Ibadah

Takwa, Bukan Soal Ibadah Ritual Semata

4 Mins read

Di dalam konsep agama, iman (faith) memegang peranan pokok dan mendasari segala keseluruhan sistem tata nilai dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Salah satu penjelasan tentang konsep iman (sikap percaya) seperti yang sering kita dengar, salah satunya menjelaskan iman sebagai sesuatu yang dibenarkan oleh hati, diikrarkan oleh lisan, dan diamalkan dengan anggota badan.

Tiga Unsur Pokok Iman

Melalui definisi di atas, kita dapat menangkap setidaknya ada tiga unsur pokok dalam konsep iman. Pertama, memercayai segala kebenaran dan risalah agama dengan sepenuhnya (unsur hati). Kedua, mengucapkan secara verbal pernyataan dua kalimat syahadat (unsur lisan). Ketiga, mewujudkannya dalam bentuk kegiatan konkret sehari-hari (unsur amal perbuatan).

Ketiganya merupakan satu kesatuan yang membentuk pandangan hidup dan sikap hidup setiap orang beragama.

Pandangan dan sikap hidup ini kemudian akan melahirkan apa yang disebut sebagai sifat takwa. Secara sederhana, takwa didefinisikan sebagai sikap ketaatan kepada Allah yang diwujudkan dalam melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi lanjutan dari adanya sifat takwa dan iman adalah dengan mewujudkannya dalam suatu bentuk ibadah.

Ibadah, yang juga biasa disebut sebagai ritus atau tindakan ritual inilah yang menjadi aspek penting dan menjadi simbol khas dari setiap agama. Ibadah dalam makna yang spesifik dan lazim dikenal oleh masyarakat adalah suatu tata cara amal perbuatan atau kegiatan yang bersifat khas keagamaan.

Dalam pengertian yang lebih luas, ibadah juga mencakup keseluruhan kegiatan dan tindakan manusia sehari-hari di dunia di luar kegiatan keagamaan. Sayangnya, seringkali banyak orang yang memahami penyembahan dan ketaatan kepada Allah hanya sebatas ritus-ritus keagamaan rutin semata yang sifatnya individu dan pribadi, tetapi melupakan aspek sosial dalam tujuannya. Ada yang sangat rajin melaksanakan salat, puasa, dan haji tetapi dalam kesehariannya ia berperilaku tidak baik dan menggangu orang lain.

Saleh Pribadi dan Saleh Sosial

K.H. Mustofa Bisri bahkan pernah memopulerkan istilah “saleh pribadi” dan “saleh sosial” yang beliau tuliskan ke dalam salah satu bukunya. Sejatinya, maksudnya bukan untuk memisahkan antara dimensi individu dan sosial dari suatu ibadah. Namun, sebagai respons terhadap fenomena keagamaan yang memisahkan ibadah hanya sebagai perkara individu kepada Tuhan semata, tanpa menghiraukan aspek sosial terhadap sesama manusia.

Baca Juga  Haji Tamattu', Qiron, dan Ifrad: Apa Bedanya?

Dari sini muncul pertanyaan menarik, apakah standar ketakwaan seseorang dapat dinilai hanya berdasarkan ibadah ritualnya semata? Ataukah ada hal lain yang menjadi patokannya? Mari kita melihat kembali peristiwa yang terjadi ketika Nabi masih hidup.

Pada masa awal pascahijrah ke kota Madinah, salat masih dilakukan dengan menghadap ke Yerusalem (Baitul maqdis) sebagai arah kiblatnya. Tetapi kemudian, turun wahyu yang memerintahkan perpindahan arah kiblat, agar salat menghadap ke arah ka’bah di kota Makkah. Perintah ini tentu saja menimbulkan keheranan di kalangan penduduk Yahudi Madinah pada waktu itu.

Mereka kemudian mempertanyakan, “Apakah mungkin agama yang dengan gampangnya mengubah kiblat (yang merupakan hal yang pokok bagi mereka) adalah agama yang benar otentik dari Tuhan?.”

Untuk menjawab persoalan ini, kemudian turun suatu ayat panjang yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 177 yang berbunyi:

۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ
وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ
وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.

Ketaatan dalam Bentuk Ritual Ibadah Belum Memenuhi Syarat Kesalehan

Ayat ini secara tegas menjawab bahwa arah kiblat bukanlah hal yang prinsipil sehingga ia dipandang sebagai hakikat kebaikan itu sendiri. Menariknya jika kita cermati, dalam ayat ini kita diterangkan tentang apa yang dimaksud dengan Al-Birr (kebaikan) secara lebih substansial.

Baca Juga  Teologi Masuk Surga Berbagai Agama

At-Thabari dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa frasa “menghadapkan wajah ke barat dan ke timur” adalah metafora yang digunakan untuk menggambarkan ibadah lahiriah/simbolis seperti salat dan yang lainnya.

Senada dengan itu, Muhammad Asad juga mengomentari ayat ini sebagai penegasan. Ketaatan dalam bentuk ritual ibadah belumlah memenuhi persyaratan kesalehan. Bahkan, Yusuf Ali mengatakan bahwa ayat ini adalah sebagai wanti-wanti dari Al-Qur’an agar jangan terjebak kepada suatu formalisme mati dalam beragama. Karena formalisme nantinya akan memusatkan perhatian hanya kepada ibadah ritual dan mengesampingkan nilai kebaikan lain di luar itu.

Dari beberapa pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi ibadah merupakan jembatan yang menengahi antara konsep iman yang abstrak dengan amal perbuatan yang konkret.

Tujuan utamanya bukanlah terletak pada ibadah itu sendiri, karena ia hanyalah simbol beragama yang lahiriah semata. Tetapi tujuan utamanya adalah membentuk manusia yang berakhlak baik. Inilah alasan mengapa frasa dalam Al-Qur’an selalu menyandingkan iman dengan amal saleh. Karena tanpa amal saleh, iman hanyalah konsep abstrak yang tidak membumi. Sebaliknya, amal saleh tanpa didasari iman hanyalah bentuk perbuatan lahiriah yang kosong tanpa makna dan esensi.

Oleh karenanya, suatu kesalahan yang fatal apabila memisahkan antara iman dan amal saleh, serta antara kesalehan individu dengan kesalehan sosial. Karena seperti yang telah dikatakan oleh Nabi sendiri, bahwa misi utama beliau diutus ke muka bumi adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Aspek inilah yang seringkali dilupakan oleh mereka yang menjalani kehidupan agamanya. Hanya melihat aspek agama yang transendental, tetapi melupakan aspek agama yang menghendaki penganutnya untuk menjadi manusia beretika, bermoral, dan memiliki kepedulian sosial.

Bertakwa Adalah Memanusiakan Manusia

Lebih tegas lagi, ibadah yang semata dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi namun tidak melahirkan kepedulian sosial adalah sia-sia belaka. Bahkan, dalam tingkat yang lebih ekstrem orang seperti ini dikatakan sebagai orang yang “mendustakan agama”. Selain memiliki dimensi vertikal kepada Tuhan (hablumminallah), ibadah juga memiliki dimensi horizontal kepada sesama manusia (hablumminannas).

Baca Juga  Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Jika seseorang betul-betul beriman dan bertakwa, maka dengan sendirinya ia akan terdorong untuk mewujudkan imannya dalam bentuk amal perbuatan yang baik. Memiliki etos kerja yang baik, jujur, tepat waktu, saling membantu sesama, dan amanah dalam tugas adalah beberapa contoh kecil dari bentuk sikap keimanan yang otentik.

Sebaliknya, jika dalam keseharian kita masih ada sikap tidak patut, seperti ingkar janji, menyakiti orang, bekerja dengan tidak profesional, dan lainnya, maka keimanannya belum utuh dan perlu dikoreksi.

Sebagian dari kita bahkan dengan lantang meneriakkan bahaya “sekulerisme“. Tetapi secara tidak sadar dan diam-diam juga sedang melakukan “sekularisasi” (dalam maknanya yang sempit) dengan memisahkan antara keimanan dengan akhlak dan amal baik. Akibatnya, agama sekadar menjadi ritual ibadah kosong yang tidak membawa perubahan apa-apa kepada diri pribadi dan masyarakat.

Ibadah ritual hanya sarana, akhlak dan amal baiklah tujuan utamanya. Orang tidak perlu tahu dan tidak peduli apakah si A salat malam setiap hari, atau jumlah puasa yang telah dijalaninya. Itu semua biarlah jadi rahasia pribadi antara hamba dan Tuhannya di bilik kecil rumahnya masing-masing.

Dalam urusan antarsesama manusia, hal itu tidak akan terlihat dan orang hanya akan melihat perbuatan nyata yang orang tersebut lakukan dalam hidupnya sehari-hari. Itulah contoh ketakwaan yang sebenarnya. Kalau engkau berbuat baik, orang tidak akan bertanya agamamu apa dan berapa kali ibadah yang anda dilakukan setiap hari. Namun, orang akan mempertanyakan agamamu jika engkau rajin ibadah tetapi tidak menjalankan isi ajarannya dalam hidup sehari-hari.

Wa fawqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim
Wallahu a’lam bis showwab

Editor: Lely N

9 posts

About author
Mahasiswa Biasa di Kampus yang Biasa-Biasa Saja
Articles
Related posts
Ibadah

Mengapa Kita Tidak Bisa Khusyuk Saat Salat?

3 Mins read
Salat merupakan ibadah wajib bagi umat Islam. Di dalam Islam, salat termasuk sebagai rukun Islam yang kedua. Sebab, tanpa terlebih dahulu mengimani…
Ibadah

Empat Tingkatan Orang Mengerjakan Shalat, Kamu yang Mana?

4 Mins read
Salah satu barometer kesalehan seorang hamba dapat dilihat dari shalatnya. Dikatakan oleh para ulama, bahwa shalat itu undangan dari Allah untuk menghadap-Nya….
Ibadah

Sunah Nabi: Hemat Air Sekalipun untuk Ibadah!

3 Mins read
Keutamaan Ibadah Wudu Bagi umat Islam, wudu merupakan bagian dari ibadah harian yang selalu dilakukan terutama ketika akan melaksanakan salat. Menurut syariat,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds