Di samping berhubungan dengan kapasitas Rabb al-‘Alamin yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, pengulangan ar-Rahman-ar-Rahim dalam ayat ke-3 surat al-Fatihah juga berhubungan dengan kapasitas-Nya sebagai Malik Yaumid Din yang disebutkan dalam ayat sesudahnya. Dalam konteks ini disebut tauhid mulkiyah.
Sesuai dengan fungsi pengulangan dalam bahasa untuk memperkuat pernyataan, maka pengulangan dengan hubungan ke depan dan belakang ini benar-benar menunjukkan bahwa rahma tidak hanya menjadi sifat dasar dalam uluhiyah-Nya, tapi juga dalam rububiyah dan mulkiyah-Nya.
Dengan pengulangan itu sebenarnya berarti tidak ada tempat bagi keragu-raguan terhadap, apalagi peniadaan, rahma Allah dalam perumusan ajaran Islam dan penghayatan agama di hati Muslim.
***
Istilah malik dalam Malik Yaumid Din berasal dari malaka-yamliku- malkan/mulkan/milkan yang berarti memiliki dalam pengertian meliput dengan kewenangan penuh untuk mengelola dan menguasai. Dari kata ini dibentuk istilah al- mulk yang berarti kerajaan. Hubungan antara milik atau kekuasaan dengan kerajaan kemudian menjadi jenis dan macam, setiap kerajaan itu kekuasaan, tetapi tidak semua kekuasaan itu kerajaan.
Adapun Yaumid Din adalah Hari Pembalasan. Jadi, Malik Yaumid Din itu pengertiannya adalah penguasa pada Hari Pembalasan.
Yaumid Din: Hari Pembalasan
Hari Pembalasan adalah masa ketika manusia kembali kepada Allah dan harus mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya di hadapan pengadilan Allah di akhirat setelah dihidupkan lagi sebagai pribadi yang utuh pasca kematiannya (kiamat) (as- Shaffat, 37: 30-34).
Pada hari itu kekuasaan mutlak ada pada-Nya, manusia tidak memiliki kekuasaan apapun, termasuk terhadap dirinya sendiri, dan seluruh urusan menjadi kewenangan-Nya (al-Infithar, 82: 19). Inilah yang kami sebut dengan konsep tauhid mulkiyah.
Saking tidak berkuasanya manusia ketika itu sampai-sampai ia tidak berkuasa atas mulut, tangan dan kakinya. Dalam meminta pertanggungjawaban Allah membuat mulut terkunci rapat, tangan berbicara dan kaki memberi kesaksian atas segala apa yang telah diperbuatnya demi mendapatkan keputusan yang adil seadil-adilnya (Yasin, 36: 65).
***
Dengan kacamata tauhid muliiyah, melalui pengadilan tanpa kedhaliman sedikit pun dalam proses dan keputusannya itu manusia akan mendapatkan ganjaran atas apa yang telah dilakukannya di dunia. Orang yang baik mendapatkan ganjaran baik atas kebaikannya berupa surga dengan segala kenikmatannya. Sebaliknya orang yang buruk mendapatkan ganjaran buruk atas keburukannya berupa neraka dengan segala kesengsaraannya (Yasin, 36: 54-64).
Manusia yang mengalaminya menyadari kebenaran yang terungkap dalam pengadilan itu dan orang- orang yang tidak beriman di dunia mengakui dosa dan kekeliruannya (al-Mulk, 67:11). Mereka mengalami penyesalan luar biasa, menundukkan kepala di hadapan Allah memohon untuk dikembalikan hidup di dunia supaya dapat berbuat baik (as-Sajdah, 32: 12).
Setelah masuk ke dalam neraka, mereka merintih memohon dikeluarkan darinya dan diberi kesempatan hidup kembali di dunia juga supaya dapat beramal kebajikan (Fathir, 35: 37).
***
Dalam konsep tauhid mulkiyah, Allah menyelenggarakan pengadilan yang sempurna keadilannya itu untuk menyambut kepulangan kembali manusia kepada-Nya setelah diberi “tugas” untuk menjadi hamba dan khalifah-Nya di bumi. Dia menyelenggarakan pengadilan itu dengan cinta kasih untuk memberikan kebaikan yang nyata kepada mereka.
Pengadilan di dunia bisa atau bahkan sering tidak adil dengan memproses hukum dan atau menghukum orang yang benar; dan tidak memproses hukum dan atau tidak menghukum orang yang salah. Tidak ada kebaikan dalam membebaskan orang yang salah. Karena itu pengadilan di akhirat itu merupakan kemestian untuk mewujudkan kebaikan yang nyata secara obyektif.
Karena pengadilan itu diselenggarakan dengan cinta kasih maka Allah pun memberikan pengampunan yang sangat luas. Dengan rahma pengampunan-Nya, Dia akan membebaskan dari hukuman orang-orang tertentu yang sudah dipandang cukup menderita kesengsaraan dalam menghadapi proses pengadilan di hadapan-Nya.
***
Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan firman-Nya dalam beberapa ayat yang menegaskan bahwa Dia memberi ampunan dan siksaan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya (al-Baqarah, 2: 284; Ali Imran, 3: 129; al-Maidah, 5: 18 dan 40; al-‘Ankabut, 29: 21).
Dengan rahma pengampunan-Nya pula Dia akan membebaskan orang-orang tertentu dari hukuman di neraka setelah dipandang cukup menjalani hukuman untuk beberapa lama di sana. Hal ini dijelaskan dalam hadis panjang dari Abi Sa’id al-Khudri yang menggambarkan betapa Allah menyambut kembali kepulangan manusia dengan penuh rahma.
***
Hadis itu menceritakan bahwa setelah Allah membebaskan dari neraka orang-orang yang memiliki iman “seberat biji sawi” dan orang-orang yang diberi syafaat oleh para nabi, malaikat dan orang-orang mukmin, maka Dia membebaskan banyak orang yang diambil dengan genggaman-Nya dari neraka. Ketika melihat orang-orang yang dibebaskan dari neraka itu oleh Allah sendiri dengan kasih sayang-Nya, maka para penghuni surga – menurut hadis itu- berkomentar:
..Mereka adalah orang-orang yang dibebaskan oleh Allah Yang Maha Pengasih. Dia memasukkan mereka ke surga tanpa amal yang telah mereka perbuat dan tanpa kebaikan yang telah mereka lakukan..