Film Buya Hamka yang tayang di bioskop Indonesia sejak 19 April kemarin menaik animo yang cukup besar dari masyarakat, selain karena diperankan oleh aktor dan artis kawakan seperti Vino G. Bastian dan Laudya Cynthia Bella tentu karena ketertarikan untuk mengenal lebih jauh sosok Buya Hamka yang bersahaja.
Dalam film tersebut, salah satu adegan menampilkan proses Buya Hamka saat sedang menulis buku tasawuf modern. Sebuah karya yang merespon berlebihannya para praktisi tasawuf dalam menjauhi dunia, padahal dunia merupakan perantara untuk menanam kebaikan.
Tasawuf sendiri merupakan salah satu disiplin ilmu dalam rumpun ilmu agama Islam. Dalam rumpun ilmu ini ada tiga kategori klasifikasi; Pertama adalah kategori ilmu ghayah (tujuan utama) yaitu ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf. Ranah kepercayaan dalam hati merupakan ladang garapan ilmu tauhid, sedangkan tindakan fisik menjadi ranah ilmu fiqh, sedangkan tasawuf merupakan ilmu tentang akhlaq. Kedua adalah ilmu wasilah atau dikenal juga dengan ilmu alat, karena ia dipelajari sebagai alat bantu untuk memahami ilmu ghayah. Ketiga adalah ilmu nash yang berkecimpung dengan dua warisan Rasulullah yang menjadi sumber ajaran Islam; Al-Quran dan hadis.
Definisi Tasawuf
Definisi tasawuf menurut para ulama sendiri beragam, keluar dari khilaf perbedaan pengertian untuk menjelaskan tasawuf Buya Hamka memilih ungkapan Imam Junaid bahwa tasawuf adalah cara untuk keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji.
Buya Hamka tidak terpaku pada istilah-istilah sehingga ia tampak tasahul (memudahkan). Dalam hal ini, terkadang menggunakan kata tasawuf, terkadang akhlak, terkadang juga etika, sebab yang terpenting adalah maksudnya tersampaikan pada pembaca.
Al-Ghazali dalam Mihakk Nadzar juga tidak terlalu mempermasalahkan penggunaan istilah, sebab yang paling utama adalah maknanya bukan lafadznya.
Para penulis tasawuf terdahulu berfokus pada perkara spiritual, kitab-kitab tasawuf dipenuhi dengan pembahasan tentang kondisi hati yang meliputi penyakit hati dan cara menanganinya.
Ihya Ulumuddin yang merupakan masterpiece Imam Ghazali dalam tasawuf disusun atas dasar tersebut, rub’ (perempat) pertama tentang ibadah, perempat kedua tentang muamalah, perempat ketiga tentang muhlikat atau segala hal yang menjadi penyakit hati dan perempat terakhir tentang munjiyat atau jalan dan solusi dari bagian sebelumnya.
Diskusi dan topik yang dibicarakan pun tidak akan lepas dari hubungan ruhani manusia dengan Tuhannya. Ibnu Athaillah misalnya, menulis kitab Al-Hikam yang berisi petuah-petuah untuk hidup zuhud, menghindari dunia dan menggantungkan segala kejadian hanya pada Allah. Ia menyampaikan dalam salah satu hikmah, “Benamkanlah wujudmu dalam ketidakterlenaan. Sebab benih jika tidak ditanam hasilnya tidak sempurna.” Eksistensi manusia merupakan hal sekunder bahkan sebagian sufi menganggapnya tiada, karena eksistensi dan wujud hanyalah milik Allah.
Tasawuf Modern Buya Hamka
Tasawuf modern Buya Hamka bukan berarti menolak bentuk tasawuf tradisional yang bercorak ‘irfani atau spiritualis. Hamka pun setuju dengan ajaran-ajaran tentang zuhud, wara’ dll. Akan tetapi, dengan pemahaman dan implementasi yang sedikit berbeda. Hal yang berbeda dari tasawuf Hamka adalah bahwa ia memulai pembahasan dengan pendekatan filosofis.
Pembahasan tentang kebahagiaan misalnya, yang merupakan tujuan dari ilmu tasawuf. Daripada memulai langsung dengan justifikasi bahwa kebahagiaan dunia adalah fana, Hamka justru memulainya dengan mempertanyakan apa itu kebahagiaan. Kemudian ia lanjutkan perbandingan pandangan kebahagiaan dalam tradisi Barat dan Islam.
Menggunakan klasifikasi epistemologi Al-Jabiri, di sini Hamka menggunakan corak nalar burhani bukan ‘irfani sebagaimana lazimnya para sufi tradisional. Nalar ‘irfani mengizinkan sufi untuk mendapatkan kebenaran hanya dengan perkataan guru atau mursyid yang telah wushul atau mencapai maqamat tertentu. Sedangkan dalam nalar burhani kebenaran harus dibuktikan secara rasional, sehingga setiap ajaran seyogyanya ditopang oleh pemikiran yang logis.
Uniknya lagi dalam tulisan-tulisannya, Hamka tidak lantas menjelma menjadi sosok filosof atau pemikir yang canggih dan sukar untuk difahami awam. Hamka tidak kehilangan unsur ‘irfani dalam tasawufnya, spiritualitas pemikiran Hamka justru tampak dari segi sastra, dari bait-bait yang ia sajikan di sela-sela pembahasan.
Di samping itu, Hamka juga terkadang menggunakan corak bayani yang bertumpu pada teks Al-Qur’an dan Hadis. Sehingga ketiga bentuk epistemologi Al-Jabiri dipadukan Hamka menjadi sebuah harmoni.
Maqam dalam Tasawuf Buya Hamka
Sisi lain perbedaan tasawuf modern Buya Hamka dengan tasawuf tradisional terletak pada arah perjalanan seorang salik. Teorema maqamat dalam tasawuf tradisional menggambarkan perjalanan menuju Allah merupakan tangga vertikal yang harus didaki satu demi satu.
Sedangkan tasawuf Buya Hamka menggambarkan sebuah perjalanan horizontal, tasawuf ditempuh untuk menuju kebaikan diri dan kebaikan yang utama adalah kebermanfaatan pada sesama manusia. Maqam yang harus ditempuh dalam pandangan Hamka adalah maqam i’tidal, keseimbangan antara perkara dunia dan akhirat. Sebab menurutnya ber-tasawuf bukan berarti meninggalkan dunia, tapi proses bagaimana menjadikan dunia sebagai wasilah menuju akhirat.
Tasawuf mengarah menuju kebaikan sosial, sebagaimana disampaikan Buya Hamka sangat mirip dengan ide-ide para pemikir Islam revolusioner seperti Muhammad Abduh atau mungkin dalam bentuk yang lebih ekstrem Hasan Hanafi.
Tasawuf modern Buya Hamka menurut saya berhasil menyampaikan kritik yang apik terhadap tasawuf tradisional. Pasalnya Buya Hamka tidak kemudian gebyah uyah menganggap semua yang ada dalam ajaran tasawuf tidak benar. Tasawuf dalam pandangan Buya Hamka merupakan sebuah nilai yang tidak terikat oleh lembaga tarekat, majelis dll. Sehingga praktik ber-tasawuf bisa dilaksanakan siapa saja tanpa terkecuali.
Editor: Soleh