Falsafah

Tasawuf Nusantara: Relevansi dalam Dinamika Islam Indonesia

6 Mins read

Islam Indonesia mewarisi tradisi tasawuf (Sufisme) yang begitu kaya sejak Islam pertama kali menyebar secara massif di kawasan ini sejak akhir abad 12. Bahkan para penyiar Islam di berbagai kawasan tanahair adalah adalah para guru sufi pengembara yang datang dari satu tempat ke tempat lain untuk memperkenalkan Islam tasawuf yang inklusif dan akomodatif sehingga Islam lebih mudah diterima masyarakat lokal. Meningkatnya ortodoksi fiqih di Nusantara sejak abad 17 tidak menjadikan tasawuf tersingkir; sebaliknya aspek esoteris Islam ini kian menguat pula karena ia setia berada dalam kerangka Islam eksoteris.

Tasawuf tetap bertahan sampai hari ini. Tetapi, pada saat yang sama, juga bertahan mispersepsi tentang tasawuf. Masih banyak kalangan Muslim yang masih menganggap tasawuf sebagai penyebab keterbelakangan Dunia Islam karena menurut mereka, tasawuf hanya menyebabkan pasivisme. Para pengamal tasawuf mereka anggap hanya sibuk dengan, zuhud dan uzlah. Bahkan tasawuf dalam pemahaman sementara kalangan Muslim, hanya mengandung konsep, ajaran dan praktek bid’ah yang membuat kaum Muslimin terjauh dari ‘Islam murni’.

Padahal, tasawuf di Nusantara, khususnya sejak abad 17 dan seterusnya sangat aktivis. Para tokoh Sufi sangat aktif dalam kehidupan keagamaan, politik, dan sosial. Banyak gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda sejak abad ke 17 dipimpin para pimpinan tasawuf dan tarekat.

Tasawuf: Falsafi dan ‘Amali

Terlepas dari mispersepsi tadi, sekali lagi tasawuf tetap bertahan. Ia tidak tersingkir dalam gelombang modernisasi dan globalisasi yang demikian kencang menggoncangkan berbagai aspek kehidupan. Bahkan sebaliknya tasawuf terus menemukan momentum. Dalam gejolak perubahan itu, pengamalan tasawuf  konvensional secara personal-individual dan kelompok atau melalui tarekat terus bertahan, jika tidak meningkat.

Pada saat yang sama juga muncul bentuk-bentuk pengamalan baru terkait tasawuf yang tidak jarang menampilkan semacam ‘pseudo-Sufism’ karena tidak konvensional dan cenderung campur aduk dengan praktek yang sejatinya bukan berasal dari tradisi tasawuf mu’tabarah.

Terlepas dari gejala terakhir ini, tasawuf tetap dipandang banyak kalangan Muslim dan non-Muslim pengkaji tasawuf sebagai mengandung banyak ajaran dan praktek positif. Multaqa (‘pertemuan’) tasawuf internasional Sufisme pada pertengahan Juli 2011 misalnya berkesimpulan, tasawuf dapat memainkan peran penting dalam membangun jiwa dan karakter yang menjunjung tinggi kedamaian dan perdamaian sehingga mengurangi berbagai bentuk potensi dan aksi kekerasan yang kian mewarnai prisma kehidupan keagamaan di Indonesia dalam masa pasca Soeharto belakangan.

Tetapi aspek tasawuf manakah yang paling relevan bagi terwujudnya kedamaian itu? Pertanyaan ini patut diajukan karena tasawuf juga tidak monolitik. Tasawuf juga mengandung berbagai kategori dan aspek ajaran yang rumit dan, karena itu, tidak mudah dipahami.

Baca Juga  Asghar Ali Engineer: Jihad yang Utama itu Melawan Kemiskinan!

Misalnya saja banyak tokoh pemikir dan pengamal tasawuf sendiri membagi tasawuf menjadi dua: tasawuf falsafi (philosophical atau theoretical Sufism) pada satu pihak dan tasawuf amali atau tasawuf akhlaqi (practical atau ethical Sufism) pada pihak lain. Jika tasawuf falsafi mengandung banyak konsep berbau filosofis teoritis dan spekulatif, tasawuf amali sebaliknya menekankan pentingnya peningkatan akhlak dan amal ibadah untuk mencapai tingkat kerohanian lebih tinggi sehingga para pengamalnya dapat lebih dekat dengan Allah SWT.

Kedua kategori tasawuf itu sama-sama mendapatkan akarnya di Indonesia. Tetapi dalam sejarah, jika tasawuf falsafi pernah menciptakan kontroversi; pada pihak lain tasawuf amali teraktualisasi dalam diam. Konsep tasawuf falsafi, semacam wahdat al-wujud, mengandung aspek pemikiran dan konsep sangat kompleks dan rumit. Sementara tasawuf amali menuntut para pengamal tasawuf meningkatkan ibadah dan amal salehnya dan sekaligus menyempurnakan akhlaknya.

Corak dan pemikiran tasawuf falsafi yang pernah dominan di Nusantara hampir bisa dipastikan adalah Wahdat al-Wujud yang terlihat jelas misalnya dalam pemikiran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Wahdat al-Wujud merupakan konsep tasawuf falsafi yang sangat rumit. Karena itu dari waktu selalu ada pemikir dan pengamal tasawuf yang mencoba memberikan penjelasan (syarah), sehingga diharapkan lebih mudah dipahami para pemikir dan pengamal tasawuf.

 Di Indonesia, konsep Wahdat al-Wujud telah dielaborasi dalam konsep yang dikenal sebagai ‘Wujudiyah’. Konsep Wujudiyah sejak abad 17 telah beredar dan menjadi pembahasan serta kontroversi di antara ulama dan pemikir tasawuf seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, ‘Abdurra’uf al-Singkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari.

 Pemikiran dan konsep Wahdat al-Wujud sendiri, seperti diketahui, menjadi bagian integral dari wacana dan konsepsi tasawuf falsafi lainnya; ma’rifah oleh Dzu al-Nun (Dzunnun) al-Misri (wafat  tahun 859M) dan mahabbah oleh Rabi’ah al-Adawiyah (714-801M). Konsep Wahdat al-Wujud merupakan hasil pemikiran Sufi besar, Syaikh al-Akbar, Ibn ‘Arabi (1165-1240), yang dalam nama lain populer di Eropa sebagai ‘Doctor Maximus’.

 Konsep, logika dan argumen Ibn ‘Arabi tentang Wahdat al-Wujud sangat rumit. Karena itu boleh jadi ada kalangan Muslim yang alergi terhadap Wahdat al-Wujud yang dapat membingungkan (confusing) sehingga dapat disalahpahami sebagai mengabaikan syari’ah.  Karena itulah tidak jarang terjadi adanya oposisi terhadap tasawuf falsafi.

Baca Juga  Bagaimana Filsafat Membicarakan Pendidikan?

 Karena kerumitannya itu, tasawuf falsafi agaknya tidak terlalu relevan bagi kaum sufi awam. Aspek tasawuf ini mungkin lebih relevan bagi pengamal tasawuf yang sudah mencapai tingkat ‘khas al-khawas’—orang ‘elit’ di antara elit tasawuf. Jika tasawuf dapat memainkan peran lebih besar dalam kehidupan Indonesia masa kini, maka itu nampaknya lebih terkait dengan tasawuf akhlaqi. Relevansi itu terlihat kian jelas karena salah satu masalah pokok negara-bangsa Indonesia dewasa ini adalah kemerosotan akhlak pada berbagai tingkatan masyarakat.

Tasawuf akhlaqi telah dirinci Buya Hamka dalam karya klasiknya Tasawuf Moderen. mengajarkan peningkatan sikap dan perilaku positif seperti ihsan, taubat, sabar, tawakal, amanah, qanaah (cukup puas dengan apa yang dimiliki) dan banyak lagi. Banyak kerusakan akhlaq dalam masyarakat terjadi karena orang-orang tidak lagi mengamalkan nilai seperti itu; kian banyak orang tidak memiliki sikap sabar dan amanah; tidak pernah puas sehingga terus melakukan korupsi, misalnya. Jika, akhlaq bangsa ini bisa lebih baik, kaum Muslim sepatutnya meningkatkan pengamalan dan penerapan ajaran tasawuf amali dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten dengan penuh istiqamah.

Gejala Sufisme Kontemporer

Apakah tasawuf atau Sufisme bisa bertahan di tengah gempuran modernitas  dan globalisasi? Mungkinkah Sufisme bisa bertahan di tengah sikap kritis sebagian kalangan Muslim sendiri terhadap Sufisme? Apakah Sufisme dapat survive di tengah deru modernitas yang bertumpu pada rasionalitas dan efisiensi; dan siap menggilas segala sesuatu dalam kehidupan yang tidak cocok dengan paradigma modernitas ini?

Bagi sementara kalangan Muslim, Sufisme atau tasawuf tidak relevan dengan kemoderenan. Bahkan, sebaliknya Sufisme mereka pandang sebagai hambatan bagi kaum Muslimin dalam mencapai modernitas dan kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan. Karena itu, jika kaum Muslimin ingin mencapai kemajuan, Sufisme dalam berbagai bentuknya harus ditinggalkan. Alasannya,  kemunduran dan keterbelakangan kaum Muslimin adalah karena mereka terperangkap ke dalam berbagai praktek Sufistik memabukkan, yang membuat mereka lupa pada dunia.

Pandangan ini, yang menempatkan Sufisme sebagai ‘tertuduh’ bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan sejak bermulanya praktek-praktek sufistik di masa awal Islam, kaum muhadditsin dan fuqaha’ memandangnya sebagai tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, eksesif, dan spekulatif dalam hal-hal menyangkut Tuhan. Oposisi ini terus bertahan dari waktu, meski al-Ghazali berhasil merukunkan syari’ah dan tasawuf sejak abad 12.

Bahkan kebangkitan modernisme dan reformisme Islam sejak awal abad 20 menjadikan tasawuf sebagai salah satu sasaran pembaharuan dan pemurnian Islam. Bagi para pemikir dan aktivis modernis dan reformis Muslim, kaum Muslim bisa mencapai kemajuan hanya dengan meninggalkan kepercayaan dan praktek sufistik yang mereka pandang bercampur dengan bid’ah, khurafat, takhyul dan taqlid buta kepada pimpinan tasawuf dan tarekat.

Baca Juga  Suhrawardi: Menggabungkan Ilmu Intuitif dan Logika Paripatetik

Pandangan-pandangan seperti itu nampaknya perlu dikaji ulang setelah lebih dari setengah abad negara-negara dan masyarakat-masyarakat Muslim mengalami proses modernisasi. Modernitas dan modernisasi tidak selalu berhasil memenuhi janji-janjinya bagi peningkatan kesejahteraan kaum Muslimin, baik lahir maupun batin. Sebaliknya, modernisasi yang kemudian diikuti globalisasi yang tidak terbendung memunculkan kesulitan-kesulitan baru dalam kehidupan; mulai dari meningkatnya gaya hidup materialistik dan hedonistik, sampai kepada disorientasi dan dislokasi sosial, politik dan budaya.

Satu hal sudah pasti; yaitu terjadinya kebangkitan Sufisme pada masa pasca-modernitas dan globalisasi ini. Ini bertentangan dengan anggapan sementara ahli yang pernah memprediksikan Sufisme tidak dapat bertahan di tengah modernisasi, dan kemudian globalisasi. Tetapi penting diingatkan, kebangkitan Sufisme tidak bisa sepenuhnya dipahami hanya sebagai suatu bentuk respon kaum Sufi terhadap modernitas dan globalisasi.

Hemat saya, kebangkitan Sufisme berkaitan dengan sejumlah faktor keagamaan, sosial, politik, ekonomi dan budaya yang kompleks. Secara keagamaan, sejak 1980an, terjadi gejala peningkatan attachment kepada Islam; gejala yang di Indonesia biasa disebut sebagai ‘santrinisasi’. Proses santrinisasi itu dimungkinkan karena mulai terbentuknya kelas menengah Muslim di tengah terjadinya perobahan politik rejim penguasa yang lebih rekonsiliatif dan bersahabat terhadap kaum Muslimin dan Islam.

Relatif mapannya keadaan ekonomi kelas menengah tersebut tidak hanya mendorong mereka misalnya mengerjakan ibadah haji dan umrah, tetapi juga mengekplorasi pengalaman keagamaan dan spiritualitas yang lebih intens. Ini hanya bisa diberikan Sufisme, dan bahkan kemudian bentuk-bentuk spiritualitas Islam lainnya, yang memang tidak selalu sesuai dengan paradigma dan bentuk tasawuf konvensional.

Karena itulah, gejala Sufisme kontemporer di Indonesia dan juga di tempat-tempat lain di Dunia Muslim tidak lagi hanya diwakili bentuk-bentuk tasawuf konvensional, baik tarekat ataupun tasawuf yang diamalkan secara personal-individual, tetapi juga bahkan bentuk-bentuk baru yang bukan tidak mirip dengan apa yang disebut ahli sosiologi agama sebagai ‘new age movement’, gerakan [spiritualitas keagamaan] zaman baru.

Dalam konteks itu, jika secara konvensional zikir misalnya dilakukan secara pribadi dan kelompok dilakukan di ruang tertutup, kini dilakukan secara massal dan terbuka dengan liputan TV.  Gejala-gejala baru ini tidak membuat pengamalan Sufisme konvensional lenyap; bahkan sebaliknya tidak hanya bertahan, tetapi juga menemukan momentumnya, tidak hanya di lingkungan kelas menengah, sekaligus pada massa akar rumput. Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Makalah untuk Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah Yogjakarta, 3-5 Ramadhan 1434H/11-13 Juli 2013.

Editor: Azaki Khoirudin

Avatar
1 posts

About author
Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Articles
Related posts
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…
Falsafah

Kehidupan Setelah Mati Perspektif Al-Kindi

2 Mins read
Al-Kindi terkenal sebagai filsuf pertama dalam Islam, juga sebagai pemikir yang berhasil mendamaikan filsafat dan agama. Tentu, hal ini juga memberi pengaruh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds