Perspektif

Tak Ada Masa Depan Tanpa Masa Lalu, Mas Menteri!

5 Mins read

Ramai berkembang kontroversi tentang pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, bahwa ia tidak tahu masa lalu, tetapi tahu masa depan. Pernyataan ini mengemuka sebagai kontroversi publik setelah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ mundur dari Program Organisasi Penggerak Kemdikbud. Di antara musababnya adalah karena Kemdikbud dinilai tak transparan dalam mengelola program ini.

Menanggapi kontroversi itu, dalam sebuah pernyataan yang beredar luas di media sosial, intelektual senior, Fachry Ali, meminta Mendikbud Nadiem Makarim belajar sejarah. Lebih dari itu, pernyataan Nadiem bahwa ia tidak tahu masa lalu ditafsirkan secara satire. Misalnya, pantaslah Nadiem tidak memperhitungkan Muhammadiyah dan NU, karena dia memang tidak tahu masa lalu. Masa lalu itu, salah satunya, adalah bahwa sebelum negara ini lahir, kedua organisasi Islam terbesar ini telah demikian aktif melakukan upaya pencerdasan bangsa melalui kegiatan pendidikan. Kenyataannya, hingga saat ini, aktor pendidikan terbesar di luar negara adalah kedua ormas itu.

Namun, tulisan ini tak hendak membahas Program Organisasi Penggerak (POP) dan pengunduran diri Muhammadiyah dan NU darinya. Saya lebih tertarik untuk membahas perspektif Nadiem tentang tentang masa lalu dan hubungannya dengan masa depan.

Aroma Takabur

Pernyataan Nadiem bahwa ia tidak tahu masa lalu, terdengar seperti sebuah kecongkakan. Sebenarnya pernyataan “saya tidak tahu masa lalu,” bersifat netral. Tetapi, ketika ia menambahkan “tetapi saya tahu masa depan,” segera terlihat di situ pembandingan yang beraroma takabur. Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa saya tidak perlu rujukan sejarah untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Kesan kuatnya adalah masa lalu tidak berguna, dan masa depan adalah satu-satunya fokus.

Dari sinilah aroma kecongkakan itu semakin kuat. Pernyataan itu juga bermakna bahwa ia tidak memerlukan pelajaran-pelajaran dan juga teladan dari apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu, karena cukup baginya mengetahui masa depan. Masa depan adalah apa yang akan terjadi, dan dengan mengklaim tahu masa depan, Nadiem seolah-olah telah mengetahui apa yang akan terjadi. Itu sah saja.

Baca Juga  Ka'bah dan Wajah Dunia Arab Modern

Pada satu sisi, berfikir tentang masa depan jelas sangat baik, karena dengan demikian, orang akan berorientasi kepada kemajuan, progresif. Nadiem memiliki kualitas itu, seperti telah ia tunjukkan dalam inovasi transportasi publiknya. Inilah sesungguhnya cara kerja kaum futuris, yakni mereka yang mampu membaca masa depan, dan karena itu lalu berusaha melakukan perubahan atas dasar bacaan itu.

Dalam Think Like a Futurist: Know What Changes, What Doesn’t and What’s Next, Cecily Sommers, menyebut hal yang dilakukan oleh kaum futuris adalah berusaha keluar dari permanent present, masa kini yang permanen, kondisi hari ini yang tak berubah. Sommers juga menunjukkan bahwa thinking like a futurist is partly about seeing coming trends, but it also means transcending trends (berfikir seperti seorang futuris sebagiannya adalah melihat tren mendatang, tetapi itu juga bermakna melampaui tren). Maka mengetahui masa depan saja tidak cukup, karena kita akan kehilangan kebijaksanaan masa lalu.

Dikotomi Antara Masa Depan dan Masa Lalu

Pernyataan itu juga dengan tegas mengandung adanya dikotomi antara masa lalu dan masa depan. Saya tidak tahu persis, apakah pernyataan Nadiem yang demikian itu diilhami oleh ungkapan seorang pemikir Perancis-Hungari, Tibor Mende melalui bukunya A Glance of Tomorrow’s History, yang secara sekilas seolah-olah memberikan fokus pada masa depan. Saya juga tidak bisa berspekulasi bahwa pernyataan Nadiem tersebut merupakan bentuk pengaruh kalangan yang berfikir ahistoris. Namun, memisahkan masa kini dan masa depan dari masa lalu merupakan penafian terhadap haikat kehidupan yang merupakan kontinum.

Namun, jika memang masa lalu dianggap tidak penting, mengapa al-Qur’an memerintahkan manusia untuk menengok masa lalu? “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian melihat masa lalu untuk masa depan…” Demikian Allah memberikan isyarat dalam Surat al-Hasyr ayat 18.

Memang, sebagian besar tafsir terhadap ayat ini memaknai masa lalu adalah amal perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia untuk mempersiapkan kehidupan akhirat kelak. Namun, rasanya tak terlalu menyimpang jika perintah melihat ma qaddamat (apa-apa yang telah berlalu) untuk kepentingan ghad (hari esok) itu dikaitkan dengan menengok masa lalu untuk pembelajaran masa depan.

Baca Juga  Jangan Terlalu Berharap Kepada Milenial!

Sebagian besar isi al-Qur’an berisikan kisah. Apa yang dikisahkan adalah tentang orang-orang terdahulu. Hamid Ahmad al-Thahir al-Basyuni dalam Shahih Qashash al-Qur’an menyebut kisah-kisah umat terdahulu dalam al-Qur’an adalah ibarat batu bata yang membentuk tembok sejarah. Dalam kaitannya dengan kenabian, kisah-kisah itu, kata al-Basyuni menyampaikan informasi bahwa setiap masa selalu diutus para nabi sebagai pembawa risalah hingga ditutup dengan Nabi Muhammad.

Di dalam kisah-kisah itu terdapat pelajaran kesinambungan kehidupan. Maka tidaklah mungkin jika kisah-kisah dalam al-Qur’an, yang sekali lain bercerita tentang masa lalu itu, dianggap sebagai peristiwa biasa. Sebaliknya, dalam istiliah al-Basyuni, peristiwa-peristiwa tersebut merupakan energi yang memiliki pengaruh kuat dan mendasar dalam membangun umat. Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 111 menyebutkan: “Sesungguhnya dalam kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran (ibrah) bagi orang-orang yang mempunyai akal.”

***

Ayat ini bahkan terlampau gamblang menyebut hubungan antara masa lalu dan daya intelektual. Jika menggunakan bahasa yang sedikit filosofis, bisalah disebutkan bahwa kemampuan menangkap pelajaran dari peristiwa-peristiwa masa lalu adalah salah satu parameter intelektualisme. Seorang ahli sejarah, Edmund Burke dalam Reflections on the Revolution in France, menulis: “People will not move forward to posterity, who never look backwards to their ancestor,” bahwa manusia tidak akan pernah beranjak ke generasi berikutnya, jika mereka tak menengok nenek moyang.

Atau pernyataan E.H. Carr, seorang ahli sejarah berkebangsaan Amerika, yang pada tahun 1961 menulis What is History? bahwa “history is a continous process of interaction between historian and his facts, an unending dialogue between the present and past.” Pada dasarnya sejarah adalah proses interaksi berkelanjutan antara sejarawan dan fakta yang mereka temukan, sebuah proses dialog tanpa akhir antara masa lalu dan masa kini.

Kisah Ashabul Kahfi

Alkisah, tujuh pemuda yang bernama ashab al-kahfi melarikan diri dari penguasa dzalim. Mereka tertidur di gua dan ketika terbangun, mereka berdebat berapa lama mereka tertidur. Salah satu menjawab: labitsna yauman aw ba’dla yaumin (sehari atau beberapa hari saja). Lalu berkatalah beberapa dari mereka: rabbukum a’lamu bima labitstum, Tuhan kalian lebih mengetahui berapa lama kalian tinggal (Q.S. al-Kahfi: 19).

Baca Juga  Melampaui Batas Keadaban

Maka, turunlah salah satu dari mereka ke kota untuk membeli makanan dengan membawa uang. Dalam balutan ketakutan, pemuda itu menuju ke pasar di kota. Singgahlah ia di sebuah kedai roti, dan membeli sejumlah roti. Namun, penjaga kedai terperanjat, karena pemuda itu memberikan beberapa keping uang masa lalu, uang yang telah berumur lebih dari tiga ratus tahun. Peristiwa itu membuat seisi pasar gempar, dan pada akhirnya sang pemuda dihadapkan kepada penguasa setempat, karena dianggap memiliki benda purbakala secara tidak sah.

Kepada penguasa, pemuda itu tetap kukuh mengakui bahwa uang logam itu adalah miliknya yang sah. Perdebatan buntu, karena pihak otoritas menganggap pemuda itu mencuri dan menyembunyikan benda purbakala. Pada posisi inilah sebuah hal menarik bisa digarisbawahi. Pemuda ashab al-kahfi menyatakan kebenaran, ia jujur. Namun, penguasa tetap meyakini sang pemuda melakukan kesalahan, karena ia tida mengetahui peristiwa yang sebenarnya.

Kebenaran di antara mereka dipisahkan oleh jarak 309 tahun. Wajar jika terjadi kesalahfahaman. Mujurnya, di tengah situasi itu, sang penguasa berkonsultasi kepada seorang ahli sejarah. Di tangan ahli sejarah inilah kebenaran terungkap. Bahwa menengok bukti-bukti arkeologis yang ditunjukkan, tidak ragu lagi, pemuda inilah yang disebut sebagai ashab al-kahfi.

***

Demikian kesimpulan ahli sejarah itu. Ahirnya kebenaran terungkap, dan seluruh negeri mendapatkan manfaat dari peristiwa besar ini. Sekali lagi, ini karena di antara mereka ada orang-orang yang ahli tentang masa lalu. Seandainya tak ada ahli sejarah, bisa dibayangkan kebuntuan komunikasi antara pemuda ashab al-kahfi dan penguasa akan berlarut-larut. Maka, sebagai peristiwa, masa lalu biarlah berlalu. Tetapi dalam masyarakat di mana intelektualisme menjadi penggerak bagi perubahan, masa lalu harus selalu hadir sebagai pelajaran.

Editor: Yusuf

37 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds