam itu sendiri. Jika hermeneutika diterapkan dalam tafsir Al-Qur’an, maka secara otomatis Al-Qur’an akan ditempatkan sebagai produk budaya, tidak lagi sebagai wahyu suci yang mempunyai kesakralan.
Produk yang dihasilkan dari hermeneutika adalah suatu paham relativisme yang menganggap tidak adanya tafsir yang tetap. Semua tafsir dianggap produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal, dan personal. Dengan hermeneutika, hukum Islam memang menjadi tidak ada yang pasti.
Contohnya, hukum tentang perkawinan antaragama. Dalam Islam, jelas muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-muslim. Tapi karena hukum ini dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan zaman, maka harus diubah. Agama tidak boleh menjadi faktor penghalang bagi perkawinan. Sehingga pada akhirnya hukum perkawinan antaragama menjadi sesuatu yang halal.
Pengaplikasi hermeneutika juga tidak segan-segan memberikan tuduhan yang negatif kepada para ulama Islam seperti yang terjadi pada Imam Syafi’i yang dituduh membelenggu pemikiran fiqh sehingga tidak berkembang. Banyak lagi dampak negatif dari penerapan hermeneutika pada tafsir Al-Qur’an.
Jika metodologi ini dibiarkan di kalangan cendikiawan umat Islam khususnya di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia maka yang terjadi adalah dekonstruksi ajaran Islam secara besar-besaran.
Editor: Nabhan