Tauhid Uluhiyah, Rububiyah, Asma wa Sifat
Bagi banyak orang, membahas tauhid barangkali adalah sesuatu yang membosankan. Sebab, pembahasannya terkesan itu-itu saja. Tauhid selama ini dan sejauh ini hanya ditafsirkan dan dimaknai secara personal. Sehingga, dampak dan manfaatnya hanya dirasakan oleh individu. Orang lain atau masyarakat luas tidak bisa merasakan buahnya
Pembahasan yang seperti itu dapat kita lihat pada pemikiran Ibnu Taimiyah. Dalam pemikiran Ibnu Taimiyah, tauhid dibagi menjadi tiga. Yakni tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid asma wa sifat.
Tauhid uluhiyah mengajarkan pada umat Islam untuk hanya menyembah kepada Allah semata, tauhid rububiyah mengajarkan umat Islam keyakinan bahwa pengatur dan pencipta semesta ini adalah Allah, sedangkan tauhid asma wa sifat mengajarkan untuk beriman pada semua sifat dan nama-nama Allah yang ada.
Kesemua konsep tauhid di atas hanya membahas hubungan antara individu dan Tuhannya. Hampir tidak ada yang membahas tauhid dan kaitannya dengan masyarakat. Semuanya terfokus pada Tuhan.
Tauhid Revolusioner
Hal inilah yang kemudian mendapat kritik dari beberapa pemikir Islam, salah satu di antaranya ialah Hassan Hanafi. Pemikir berkebangsaan Mesir itu mengkritik pola pembahasan tauhid yang terlalu teosentris (berpusat pada Tuhan), sebagaimana yang ditunjukkan oleh ahli kalam klasik. Mereka sibuk dan banyak menghabiskan waktu untuk berdebat tentang mana kepercayaan yang benar di antara mereka.
Padahal, seperti kata Hanafi, kesemua perdebatan itu adalah sia-sia. Perdebatan itu hanya melahirkan sekat-sekat kelompok dan konflik di antara mereka. Oleh karenanya, daripada sibuk membahas tentang mana kepercayaan yang benar, Hanafi lebih menyarankan agar pembahasan tauhid yang terlalu melangit itu dapat dibumikan dan bisa dirasakan manfaatnya oleh umat manusia.
Dalam proses membumikan tauhid itu, Hanafi menawarkan suatu gagasan yang kemudian ia sebut sebagai “tauhid yang revolusioner”. Ia menulis:
“Sebab itu, mungkin kita baru dapat mendiskripsikan ilmu ini setelah merekonstruksi dan meluruskan rekonstruksinya dari dasar-dasar klasik menuju dasar-dasarnya yang valid dan kontekstual, dan mengubahnya bukan sekedar dari “ilmu Allah” menuju “ilmu manusia”…. Akan tetapi perubahan itu hendaklah dimulai dari ilmu “akidah keagamaan” menuju ilmu “perlawanan sosial”, yaitu ilmu yang bertalian dengan akidah keagamaan sebagai pemberi arah bagi perilaku rakyat hari ini.” (Dari Akidah ke Revolusi, hal. 14)
Permintaan Hanafi untuk menata kembali definisi tauhid ini menarik untuk diperhatikan. Sebab hanya dengan begitu, tauhid yang semula bersifat individual dapat menjadi lebih sosialistis.
Buah dari Tauhid
Selain menata kembali definisi tauhid, penulis kira yang juga tidak kalah penting adalah memastikan dan mengecek tauhid kita masing-masing. Apakah ia telah benar, lurus, dan murni? Ini penting karena akan berdampak pada cara dan sikap kita menghadapi dunia. Tauhid yang lurus dan murni akan menghasilkan pribadi yang kuat. Sebaliknya, tauhid yang kotor dan keliru akan menghasilkan pribadi yang lemah.
Nurcholis Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur pernah mengingatkan bahwa yang paling dasar dari tauhid ialah komitmen kita terhadap kalimat tahlil (laa ilaha illah). Kalimat tahlil diawali dengan lam nafi atau penegasian, kemudian disusul dengan lam ta’kid atau penegasan.
Artinya bahwa mereka yang bertauhid, sebelum beriman kepada Tuhan, terlebih dahulu harus menafikan tuhan-tuhan yang lain. Setelah menafikan itu dilakukan, seorang mukmin baru menegaskan bahwa Tuhannya hanyalah Allah.
Makanya kemudian, Cak Nur melontarkan suatu pernyataan yang banyak disalahpahami oleh orang lain. Yakni ketika ia mengatakan “tiada tuhan selain Tuhan”. Apa maknanya? Maknanya ialah sebelum meyakini Allah sebagai Tuhan, kita harus menghilangkan tuhan-tuhan yang lain. Entah itu berhala, hawa nafsu, dan tunduk pada sesuatu selain Tuhan.
Berangkat dari pemahaman tauhid yang demikian, Cak Nur kemudian meminta kepada umat Islam agar membedakan antara wilayah sakral (kudus) dan wilayah profan atau wilayah yang tidak sakral. Cak Nur menegaskan bahwa yang sakral dan kudus hanyalah Tuhan, dan di luar daripada Tuhan adalah profan, contohnya adalah hasil pemikiran manusia. Cak Nur menunjukan contoh pemahamannya ini melalui pernyatannnya “Islam Yes, Partai Islam No!”.
Cak Nur melalui pernyataannya itu berharap supaya umat Islam tidak ada lagi yang mensakralkan sesuatu di luar Tuhan. Satu-satunya zat yang patut disakralkan adalah Tuhan. Pemikiran manusia, kendatipun bagaimana hebatnya, tetap tak bisa disakralkan.
Ia tetap suatu yang profan yang bisa untuk dikritisi. Karenanya, dengan pemahaman tauhid seperti ini, umat Islam tidak akan mengalami stagnasi. Umat Islam akan terus dinamis dan maju melintasi zaman.
Tauhid dan Keberanian
Selain konsep tauhid yang ditawarkan Cak Nur, penulis kira menarik juga untuk melihat konsep yang digagas oleh Amien Rais. Dalam perjalanan pemikirannya, Amien Rais pernah melontarkan suatu gagasan yang fenomenal, yakni “tauhid sosial” dan “tauhid politik”.
Titik landas pemikiran Amien Rais ini tidak jauh berbeda dengan Hassan Hanafi. Yaitu berawal dari kegelisahan keduanya yang melihat konsep tauhid yang terlalu personal.
Sebagaimana Hanafi, Amien Rais juga berharap agar gagasan tauhid yang selama ini jauh dari masyarakat dapat menjadi dekat dengan masyakarat. Ia berharap agar kalimat tahlil yang setiap saat kita ucapkan ketika salat, yang kita dengarkan ketika azan, tidak lagi sekedar diucapkan dan didengarkan semata. Jauh dari itu, ia harus tampak dan mewujud dalam aksi-aksi nyata. Baik itu berupa advokasi ataupun pembelaaan terhadap mereka yang ditindas.
Bagi Amien, orang yang bertauhid adalah mereka yang berani mengatakan tidak terhadap kezaliman, penindasan, dan ketidakadilan. Keyakinan mereka terhadap Tuhan membawa mereka pada satu keberanian untuk melawan dan melakukan pembangkangan terhadap segala macam bentuk tindakan sewenang-wenang.
Ahmad Baljat, seorang penulis Mesir, mengatakan mengapa Namrud bisa menjadi Namrud, dan Fir’aun bisa menjadi Fir’an? Hal itu karena umat mereka telah rusak tauhidnya. Akibat dari tauhid yang rusak, mereka tidak lagi berani untuk mengatakan tidak kepada ketidakbenaran.
Padahal manusia yang tauhidnya benar dan murni adalah mereka yang hanya takut kepada Allah. Sebab mereka sudah berikrar dengan kata-katanya, “Sesungguhnya salatku dan ibadahku, hidup dan matiku, aku persembahkan semata-mata hanya untuk Allah.” (Tauhid Sosial, hal. 36).
Dengan ikrarnya ini, ia sepatutnya tidak takut pada kekuatan-kekuatan makhluk di luar dirinya. Ia akan tetap berani dan konsisten menyuarakan kebenaran kendatipun hal itu nantinya akan bertentangan dengan banyak orang.
Demikianlah. Buah dari tauhid akan membuat seseorang muslim berpikir maju, tidak statis. Karenanya baginya, semua yang di luar Tuhan adalah profan atau wilayah yang tidak sakral. Sehingga perlu untuk terus diperbaiki, dikritisi dan direkonstruksi.
Selain itu, tertanamnya tauhid dalam diri seorang muslim akan membuatnya menjadi pribadi yang berani dan siap untuk mengatakan tidak pada setiap bentuk kezaliman.
Editor: Yahya FR